Aku hidup dari setetes air,
yang tak ada kerelaan tumpah dari ibuku.
Mati berhadap-hadapan,
jatuh satu aliran bersama sungai-sungai bumi.
Konkordansi riwayat hulu-hilir hidupku,
dibacakan pada demonstrasi-demonstrasi mahasiswa.
Alih-alih mengisi teriakan dalam perut,
suara mereka kubakar habis menganga.
Menghormat barisan cokelat yang Tuan kirim,
takut mereka menerobos palang besi.
Prasangka apa semalam Tuhan kirim,
diabai, diusir, atau akan ricuh lagi
Menceritakan anekdot temanku kemarin,
Mereka digilas, tak ada waktu buat tertawa.
Debu-debu menampar wajah,
peluh berceceran tak ada peduli buat memungut.
Tak terhitung jam langkahi jam makan pejabat,
hingga serak teriakan-teriakan laju speaker.
Aku ingin mereka hidupkan lagi,
nyala keadilan dan sejarah teman-temanku.
Namun semakin malam mengaba-aba,
tak ada seorang jua keluar membawa lega.
Mereka tidak pulang, membatu,
mencegat untuk berteriak esok lagi.
Semarang, 3-4 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H