Mohon tunggu...
Winda manhartika
Winda manhartika Mohon Tunggu... Guru - Tidak Ada

Penikmat sastra, sajak, puisi, filsasat, sejarah, fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Labuhan Takdir (Bab 5)

22 Oktober 2019   10:37 Diperbarui: 22 Oktober 2019   10:53 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB 5
KEPUTUSAN

Aku menyusuri jalanan Garosugil Street, daun-daun pohon berguguran, ya, sedang musim gugur. Aku berhenti di sebuah coffee shop, aroma khas kopi tercium ketika aku membuka pintu coffee shop. Sore ini tidak begitu ramai, mungkin karna cuaca sedang hangat, coba saja saat musim dingin, coffee shop ini selalu waiting list. Aku memesan americano, lalu memilih duduk di pojokan. Aku menatap lurus keluar jendela, sepasang sejoli sedang bergandengan tangan, masih menggunakan seragam sekolah, sepertinya si lelaki sedang menceritakan sesuatu yang lucu, si wanita tertawa cekikan, sambil tangan mereka masih bergandengan.

"kriiiing" lonceng pintu masuk coffee shop berbunyi, tanda ada yang masuk. Seorang pria berperawakan berantakan masuk tergesa-gesa, badannya bongsor, kulit putihnya pucat berkeringat, matanya sipit tapi tajam, pandangannya menyusuri seisi coffee shop, dia sudah menuju ke arahku sebelum aku sempat melambaikan tangan. Dia menarik kursi kosong di depan meja ku, lalu duduk dengan kasar, wajahnya seperti orang marah. Belum sempat aku membuka mulut untuk menyapa, dia sudah terlebih dulu memulai pembicaraan.

"jadi apa yang sebenarnya terjadi ? kenapa tiba-tiba kau mengundurkan diri dari kantor Sara ? apa gajimu kurang ? katakan saja" ucapnya serius.
"aku punya alasan pribadi yang tidak bisa aku katakan, bukan masalah gaji, gaji ku sudah lebih dari cukup, terimakasih sudah baik dan selalu mengkhawatirkanku selama ini samchun (paman dalam bahasa korea)" ya, lelaki ini adalah bos ku di kantor, usianya sudah hampir enam puluh tahun, dia memiliki seorang istri yang sangat cantik, tapi mereka tidak memiliki anak, entah kenapa sejak awal aku bekerja di kantornya, dia sangat baik pada ku. Pada suatu malam, saat acara kantor,

dia mabuk dan mengumumkan di depan semua karyawan kantor, dia mengatakan bahwa aku adalah anaknya, bahwa dia sangat menyayangiku, sejak saat itu aku jadi dipanggil "anak bos" di kantor. Dan sejak saat itu, jika diluar kantor aku selalu memanggilnya paman, dan menganggapnya sebagai orang tua angkatku disini.

Paman Park menarik nafasnya dalam, lalu kembali menatapku dengan mata sipitnya yang tajam itu.
"aku hargai keputusanmu, aku yakin kau punya masalah, dan aku mencoba mengerti jika kau tidak siap untuk menceritakannya pada lelaki tua ini, tak apa. Satu hal Sara, jika kau butuh bahu, jika kau butuh pendengar, pamanmu ini selalu bisa kau hubungi, dan jika kau ingin kembali bekerja, aku akan dengan senang hati menyiapkan ruanganmu".

Dia mencoba tersenyum, tapi mata sipitnya itu sudah berkaca-kaca.

"aku harus kembali ke kantor, aku sudah transfer uang pesangonmu" dia berdiri dari duduknya.

"terimakasih samchun, aku akan sangat merindukanmu" aku ikutan berdiri.

"kau bicara seolah kita tidak akan bertemu lagi, aku jadi semakin takut melihat sikapmu Sara, bisakah kau memberikan senyuman terbaikmu untuk pertemuan kita hari ini ?"

"kita tidak pernah tahu Samchun" jawabku ringan plus dengan senyum yang ku manis-maniskan. Dia membalas senyumanku dengan tatapan sendu yang berat, lalu berlalu dengan langkah khas nya seperti tergopoh-gopoh.

Ya, setelah mempertimbangkannya selama seminggu ini, aku memutuskan untuk resign dari kantor. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sebelum mati, sebuah permohonan maaf, meskipun aku tahu ini sedikit mustahil, tapi aku akan melakukan apapun agar Dewa memaafkan dosa yang aku perbuat padanya.

Ya, aku sudah memutuskan untuk pulang ke Indonesia, ke Jogjakarta tepatnya, tanah tempat aku lahir, tumbuh besar dan mengenal cinta pertama.

***

Aku sedang menata makan malam di meja makan, ketika Mas Yohan membuka pintu apartmen.

"aku pulang sayang" seperti biasa dia selalu ceria, seperti tanpa beban.

"selamat datang mas" aku mencoba ikut ceria.

"masak apa istriku malam ini?" hanya membuka sepatu, ia langsung berlari memelukku dari belakang, ia mencium leherku.

"wow..ayam kecap lada hitam, masakan andalan istriku tersayang" mas Yohan mengecup pipiku berkali-kali, nafasnya segar, seperti biasa.

"ayo makan mas" aku melepaskan tangannya yang masih melingkar di pinggangku, dan menuntunnya ke meja makan.

Aku sudah memutuskan, malam ini aku akan mengatakannya pada mas Yohan, keinginanku untuk pulang ke Indonesia.

"ada apa sih yang ? apa ada hal yang mau kamu bicarakan ? dari tadi aku perhatikan, kamu gelisah, ada apa?" mas Yohan memulai pembicaraan, dia masih belum selesai makan, tapi nampak nya ia tidak lagi berselera, yah, gelagatku memang terlalu kentara.

"aku ingin pulang mas, aku rindu Bunda, aku rindu rumah, aku rindu Indonesia" akhirnya aku menyampaikannya.

"apa ? kamu bilang apa ? aksara, ada apa sebenarnya ? ini terlalu tiba-tiba, jangan bilang alasan kamu pulang hanya karna alasan rindu, itu tidak masuk akal, suaranya sedikit meninggi, dia marah, marah karna bingung.

"mas, aku sangat rindu pada bunda, tidak bisa kah itu saja menjadi alasan ku untuk pulang ? lagi pula hanya sebentar mas, aku mohon mas mengijinkan aku"

"kalau memang kamu kangen bunda, ya sudah, aku akan meminta bunda untuk kesini, biar bunda sekalian jalan-jalan" dia berkata sembari meraih handphone nya, aku tau dia ingin menghubungi bunda.

"Mas, aku ingin pulang, aku rindu kampung halamanku, teman-temanku, kamu tidak akan mengerti mas" aku setengah teriak. Mas Yohan kaget, baru pertama kali melihat aku yang seperti itu. Dia berdiri dari duduknya, menghampiriku, menatap mataku, aku menunduk, merasa bersalah karna sudah membentaknya. Dia memelukku, aku hanya diam.

"baiklah, kapan kamu mau pulang, mas akan pesankan tiket"

"benarkah ? mas serius ?"

"iya, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada istri ku, aku tidak tahu apa yang sedang disembunyikan istriku dariku, tapi apapun itu, aku yakin istriku sudah mempertimbangkan segalanya, karna wanita yang aku nikahi bukanlah wanita yang ceroboh, tapi mahasiswi tercerdas di kelasku."

"terimakasih mas, terimakasih karna telah mencintai aku" tiba-tiba saja aku merasa bersalah padanya, aku merasa buruk, oh tuhan, apakah keputusanku sudah benar ?

***

Mas Yohan mengantarku ke bandara, penerbangan pagi Seoul-Jakarta, di sepanjang perjalanan ke bandara kami hanya diam, entah apa yang dipikirkan Mas Yohan, sepertinya dia sedang memikirkan banyak hal.

"apa aku ikut saja bersama kamu, pulang ke Indonesia ?" katanya tiba-tiba.

"jangan mas, kamu punya tanggung jawab disini, aku hanya sebentar, hanya sangat rindu pada bunda, jangan khawatir, aku akan baik-baik saja" aku mengusap pundaknya pelan.

"berjanjilah kamu akan baik-baik saja" pintanya lirih. Aku hanya mengangguk. Tidak bisa menjanjikan apa-apa.

Mas Yohan memelukku erat, sangat erat, ada banyak kegelisahan dalam pelukannya. Aku pamit, air mata mengalir deras, semua berkecamuk dalam hati dan fikiranku, banyak ketakutan yang bercongkol hingga dadaku terasa kembali pertanyaan di mata itu. Aku berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang, di dalam pesawat pikiranku kosong, hatiku hampa, aku benar-benar tidak ingin memikirkan apapun. Suara pramugari memecah kehampaan hatiku, pesawat akan segera take off.

**

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun