Oleh karena itu, kesimpulannya, jika hendak membeli PH dari album/group lama, pilihlah yang dikerjakan secara analog, dan ini hanya ada pada cetakan PH yang dilakukan sebelum digital dpopuler, yakni pra 1990-an. Apabila membeli cetakan remastered, maka ibaratnya kita sedang mendengarkan CD melalui medium PH.
Lalu, apa gunanya?
Harga Analog, mahal?
Pertanyaan selanjutnya, mengapa saat ini PH terasa mahal harganya?
Sebenarnya harga itu tidaklah mahal, masih dalam kategori wajar. Mari kita lihat harga ketika CD mulai dikenal luas di tahun 1985. Saat itu harga untuk sebuah album pop/rock terkenal antara $15-19. Berapa harga PH saat itu? Jangan kaget! antara $8-12. Artinya, PH lebih murah dr CD.
Lalu kemudian, CD meningkat popularitasnya sehingga mengalahkan PH di periode 1990-an. Harga CD di AS tidak pernah berubah hingga sekarang yakni tetap pada harga tersebut.
Akibat inflasi, secara keekonomian harga $15 tersebut seharusnya setara dengan $44,62 di 2017, berdasarkan hitungan inflation rate calculator yang tersedia di internet. Namun ini tidak terjadi, hingga CD  tersisihkan oleh streaming dan download di 2010.
Di sisi lain, akibat PH kalah oleh CD di periode 1990-an maka hilang di pasaran sehingga menjadi barang langka yang hanya tersedia untuk kalangan tertentu.
Antara 1995-2005 nyaris tidak ada produksi PH massal hingga munculnya revival (kembalinya) PH di 2010 ke atas. Setelah vakum sekian lama, berapa harga PH tersebut? antara $20-25. Sebenarnya jika memasukan unsur inflasi, harga ini sama saja dengan nilai $8 di 1985 .
Dari sini kita bisa lihat bahwa harga sebuah PH di 1985 sama saja dengan PH di 2019. Dahulupun di 1988 harga sebuah CD antara Rp 30-35.000 dan masyarakat Indonesia dapat membelinya dengan biasa saja.
Tetapi ingat kurs rupiah saat itu US$1 = Rp 1700. Sehingga nilai Rp 30.000 adalah sama dengan $17,6 atau setara dengan $20-25, setelah inflasi selama 30 tahun. Jadi harga PH yang sekarang berkisar Rp 300-450.000, adalah masih wajar ketika US$1 = Rp 14.000, bukan? ***