Perdebatan analog vs. digital bisa dibahas dr berbagai sisi dan di manapun itu diperbincangkan, biasanya akan menimbulkan perdebatan hangat dan panjang, baik itu di dunia maya ataupun offline, persis seperti debat Pilpres. Namun tidak disangkal perdebatan ini sesungguhnya lebih didasari kepada investasi (baca: uang yang telah dikeluarkan) sehingga setiap pendukungnya akan bersiteguh bahwa analog (di sisi lain, digital) lebih baik dari lawannya, tanpa melihat dari mana sumber asli suara tersebut direkam.Â
Penggemar analog (dalam hal ini Piringan Hitam/PH) bersikeras bahwa PH lebih warmth dan depth, sambil berkata bahwa digital itu kering dan tajam. Sementara pengusung suara digital (dalam hal ini CD) mengatakan bahwa CD itu memiliki suara jernih dan mudah perawatan, dan PH itu penuh dengan suara "jagung bakar" (suara gemericik akibat sentuhan jarum dengan kotoran di piringan). Â
Saya adalah kolektor PH dan sekitar 80% koleksi musik saya dalam versi analog, bahkan untuk film  pun saya masih menyimpan versi analog dalam format super 8mm dan 16mm, bukan hanya Betamax atau VHS. Tetapi dalam melihat perdebatan tersebut selayaknya kita objektif saja.
Dalam hal diskusi analog vs. digital, saya mencoba jujur. Saat kita membeli album atau band baru keluaran tahun ini, pertanyaannya adalah apakah pengerjaan di studio masih dilakukan secara analog?
Mungkin satu-dua studio masih ada yang menggunakan teknologi analog dari hulu sampai ke hilir, tapi mayoritas saat ini tidak lagi, karena teknologi digital sudah merambah ke semua sudut.Â
Dengan kondisi demikian, maka menjadi tidak lagi relevan menyatakan adanya suara yang warmth dan depth pada analog, karena sumber asli suara tersebut sudah digital. Kita harus terima bahwa digital adalah digital mau dipindahkan ke format apapun.
Sederhananya, apakah ketika sebuah CD dipindah-rekamkan ke kaset maka otomatis menjadi suara berkualitas analog, hanya karena kaset adalah format analog? Tentu tidak!
Dengan demikian kesimpulannya. ketika kita membeli sebuah album baru, tidak salah membeli dalam format PH, namun harus jujur mengatakan itu bukan karena masalah kualitas suara analog, tetapi karena fisik PH yang memiliki covernya besar atau pengalaman unik ketika memutarnya.
Â
Hal tersebut sama saja dengan situasi di atas, karena proses remastering saat ini pun mayoritas telah dilakukan secara digital.
Oleh karena itu, kesimpulannya, jika hendak membeli PH dari album/group lama, pilihlah yang dikerjakan secara analog, dan ini hanya ada pada cetakan PH yang dilakukan sebelum digital dpopuler, yakni pra 1990-an. Apabila membeli cetakan remastered, maka ibaratnya kita sedang mendengarkan CD melalui medium PH.
Lalu, apa gunanya?
Harga Analog, mahal?
Pertanyaan selanjutnya, mengapa saat ini PH terasa mahal harganya?
Sebenarnya harga itu tidaklah mahal, masih dalam kategori wajar. Mari kita lihat harga ketika CD mulai dikenal luas di tahun 1985. Saat itu harga untuk sebuah album pop/rock terkenal antara $15-19. Berapa harga PH saat itu? Jangan kaget! antara $8-12. Artinya, PH lebih murah dr CD.
Lalu kemudian, CD meningkat popularitasnya sehingga mengalahkan PH di periode 1990-an. Harga CD di AS tidak pernah berubah hingga sekarang yakni tetap pada harga tersebut.
Akibat inflasi, secara keekonomian harga $15 tersebut seharusnya setara dengan $44,62 di 2017, berdasarkan hitungan inflation rate calculator yang tersedia di internet. Namun ini tidak terjadi, hingga CD  tersisihkan oleh streaming dan download di 2010.
Di sisi lain, akibat PH kalah oleh CD di periode 1990-an maka hilang di pasaran sehingga menjadi barang langka yang hanya tersedia untuk kalangan tertentu.
Antara 1995-2005 nyaris tidak ada produksi PH massal hingga munculnya revival (kembalinya) PH di 2010 ke atas. Setelah vakum sekian lama, berapa harga PH tersebut? antara $20-25. Sebenarnya jika memasukan unsur inflasi, harga ini sama saja dengan nilai $8 di 1985 .
Dari sini kita bisa lihat bahwa harga sebuah PH di 1985 sama saja dengan PH di 2019. Dahulupun di 1988 harga sebuah CD antara Rp 30-35.000 dan masyarakat Indonesia dapat membelinya dengan biasa saja.
Tetapi ingat kurs rupiah saat itu US$1 = Rp 1700. Sehingga nilai Rp 30.000 adalah sama dengan $17,6 atau setara dengan $20-25, setelah inflasi selama 30 tahun. Jadi harga PH yang sekarang berkisar Rp 300-450.000, adalah masih wajar ketika US$1 = Rp 14.000, bukan? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H