"Aku di didik dari kecil di kasultanan sebagai pasukan perang, maka aku akan gadaikan nyawaku untuk melawan yang sambar sang Wijaya Kusuma. Tetapi aku ingat betul, semasa kecil bapak ku mengajari kata rela dari hal kecil di kehidupannya. Maka bisa saja aku merelakan Wijaya Kusuma diambil orang. Sulit pangeran, sulit jawabannya. Bergantung situasi nya" jawab bimbang Adimas Raharjo. Karena sang kusir mengetahui analogi pertanyaan yang diutarakan pangeran.
Pangeran mulai melepas pikirannya, kutipan kata rela dari mulut bawahannya memantik ikhlas di dadanya.
Satu jam berselang, tabrakan terjadi. Perbatasan Kasultanan Minangkara yang terdapat stupa gajah minangkara 10 meter tingginya dihantam kereta.
Perjalanan mustahil dilakukan, tiga ekor kuda yang menarik kereta cidera patah kaki dan tidak mungkin ditinggalkan. Pangeran tampak lesu menunggu kereta penyelamat Maestapati menjemputnya.
Mahkota wijaya kusuma yang di rawat selama ini dengan penuh kerelaan dibiarkan patah disambar orang.
"Pangeran, Ksatria itu ibaratnya Garuda. Setiap kepak sayapnya selalu membuat muka bumi bergetar. Pangeran akan dapat Wijaya Kusuma baru, tanpa pangeran rawatpun wanginya bisa pangeran hirup" Adimas Raharjo berusaha lancang mengutarakan pesan untuk pangeran.
"Adimas, Wijaya Kusuma telah punah. Alunan titah ayahanda telah luntur. Pesanmu akan aku ingat" Jawab pangeran penuh keraguan.
Kerumunan rakyat yang berupaya menolong kuda pangeran, satu persatu mulai bubar. Kereta penyelamat kasultanan datang menjemput pangeran. Kini pangeran memilih jalur ksatria pulang dengan menjelma Garuda.