Mohon tunggu...
Winarto SPd
Winarto SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Ruang Tuang Rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Patahnya Mahkota Wijaya Kusuma

6 Juli 2024   20:56 Diperbarui: 7 Juli 2024   05:31 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/XR182mdsJu4vPgF47

"Braaakkkkkk" kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda menabrak stupa gajah minangkara.

Pagi itu jalanan tampak penuh rakyat yang lalu lalang. Wanita-wanita berbalut jarik dan kemben lurik berdoyong-doyong dengan dunak di punggungnya. Lelaki kurus dengan celana komprang hitam, telanjang dada, serta ikat putih mangkak membalut kepalanya.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya pangeran membangunkan kusir kereta. Sang kusir dengan darah yang bercucuran di lubang hidungnya berangsur bangun. "Tidak apa-apa pangeran" sambil berupaya bangun suara lirihnya mengalun.

Pangeran terlambat datang memenuhi undangan kasultanan minangkara yang merayakan pesta pernikahan putri mahkota nya.

Iya, pangeran ingat betul dari pagi sudah merasa ada yang janggal. Rongga dada yang biasanya begitu tenang, nampak kuat menahan perjalanannya.

Bagaimana tidak, sultan Wiryo Panuluh Kasultanan Maestapati yang tidak lain adalah bapak kandungnya selalu mengalunkan titah ke pangeran untuk mempersunting Dewi Sekarwati putri mahkota Kasultanan Minangkara di masa hidupnya.

Pangeran sadar betul, tiga tahun berselang Kasultanan sedang merestorasi kepemimpinan. Perbaikan demi perbaikan kepemimpinan wilayah kekuasaan. Pangeran tidak memiliki waktu untuk bertandang ke Kasultanan Minangkara demi mempersunting putri mahkota.

Persis dua pekan yang lalu, utusan Kasultanan Maestapati yang bertugas juru terima perbatasan wilayah Minangkara mendapatkan pesan. Putri mahkota tidak lain Dewi Sekarwati akan di sunting rakyat Minangkara yang memenangkan sayembara memanah tempo hari.
Pangeran yang pernah dekat dengan Dewi Sekarwati tahu betul, Sang Dewi memiliki prinsip yang tidak sudi dengan budaya perjodohan di kasultanan nya.

"Pangeran yakin akan datang?" Tanya adimas Raharjo kusir delman kepercayaan Kasultanan Maestapati sebelum melakukan perjalanan. 

"Yakin adimas, Ayok segera bergegas. Jalanan tampak ramai, kurang cepat sedikit terlambat kita" sahut pangeran. Adimas Raharjo mengetahui bahwa perjalanan ini berat untuk pangeran. Pangeran yang diketahui sudah lama menaruh hati, tetapi rela berkorban untuk berkontribusi merestorasi kepemimpinan wilayah Maestapati.

"Adimas, Kalau kamu disuruh menunggu mekarnya bunga Wijaya Kusuma yang kamu rawat penuh kebaikan. Tetapi mahkota yang mulai sedikit mekar patah di sambar orang, apa yang kamu lakukan? Tanya pangeran kepada kusir setelah hentakan kuda pertama di perjalanan.

"Aku di didik dari kecil di kasultanan sebagai pasukan perang, maka aku akan gadaikan nyawaku untuk melawan yang sambar sang Wijaya Kusuma. Tetapi aku ingat betul, semasa kecil bapak ku mengajari kata rela dari hal kecil di kehidupannya. Maka bisa saja aku merelakan Wijaya Kusuma diambil orang. Sulit pangeran, sulit jawabannya. Bergantung situasi nya" jawab bimbang Adimas Raharjo. Karena sang kusir mengetahui analogi pertanyaan yang diutarakan pangeran.

Pangeran mulai melepas pikirannya, kutipan kata rela dari mulut bawahannya memantik ikhlas di dadanya.

Satu jam berselang, tabrakan terjadi. Perbatasan Kasultanan Minangkara yang terdapat stupa gajah minangkara 10 meter tingginya dihantam kereta.

Perjalanan mustahil dilakukan, tiga ekor kuda yang menarik kereta cidera patah kaki dan tidak mungkin ditinggalkan. Pangeran tampak lesu menunggu kereta penyelamat Maestapati menjemputnya.

Mahkota wijaya kusuma yang di rawat selama ini dengan penuh kerelaan dibiarkan patah disambar orang.

"Pangeran, Ksatria itu ibaratnya Garuda. Setiap kepak sayapnya selalu membuat muka bumi bergetar. Pangeran akan dapat Wijaya Kusuma baru, tanpa pangeran rawatpun wanginya bisa pangeran hirup" Adimas Raharjo berusaha lancang mengutarakan pesan untuk pangeran.

"Adimas, Wijaya Kusuma telah punah. Alunan titah ayahanda telah luntur. Pesanmu akan aku ingat" Jawab pangeran penuh keraguan.

Kerumunan rakyat yang berupaya menolong kuda pangeran, satu persatu mulai bubar. Kereta penyelamat kasultanan datang menjemput pangeran. Kini pangeran memilih jalur ksatria pulang dengan menjelma Garuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun