**
Telpon genggamnya berdering lagi,
“Mas, gimana? Ketemu alamatnya? Anaknya baru 4 tahun, Mas, jangan bicara apa-apa dulu. Bawa saja sekalian bebisiter-nya. Aku tetap di sini. Tidak, mereka tidak aku biarkan masuk. Itu tidak akan merubah keadaan. Aku kira mereka mendapat tender ini karena cara yang tidak benar. Aku pernah periksa pajak perusahaannya dan memang tidak beres…. Aku tidak tahu, Mas! Mas tahu sendiri ia tidak bisa dihubungi sekian tahun ini, semua karena salahku!”
Aku lihat matanya berkaca-kaca, wajahnya tegang.
“Mana aku tahu dia bergabung di proyek sialan ini…. Ya…ya… Mas buruan kesini! Aku takut kita…terlambat, Mas.”
Dan pembicaraan di telepon pun berhenti. Itu pasti Mas Aryo, suaminya. Ia kembali memandangku.
“Mbak membicarakan aku?”
“Kenapa harus bekerja pada pengusaha hitam itu, Ndar?”
“Aku selalu terobsesi dengan Pasar Klewer, mbak, tempat kita dibesarkan, tempat kita dulu bahagia dengan kemiskinan kita. Lalu kalau ada kesempatan besar merenovasi pasar itu, kenapa tidak ikut bergabung.”
“Kamu hanya ingin membuktikan sesuatu.”
Aku diam.