I took everything for granted then. Aku tidak pernah berpikir lebih bijaksana dari apa yang aku terima. Waktu itu aku tidak pernah berpikir kenapa dia hanya beli untukku, atau kenapa dia tidak beli baju baru untuk dirinya sendiri, atau kenapa aku selalu dibelikan segala sesuatu yang aku ingin punya. Dan dia sendiri, sepatu sekolah pun cukup beli di alun-alun utara—yang bekas pakai, hingga pernah teman-temannya patungan beli sepatu sebagai kado ulang tahun untuknya.
Kakakku kemudian pergi ke Jakarta untuk kuliah. Dia diterima di sekolah tinggi yang gratis tanpa bayar sesen pun. Aku masih di kelas dua SMP ketika dia berangkat ke ibu kota. Aku masih ingat dia di‘tumpang’kan truk ayam yang supirnya adalah tetangga belakang rumahku oleh ibu. Dia hanya dibekali rantang nasi, lauk, dan uang 15 ribu. Setelah itu hanya setahun sekali dia pulang, itu saja tidak lebih dari 3 hari.
Menjelang tahun ketiga dia merantau kuliah, dia pulang ke rumah dengan membawa bungkusan besar yang ternyata isinya adalah mini compo. Aku tidak pernah melihat benda seperti itu sebelumnya. Dan aku senang sekali ketika benda tersebut diberikan padaku. Aku juga melihat ibu menerima amplop tebal berisi uang banyak sekali. Kata kakakku:
“Bu, ini rapelan gaji dari tahun pertama sampai tahun kedua. Baru dapat sekarang. Tolong nanti dibayarkan ke Mas Bambang untuk melunasi hutang.”
Ibu memang punya hutang hingga hampir tiga ratus ribu ke Mas Bambang, tukang plecit (bank pasar) yang mengkreditkan uang ke orang-orang kampung dengan bunga 15% sebulan. Uang kreditan itu sebagian dikirim ke Jakarta untuk biaya hidup kakak tiap bulan. Rata-rata tiap bulan ibu mengirim wesel 15-25ribu.
“Endah ambil sebagian untuk sangu PKL ke Malang ya, Bu.” Lanjutnya.
Kata ‘sebagian’ yang dimaksud kakakku adalah lima puluh ribu dari jumlah sembilan ratus tiga puluh lima ribu rupiah. Ibu mengangguk. Seperti biasa, tidak ada ekspresi senang, bangga, atau bahagia di wajah ibu, datar saja. Tapi aku ingat sesudahnya, tiap kali ibu ngobrol dengan tetangga, topik pembicaraan selalu mengenai anak emasnya itu.
“Lha kalau anak saya Endah, sekolahnya ndak mbayar, malah digaji dan dijatah beras tiap bulan. Wong dasare bocahe pinter...” Dan lain-lain nada kebanggaan yang ditunjukkan oleh ibu.
Lalu malam ketika bapak belum juga pulang dari narik becak, kakakku meminta aku mengantarnya ke tempat bapak biasa mangkal. Dia mungkin sudah kangen sekali ingin ketemu, atau ingin segera bercerita tentang sekolahnya. Kini, jika aku uraikan kembali hal-hal seperti itu, ternyata kakakku bersikap demikian untuk membuat bapak bangga. Didatangi di pangkalan becak oleh anaknya yang kuliah di tempat hebat di Jakarta, anaknya yang pintar, yang pendiam, yang selalu memikirkan keluarga di atas keinginannya sendiri adalah suatu kebanggaan yang mengharukan.
Setahun kemudian dia lulus kuliah dan ditempatkan di sebuah kantor pemerintah di Surabaya. Dia sempat dua hari mampir ke Solo dan membuat kami sekeluarga lumayan kaget dengan penampilan barunya: dia berjilbab. Sejak kapan dia belajar Islam, tanyaku dalam hati tanpa pernah memverbalkannya. Bapak dan ibu biasa saja, masih tetap sayang, masih tetap datar dengan keputusan dan kehidupan anak-anaknya. Ada enaknya juga punya orang tua yang, meski buta huruf dan bodo, percaya betul dengan keputusan anaknya. Mana pernah mereka bertanya tentang kegiatan kami, atau nilai-nilai rapor kami, atau mau mengambil jurusan apa dan sekolah apa, atau kenapa tidak pernah ke gereja. Mereka hanya kenal istilah “sekolaho sing duwur!”[3], dan diiringi dengan perbendaharaan sederhana yang sangat tidak asing di telinga kami:
“Jangan sampai kamu mengalami hidup seperti bapak dan ibumu; mbarang, gresek[4], nguli, macem-macem pekerjaan dijalani.” Dan setelah itu, baik bapak ataupun ibu akan mengulang kembali cerita-cerita jaman Jepang, atau Gestok, atau banjir tahun 67 dan lain-lain hingga ribuan kali kami mendengarnya.