Pada saat itu anak di bawah 6 tahun yang sebenarnya belum boleh dipaksa untuk belajar membaca, menulis dan berhitung (karena memang perangkat cognitif untuk itu belum mereka punyai), dipaksa untuk melakukannya. Banyak SD yang menerapkan syarat kemampuan ini untuk penerimaan siswa baru.
Jadi tak heranlah kalau rata-rata nilai ujian kawan sekelas anak saya untuk matematika ini rata-rata antara 2 sampai 5. Bahkan tidak sedikit yang mendapat angka NOL, karena mereka memang baru bisa membaca huruf-huruf (sebagai persyaratan masuk sekolah), tanpa mengerti apa maksud dari yang mereka baca.
Asli, saya benar-benar heran. Apa yang mau dituju oleh kurikulum model ini. Apa mereka pikir kalau anak-anak diberi beban berat lebih awal mereka akan menjadi lebih pintar nantinya?
Kalau benar itu yang mereka pikirkan, tidak berlebihan kalau kita katakan mereka ini sebagai manusia tolol yang diberi kuasa. Sebab ini logikanya seperti meletakkan besi seberat 100 kilogram di atas buah pepaya. Apa pepayanya akan jadi lebih kuat?
Logika orang paling bodoh pun akan bilang, yang logis itu pepayanya HANCUR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H