Mohon tunggu...
Win WanNur
Win WanNur Mohon Tunggu... Freelancer - Kopi dan Traveling

Pembaca kompas yang menulis novel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Pendidikan Indonesia yang Menyiksa

7 Juli 2019   02:39 Diperbarui: 7 Juli 2019   14:11 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika semua orang seolah sibuk dengan persoalan zonasi sekolah pada penerimaan murid baru. Orang-orang seolah lupa, bahwa dibandingkan persoalan zonasi. Ada persoalan yang lebih mengkhawatirkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum, yang tidak lain adalah jantung dari sistem pendidikan itu sendiri.

Terkait kurikulum ini, saya tak pernah bisa melupakan masa ketika kami sekeluarga masih tinggal di Karawaci di tahun 2010 sampai 2013, ketika anak tertua saya baru masuk sekolah. Masa itu adalah waktu-waktu yang menyiksa bagi saya karena menyaksikan bagaimana anak saya menghadapi kurikulum rancangan departemen pendidikan yang diterapkan di sekolahnya.

Saya benar-benar tersika tiap melihat soal ujian yang dibawa pulang oleh anak saya dari sekolahnya. Membaca soal-soal itu, membuat saya bingung karena sama sekali tak paham arah mana yang sebenarnya mau dituju oleh kurikulum pendidikan yang dijejalkan pada anak-anak kita.

Perasaan itu pertama muncul ketika saya melihat soal bahasa Inggris yang diwajibkan dijawab oleh anak saya dan teman sekelasnya yang saat itu masih duduk di kelas I SD.

Awal kekagetan saya berawal dari melihat soal bahasa inggris yang diujikan kepada anak saya dan teman-temannya.

Dalam berbahasa Inggris, anak saya bisa dibilang cukup menguasai bahkan dalam penggunaan sehari-hari, dia bahkan sudah lebih fasih dari saya sendiri. Membacanya juga sudah lancar.  Karena dulu di sekolah lamanya yang bahasa pengantarnya sepenuhnya Bahasa Inggris, untuk anak kelas I pengajaran diarahkan untuk memahami maksud dari kata-kata itu.

Dalam sistem pengajaran di sekolahnya yang lama. Anak-anak disuruh mendengarkan kata-kata itu, mengucapkannya dan menuliskan apa yang mereka ucapkan dengan huruf yang mereka anggap sesuai dengan ucapan itu. Soal salah benar hurufnya tidak dipermasalahkan.

Tapi dalam bahasa Inggris, untuk anak kelas 1 SD saat dia bersekolah di Karawaci, yang diuji kemampuan untuk menuliskan kata-kata bahasa Inggris dengan benar, lengkap tanpa salah satu huruf pun. Nah di sini dia belepotan, karena tercampuraduk dengan bahasa Indonesia.

Apa sasaran yang mau dituju dengan kurikulum semacam  itu?...Saya sama sekali tidak paham.

Kemudian hal yang sama terjadi untuk pelajaran matematika. Melihat soal yang diberikan pada anak SD kelas I, saya sama sekali tak mengerti dan bertanya-tanya dalam hati apa orang-orang yang menyusun kurikulum ini nggak pernah tahu tentang kemampuan kognitif anak umur 6 - 7 tahun?

Masa untuk ujian matematika kelas 1, pertanyaannya digunakan bahasanya orang dewasa.

Dari sepuluh soal ujian, 2 yang saat itu tidak bisa dijawab anak saya. Pertanyaannya berisi gambar orang yang memegang papan angka 6 sampai 10 dalam posisi acak.

Pertanyaannya, urutkan dari yang besar ke yang kecil

Yang satu lagi juga begitu, gambar berisi orang yang memegang papan angka 1  sampai 5 dalam posisi acak.

Pertanyaannya urutkan dari yang kecil ke yang besar.

Anak saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Dan ternyata, tidak satupun teman sekelasnya yang bisa menjawab pertanyaan itu. Nilai 7,7 yang dia dapat itu adalah nilai tertinggi di kelasnya.

Masalahnya apa?... Jelas sekali karena pembuat soal ini waktu membuat soal tersebut. Dia menggunakan logika orang dewasa yang kalau melihat gambar seperti itu langsung memahami dengan logikanya. Bahwa apa yang dimaksud dengan 'besar' dan 'kecil' dalam soal-soal itu adalah angka-angkanya.

Sementara untuk anak SD di usia seperti itu, BESAR dan KECIL itu masih mereka pahami sebagai bentuk NYATA. Gajah = BESAR, Kambing = KECIL, anak-anak seumur itu di manapun di dunia, kecuali yang sangat jenius tidak akan bisa paham konsep abstrak tentang besar kecil yang dilambangkan dengan angka. Sebab kemampuan seperti itu memang belum eksis dalam perkembangan kognitifnya.

Jean Piaget, pelopor psikologi perkembangan yang konsepnya tentang tahap perkembangan kognitif manusia  dijadikan acuan di seluruh dunia sampai sekarang. Membagi tahapan perkembangan kognitif anak itu dalam empat tahap.

1. Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2. Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
3. Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
4. Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).

Jadi anak kelas 1 SD itu, secara manusiawi sebenarnya baru pada tahap pra operasional.  Mereka masih membutuhkan dua tahap lagi yang harus mereka lewati untuk bisa sampai pada penalaran abstrak, sebagaimana yang ditampilkan di soal itu.

Tapi ajaibnya, kurikulum pendidikan di Indonesia ini betul-betul suka-suka sendiri dalam menentukan tingkat kemampuan anak.

Pada saat itu anak di bawah 6 tahun yang sebenarnya belum boleh dipaksa untuk belajar membaca, menulis dan berhitung (karena memang perangkat cognitif untuk itu belum mereka punyai), dipaksa untuk melakukannya. Banyak SD yang menerapkan syarat kemampuan ini untuk penerimaan siswa baru.

Jadi tak heranlah kalau rata-rata nilai ujian kawan sekelas anak saya untuk matematika ini rata-rata antara 2 sampai 5. Bahkan tidak sedikit yang mendapat angka NOL, karena mereka memang baru bisa membaca huruf-huruf (sebagai persyaratan masuk sekolah), tanpa mengerti apa maksud dari yang mereka baca.

Asli, saya benar-benar heran. Apa yang mau dituju oleh kurikulum model ini. Apa mereka pikir kalau anak-anak diberi beban berat lebih awal mereka akan menjadi lebih pintar nantinya?

Kalau benar itu yang mereka pikirkan, tidak berlebihan kalau kita katakan mereka ini sebagai manusia tolol yang diberi kuasa. Sebab ini logikanya seperti meletakkan besi seberat 100 kilogram di atas buah pepaya. Apa pepayanya akan jadi lebih kuat?

Logika orang paling bodoh pun akan bilang, yang logis itu pepayanya HANCUR.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun