Mohon tunggu...
WIMA Harsono
WIMA Harsono Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Lingkungan, Sosial, Politik dan Religi

Pemerhati Lingkungan, Sosial, Politik dan Religi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Kaum Nahdliyin Dalam Pilpres 2024

7 Februari 2024   11:39 Diperbarui: 7 Februari 2024   12:54 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilema Kaum Nahdliyin Dalam Pemilu 2024.

Oleh : Wima Harsono

Seperti diketahui tanggal 14 Februari bangsa Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar yaitu pemilihan umum atau pemilu 2024.

Ini adalah momen yang paling ditunggu oleh bangsa Indonesia karena akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden baru. 

Indonesia adalah  negara dengan mayoritas penduduk beragama islam,  juga merupakan komunitas muslim terbesar di dunia.

Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, dimana dalam penentuan pemilihan pemimpinnya, akan dilakukan secara demokratis, yaitu dengan pemilihan langsung, artinya yang akan terpilih menjadi pemimpin adalah yang memperoleh mayoritas perolehan suara pemilih. 

Nahdatul Ulama atau NU, merupakan organisasi massa  muslim yang terbesar di Indonesia. Kalau mengacu pada konsep demokrasi, akan sangat mudah menentukan pemimpin atau presiden Indonesia, jika didukung oleh NU, karena NU adalah mayoritas. 

Namun NU sendiri memberikan kebebasan pada anggota nya untuk menentukan pilihannya, dan ini sesuai konsep NU secara organisasi yang tidak akan mendukung pada satu pasangan tertentu. 

Artinya NU diluar dari kepentingan partai tertentu, atau NU sendiri bukan bagian dari partai tertentu. Setiap anggota NU diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya, dan ini dijamin dalam undang-undang. 

Kalau kita cermati, ada hal yang sangat menarik dalam konsep ini. Apa itu? 

NU atau Nahdlatul Ulama adalah Ormas yang bernuansa religi, dalam hal ini adalah agama islam. Di dalam NU atau pengurus NU banyak sekali para ulama, kyai, ustadz, ustadzah, habib, dll pemuka-pemuka agama islam. 

Seperti kita ketahui, dalam tradisi islam sangat ditekankan bahkan menjadi kewajiban, setiap muslim untuk menghormati dan mengikuti para pemimpinnya atau panutan religinya atau guru-gurunya. Dalam hal ini adalah para ulama, kyai, ustadz, ustadzah, habib dll pemuka agama islam, yang notabene dianggap sebagai guru atau bagi umat muslim pada umumnya. 

Bukan saja mereka akan menjadi panutan dalam menjalankan syariat islam, namun juga dalam hal-hal lain yang sifatnya habluminannas, atau hubungan antara manusia, seperti panutan tentang  etika, adab, moral dan lainnya yang berhubungan dengan aktivitas sosial sehari hari.

Karena menjadi panutan, maka apa yang dilakukan mereka akan diikuti oleh umat islam pada umumnya. 

Yang jadi masalah adalah?, dalam hal menentukan pilihanya pada sistem demokrasi, karena mereka yang dianggap sebagai panutan yang akan diikutinya, ternyata terpecah pada masalah pemilihan atau, dukung mendukung dalam menentukan pemilihan kepala  negara atau  Pemilihan presiden. 

Para ulama, kyai, ustadz, ustadzah, habib dan lain-lain tokoh agama Islam, sangat beragam dalam dukung mendukung pemilihan Capres.

Hal ini akan sangat berdampak pada umat islam pada umumnya. Karena bisa jadi yang selama ini menjadi panutan, dalam hal syariat dan fiqih islam, memiliki pilihan yang beda dengan dirinya. 

Yang pada Akhirnya bisa membingungkan umat islam dalam menentukan pemilihan pemimpinnya. 

Kebingungan umat islam ini sudah diterangkan pada suatu hadis, yang menyatakan bahwa, nanti di akhir zaman umat islam akan kebingungan dalam mengikuti pemimpinnya. 

Karena banyak pemimpin muslim yang terkena penyakit  hubbud dunya, atau cinta berlebihan pada dunia. Sehingga lupa atau melupakan kehidupan akhirat. 

Terus bagaimana kita sebagai umat islam pada umumnya, dalam menentukan pilihanya ??

apakah akan mengikuti panutan yang selama ini diikuti ?? atau tidak, karena punya pilihan sendiri. 

Ini dilematis.

Dalam konsep islami, mestinya kalau para pemuka atau tokoh agama yang menjadi panutan akan kompak dan sepakat pada satu pilihan, karena acuan pemilihan pemimpin menurut tradisi islam sangat jelas dijabarkan pada ayat-ayat Al-qur'an dan hadis, dan mereka pasti lebih tahu dari umat islam pada umumnya. 

Terus kenapa bisa berbeda?? 

Mari kita tela'ah lebih dalam.

 

Islam menjelaskan bahwa pemimpin mesti memiliki 

 setidaknya 6 sifat atau karakter yang harus dijalankan. 

1. sifat sidiq (jujur) 

2. sifat amanah (terpercaya) 

3. Fathonah (cerdas) 

4. Istiqomah (konsisten) 

5. tabligh (menyampaikan) 

6. Akhlakul Karimah (akhlak mulia) 

Inilah yang dinilai dari sisi pemimpin dalam menjalankan tugas yang diemban nya. 

Terus bagaimana dari sisi pemilih?? terutama pemilih dikalangan yang menjadi panutan yaitu para ulama, kyai, ustadz, ustadzah, habib dan lain-lain tokoh-tokoh dan pemuka agama Islam.  

Dengan melihat kenyataan bahwa mereka terpecah dalam menentukan pilihan atau mendukung calon pemimpinnya, maka ada kemungkinan acuan yang dipakai atau argumennya satu sama lain berbeda. 

Padahal dalam alquran surat an-nisa 59 sudah dijelaskan, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Saya pribadi menduga diantara tokoh-tokoh Islam, ada faktor lain yang mungkin, berbeda dalam cara menelaah dan cara mengkaji kaidah kaidah islami dalam memilih pemimpin.

Atau, ada faktor lain di luar dari kaidah-kaidah agama Islam, yang mereka jalankan, sehingga timbul perbedaan.

Saat ini banyak para pemuka agama yang juga anggota NU, sudah masuk ke dalam kelompok pasangan Capres tertentu, artinya mereka sudah menyatakan diri mendukung pasangan tersebut. 

Dalam alam demokrasi hal ini sah-sah saja. Namun dalam tradisi Islam yang sangat kuat untuk mengikuti apa yang dilakukan pemimpinnya, akan menjadikan pertanyaan umat di bawah nya. Alasan apa mereka mendukung calon si A, alasan apa mendukung calon si B.  dan seterusnya.

Ini akan terus menjadi bahan perbincangan umat Islam umumnya, yang bisa juga akan menimbulkan perpecahan di antara mereka dengan argumen-argumen yang beda. Bisa jadi mereka memiliki argumen yang berbeda dengan tokoh yang selama ini dianutnya.

Saya sangat menyarankan bagi pemilih harus mengetahui mendalam tentang trek record calon yang akan dipilih jadi pemimpin nantinya, yang setidaknya memiliki 4 kriteria seperti yang sudah dijelaskan oleh Imam besar yaitu al-Ghazali. 

Empat kriteria utama yang dimaksud adalah : 

  1. najdat atau memiliki cukup kekuatan dan berwibawa, 

  2. kifayah atau mampu menyelesaikan segala persoalan, 

  3. wara' atau sikap hidupnya baik, tidak kontroversial dan terakhir, 

  4. 'ilmu yang bermakna memiliki ilmu pengetahuan.

Sifat ini adalah sifat yang sudah nampak sebelum dipilih menjadi pemimpin, jadi ini sifatnya acuan untuk memilih pemimpin.

Pemilih dalam menentukan pilihannya mestinya berdasarkan penilaian batin yang kuat, hati nurani yang baik dan tidak terpengaruh dengan adanya imbalan, materi atau janji-janji tertentu. ini sifatnya individual dan yang mengetahui hanya diri pemilih sendiri dan ini yang akan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah SWT.

Dalam Hadis HR Muslim dinyatakan.

Pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi pemimpin, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.

Mari kita  coba menggali perbedaan pemilihan yang dilakukan para tokoh agama dari sudut pandang eksternal, karena sangat tidak mungkin menggali secara internal mereka, di samping sulit diperoleh datanya, juga bukan ranah kita. 

Menggali secara eksternal yang dimaksud disini adalah, apa yang mereka lakukan baik dari sisi pemilih yaitu para tokoh agama Islam, maupun dari sisi yang akan dipilih, yaitu calon presiden dan wakil presiden serta pendukungnya.

Jika ada para tokoh-tokoh Islam yang dengan ikhlas, dengan sukarela tanpa ada imbalan apapun atau  dijanjikan apapun, mereka membuat komitmen bersama, membuat kesepakatan bulat, dan memberikan penilaian kepada calon pemimpinnya yang tentunya menggunakan prinsip prinsip ajaran Islam, dan mereka mendekati atau menunjuk dan mendukung calon pemimpin, maka inilah sebaiknya yang diikuti. 

Karena merekalah yang hampir dipastikan menggunakan hati nuraninya berdasar kaidah-kaidah yang islami untuk menentukan pilihan pemimpinnya. 

Mereka pasti tahu persis konsekuensi apa yang akan diterima, baik didunia maupun kelak di akhirat, jika mereka sembarangan dalam menentukan pilihannya atau dengan cara yang menyimpang dari konsep yang Islami. 

Sebaliknya jika para tokoh-tokoh agama yang didekati, sekali lagi didekati, oleh calon pemimpinnya atau pendukung pendukung calon pemimpin tersebut, maka hal ini perlu dicermati. 

Bisa jadi mereka para tokoh-tokoh agama tersebut, memang menjadi panutan, dan calon pemimpin perlu sowan untuk mohon doa restu, dan ini sering dilakukan oleh calon-calon pemimpin menjelang pemilihan. 

Namun ada kemungkinan, yang dilakukan calon pemimpin atau pendukung calon pemimpin tersebut, melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran islam, yang tujuannya untuk mempengaruhi para tokoh agama Islam yang di didekati untuk memilih pasangan tertentu, dengan ada imbalan atau janji-janji tertentu. 

Jika hal ini terjadi, artinya tokoh agama yang di dekati calon pemimpin atau pendukungnya menerimanya, dan sepakat dengan komitmen yang dinilai banyak pihak menyimpang dari ajaran Islam dengan alasan apapun, maka inilah yang bisa jadi penyebab adanya perbedaan dalam menentukan pilihan pemimpinnya dari kalangan pemuka atau tokoh-tokoh agama Islam, khususnya dari kalangan NU. 

Memang hal ini sangat sulit dibuktikan dan perlu dengan bijak mencari tahu kebenarannya. Bisa jadi mereka para tokoh agama  yang didekati tersebut membuat komitmen dengan calon pemimpin hal-hal yang baik, yang pro rakyat, yang adil, yang tidak untuk kepentingan pribadi atau golongannya, dan sesuai dengan ajaran Islam. Inilah juga yang mesti diikuti. 

Namun jika yang terjadi sebaliknya, komitmennya yang sangat menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka yang seperti ini perlu dipertimbangkan untuk diikuti. Jadi kuncinya adalah komitmen tersebut sesuai tidak dengan ajaran dan konsep-konsep yang Islami.

Yang perlu kita ingatkan bersama bahwa , jika diantara kita dengan sengaja, ikut memilih pilihan dari sosok religi yang selama ini sudah jadi panutannya, tapi menurut pandangan hati nuraninya  ada yang tidak baik dilakukan oleh panutannya tersebut dalam menentukan pilihannya, atau pandangan yang tidak baik terhadap calon pemimpinnya yang akan dipilihnya, maka sangat berat nanti dalam mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT,  dan  hisapnya akan lama di akhirat nanti, dibanding masa jabatan calon yang dipilihnya.

Kalau toh, ternyata beda pilihan dengan panutannya, dan ternyata pemimpin yang dipilih nanti setelah terpilih menjadi pemimpin, melakukan sesuatu yang menyimpang dari etika, moral dan  ajaran Islam,  maka Insya Allah, Allah SWT akan memaafkan, karena, saat memilih calon pemimpin tersebut,  menurut hati nuraninya adalah orang  baik, amanah dan memenuhi kriteria untuk jadi pimpinan. Dan yang pasti  tidak  tahu apa yang akan dilakukan oleh pimpinan yang dipilihnya nanti setelah terpilih jadi pemimpin.

Bagi muslim yang taat, muslim yang mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam, muslim yang menggunakan hati nurani yang dalam dalam mengambil suatu keputusan,  dan yang takut akan konsekuensi nanti di hadapan Allah SWT, pasti akan sangat hati-hati dalam menentukan pilihannya.

Tidak masalah calon pemimpin yang dipilih nanti menang atau kalah dalam pemilihan, tapi di pihak mana kita berdiri saat itu, yang akan dinilai Allah SWT.

Masih ingat cerita Nabi Ibrahim  a.s, yang dibakar raja Namrud ? Kala itu ada burung pipit yang mengambil air dengan paruhnya yang kecil,  yang digunakan untuk menyiram ke kobaran api yang sangat besar, yang sedang membakar Nabi Ibrahim a.s, dengan tujuan untuk memadamkan kobaran api tersebut. Dan ada cicak yang menghembuskan udara dengan mulutnya ke kobaran api tersebut, dengan tujuan agar api terus menyala.

Kedua tindakan makhluk tersebut sedikitpun tidak akan berpengaruh dengan api yang berkobar-kobar membakar Nabi Ibrahim a.s. tapi di sisi Allah SWT sangat bernilai, yaitu dimana keberpihakkan saat itu. Allah menilai kemuliaan burung pipit yang bertujuan memadamkan api, sedangkan cicak, sangat hina karena bertujuan mengobarkan api tersebut.

Yang perlu diingat adalah bahwa yang menang belum tentu yang benar, dan yang benar belum tentu yang menang. Jadi buat kaum nahdliyin khususnya dan umat Islam pada umumnya,  gunakan hati nurani dalam menentukan pilihan pemimpinnya saat Pilpres 2024 nanti.

Tidak harus mengikuti panutan religinya kalau dinilai menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun demikian harus tetap menghormati dan menghargai panutan religinya,  selama tidak menyimpang dari norma, etika dan ajaran yang Islami.

Ingat, beda pilihan tidak dosa, tapi salah pilihan bisa menjurus ke neraka, karena kelak akan ditanya dan dimintai  pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT. (WMH)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun