Mohon tunggu...
wilson watu
wilson watu Mohon Tunggu... -

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, menaruh minat pada masalah-masalah sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surplus Moral dalam Draf RUU Permusikan

1 Februari 2019   16:30 Diperbarui: 1 Februari 2019   16:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik tentang draf rancangan undang-undang permusikan di Indonesia tampaknya semakin hangat. Polemik itu terjadi lantaran munculnya sejumlah pasal yang dianggap terlalu berlebihan sehingga memiliki kesan membatasi kreativitas para musisi Indonesia. 

Sebelumnya, melalui berita dalam situs resmi Dewan Perwakilan Rakrat Indonesia, pihak legislatif mengatakan bahwa inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang tersebut dilakukan untuk menjamin hak-hak musisi yang selama ini diabaikan. 

Jika persoalan yang hendak diangkat adalah kurangnya jaminan atas hak-hak musisi yang selama ini diabaikan maka tentunya sangat diharapkan agar undang-undang tersebut berkonsentrasi pada hal-hal tersebut, bukan pada aspek lain yang sebenarnya sudah menjadi pokok pembahasan undang-undang lain. Dalam tulisan ini, saya akan berkonsentrasi pada pasal tentang kaidah moral dalam draf rancangan undang undang tersebut.

Salah satu keberatan terbesar yang diangkat oleh para musisi terkait dengan isi pasal 5 dalam draf rancangan undang-undang permusikan tersebut adalah kaidah moral yang terkesan membelenggu kreativitas para musisi. 

Pembatasan-pembatasan itu terkait dengan larangan atas provokasi kekerasan, konten pornografi dan eksploitasi anak, provokasi pertentangan antar kelompok, penistaan agama, provokasi melawan hukum, pengaruh negatif budaya negatif, serta perendahan harkat dan martabat manusia. Penolakan terhadap pasal tentang 'kaidah moral' para musisi sebenarnya berasal dari kekhawatiran mereka terhadap 'karetnya' penerapan pasal tersebut. 

Sebagai contoh, siapa yang bisa menentukan secara jelas definisi dari pengaruh negatif budaya barat? Apa definisi yang jelas dari provokasi? Definisi yang tidak jelas akan membawa konsekuensi penerapan yang bersifat "mana suka".

Ketidakjelasan definisi ini tentu akan menimbulkan kebingungan tersendiri bagi aparat yang menerapkan dan juga bagi para musisi yang pada mereka pasal tersebut diterapkan. Kita tentu masih ingat tentang polemik iklan oleh salah satu situs belanja online yang menggunakan lagu dan klip dari girl band Korea Blackpink bukan? Tanpa ada undang-undang dengan pasal moral saja klip lagu yang biasa-biasa saja itu dipermasalahkan. Tentu bisa dibayangkan jika draf RUU ini diterapkan dan pasal tersebut tetap tertera.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa aspek-aspek di atas sudah diatur dalam undang-undang sebelumnya. Larangan provokasi atas kekerasan dan pertentangan antar kelompok sudah ada dalam Undang-Undang ITE, pembatasan konten pornografi sudah diatur dalam Undang-Undang Pornografi, tentang penistaan agama sudah diatur dalam Undang-Undang Penodaan agama. 

Jadi, untuk apa memasukan pasal-pasal tersebut ke dalam draf rancangan undang-undang yang menjamin hak musisi? Bukankah itu kontraproduktif? Sedemikian burukkah moral para musisi sehingga hasil karya mereka perlu diatur melalui standar moral yang ketat (dan juga karet)? Kita semua juga tahu bahwa penerapan Undang-Undang ITE, Undang-Undang Penodaan Agama, serta Undang-Undang Pornografi sering juga melebar. 

Sekarang, pasal 'karet' yang sering kali melebar dalam undang-undang tersebut mau diterapkan pada ranah lain seperti dunia permusikan. Bisa kita bayangkan betapa rumitnya para musisi menghasilkan karya karena harus disensor dengan macam-macam kaidah moral yang jika tidak diperhatikan akan membawa konsekuensi hukum.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa gerangan yang membuat para legislator merasa mendesak mengatur kaidah moral dalam industri musik? Apakah pelanggaran kaidah moral merupakan masalah terbesar dalam industri musik? Tentu tidak. Masalah utama yang dihadapi oleh dunia musik Indonesia adalah terkait jaminan atas hak cipta dan juga royalti dari pemanfaatan hasil karya para musisi. 

Ini pernah dibahas secara mendalam oleh salah seorang penyanyi Indonesia, Anji dalam channel Youtubenya. Anji mengatakan bahwa jaminan atas royalti para musisi masih bermasalah. Kita tidak memiliki payung hukum yang mengatur agar lagu-lagu yang dinyayikan oleh penyanyi selain pencipta lagu untuk kepentingan komersial harus dikompensasi dengan royalti yang sesuai dan layak. Ini tentu menjadi masalah karena ada musisi yang justru mendapatkan keuntungan finansial dari lagu orang lain tetapi tidak membayar royalti pada pencipta karya musik tersebut.

Jika memang intensi dan juga isi draf undang-undang permusikan tersebut sudah terarah pada jaminan atas hak-hak para musisi, maka para legislator seharusnya berkonsentrasi pada aspek tersebut dan tak perlu masuk pada ranah moral yang terkesan membelunggu. Apakah itu artinya karya musik tak perlu perhatikan kaidah moral yang ada dalam masyarakat? Tentu saja tidak. 

Kaidah moral tak perlu diatur dalam undang-undang permusikan sebab sudah diatur dalam undang-undang lainnya. Jika pasal tersebut dibiarkan, itu hanya akan menghasilkan penerapan yang tumpang tindih. Yang dibutuhkan musisi adalah jaminan, bukan pembatasan berlebihan. Negeri kita sudah cukup mengalami "surplus" dalam kaidah moral. Yang justru dibutuhkan adalah jaminan atas hak dan kebebasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun