Malam kian merambat sepi. Lampu-lampu di rumah yang terletak di deretan paling sudut telah lama meredup. Tapi belum semua penghuninya benar-benar terlelap. Di kamar utama rumah itu, Dewi Arimbi dan Raditya masih berbisik-bisik dalam obrolan menjelang tidur. Bagi Arimbi, perbincangan di pembaringan adalah hal yang paling disukainya. Ia bisa menyampaikan banyak hal tanpa beban. Bercerita tentang anak-anak, aktifitas hariannya, bahkan hal yang sensitif sekalipun. Menurutnya, suasana rileks bisa mengubah tema yang berat sekalipun menjadi terasa ringan.
“Aku nggak mau egois mas. Jika mas tak bahagia di sisiku. Monggoo... seandainya Mas punya pilihan yang tepat dengan hati,” setengah berbisik Arimbi menyampaikan gelisah hatinya.
Legaaa rasanya, usai mengucapkan hal itu pada sandaran hatinya. Sejujurnya, entah berapa lama Arimbi dilanda gelisah dengan segumpal rasa yang membuat hatinya gundah gulana. Rasa tidak percaya diri seolah terus membayang-bayangi langkahnya. Heuuuh, bener-benar seperti hantu. Arimbi ingin menepis rasa itu. Tapi ia tetap mengganjal, selama Arimbi belum mengungkapkannya. Mengurainya helai demi helai. Hingga rasa itu akan terjawab, setelah mengetahui bagaimana Radit menyikapinya. Rasa itu kerap menyelinap saat Arimbi mengeja jejak-jejak perjalanan rumah tangganya yang tak bisa dikatakan mulus. Ada saja onak yang ia lalui. Dan Arimbi sangat menyadari bahwa onak itu berasal darinya. Duri itu hadir karenanya.
Dan rasa percaya diri itu?..... dialah buah berduri dari benih yang ditanamnya. Dialah rasa yang lahir akibat sikap yang telah disulamnya sejak lama. Hemm, senaif itukah Arimbi? Ya, Arimbi memang naif. Tepatnya, sikap posesifnya yang begitu naif.
Arimbi yang posesif membuat Radit tak tahan dengan kecemburuan yang ditampakkan Arimbi. Dan itu bukan sekali dua kali menjadi pemicu konflik di antara mereka. Hingga puncaknya, Radit benar-benar marah. Emosinya tak dapat dibendung lagi. Mengalahkan akal sehatnya. Membuat kata-kata tak terkendali. Hingga kalimat itu pun terlontar. Kalimat dahsyat yang hingga kini membayangi langkah Arimbi. Kalimat yang membuat Arimbi teramat sakit hingga dilanda rasa tidak percaya diri yang hebat.
“Sebenarnya, aku tidak mencintaimu Rimbi. Aku menikahimu karena berbekal iman, itu saja! aku berharap kamu benar-benar istri shalihah yang kudambakan. Tapi ternyata, aku kecewa denganmu.”
Kalimat itu bagai petir di siang bolong yang membuat Arimbi serasa tersengat. Kakinya seolah tak berpijak lagi. Arimbi hanya bisa menangis. Ini semua salahnya. Bukan salah Radit. Maka, wajar jika Arimbi yang harus menelah buah pahit nan berduri itu. Bukankah ia yang menanam?
Arimbi tahu, bahwa Radit memilihnya bukan karena kecantikan atau lainnya. Melainkan Radit menyimpan harap pada Arimbi, bahwa dirinya mampu menjadi istri yang membuatnya tenang dan nyaman dalam rumah tangga yang dibangunnya. Namun kenyataannya, Arimbi kerap mencemburui Radit yang pandai bergaul. Yang tak jarang, banyak teman wanitanya terlihat begitu akrab dengan Radit. Bahkan di mata Arimbi, terlalu dekat.
Arimbi yang masa remajanya membatasi kontak dengan lawan jenis, menganggap sikap Radit itu berlebihan. Ia tak rela mengetahui Radit pulang bareng dengan teman wanitanya, sampai diantar ke depan rumah. Ia tak rela melihat Radit berlemah lembut di telepon dengan sahabat perempuannya. Ia tampak kan kecemburuan itu di depan Radit dengan diam membisu dan bersikap tak acuh. Sedang Radit tak suka diacuhkan. Hingga akhirnya konflik pun tak terelakan lagi.
Keadaan itu lah yang membuat Radit lelah, tak nyaman dan akhirnya terlontar kalimat itu. Kalimat yang menorehkan luka yang dalam di hati Arimbi. Namun juga membuat Arimbi sadar, bahwa dirinya telah bersikap tak sepantasnya di mata suami. Mana Arimbi yang kata orang baik?.... mana Arimbi yang kata orang shalihah? Ternyata Arimbi tidak ada apa-apanya. Jika tak mampu memberi kenyamanan bagi jiwa suami, apalagi yang bisa diharapkan dari seorang Arimbi?
Arimbi memang sempat terpuruk dalam perasaannya sebagai istri yang tak layak dicintai suami. Namun luka hatinya membuat ia segera bangkit untuk mencerabut paksa sikap posesifnya. Untuk apa rasa cemburu? Toh cinta itu memang bukan untuknya. Luka biarkanlah hadir, tapi kehidupan tetap harus berlanjut. Ijab kabul yang diikrarkan telah melewati bilangan tahun. Tak mungkin, Arimbi harus menyurutkan langkahnya gara-gara tak ada cinta. Bukankah, masih ada yang lebih berharga dari itu semua? Ketiga buah hatinya lebih dari segalanya. Cinta tulus, tawa riang dan keluguan wajah bening mereka, yang kini harus dijaga. Luka itu ternyata membuat Arimbi berubah. Ia menjelma menjadi istri yang manis, yang selalu berusaha membahagiakan Radit dan anak-anaknya.
Justru bersama lukanya ia mampu berdamai dan berhasil menciptakan suasana yang nyaman di rumah. Membuat rumahnya sepi konflik. Karena kini, Arimbi tak lagi peduli dengan kehangatan Radit pada teman-teman perempuannya. Tak mau tahu kepada siapa Radit bersikap lembut saat di telepon. Mungkinkah itu karena Arimbi menyadari akan posisinya?.... sebagai istri yang tak layak dicintai.
Arimbi kembali menekuri langkahnya. Bukankah ada cinta yang lebih dari segalanya? Cinta pada Yang Maha Mencinta, yang seharusnya ia kejar mati-matian. Cinta yang tak akan pernah pupus dalam keadaan apapun. Arimbi tak pantas untuk merasa terluka. Bukankah dahulu, dalam bait do’anya ia meminta dipasangkan dengan seseorang yang akan membawanya semakin cinta dan semakin dekat padaNya. Arimbi sadar, langkahnya telah bergeser. Selama ini, cintanya pada Radit telah menggeser cintanya pada Yang Maha Mencinta, yang selama ini menjadi tujuan hidupnya. Rabb yang mengatur skenario hidup ini. Anggap saja, luka yang kini ia rasa adalah teguran.
Arimbi telah berlebihan mencintai Radit. Bagi Arimbi, Radit lah satu-satunya orang yang mampu menembus ruang hatinya. Masa remaja Arimbi yang benar-benar berpegang pada kehati-hatian bergaul, telah membangun dinding pembatas yang kokoh antara dirinya dan lawan jenis. Hingga Arimbi tak pernah memperdulikan surat-surat cinta yang mengalir dari beberapa teman lelakinya. Arimbi tak menggubris kehadiran beberapa orang yang serius datang ke rumahnya. Arimbi ingin, hatinya tetap utuh untuk seseorang yang kelak menjadi suaminya. Ia bertekad, bahwa yang pertama dan terakhir menempati hatinya adalah dia yang mengucapkan aqad di hadapan ayahnya.
Dan nyatanya, benar Arimbi bisa menjaga sikap. Hingga benar-benar Radit seorang lah yang berhasil menguasai hatinya. Radit lah lelaki yang begitu datang ke rumah bersama orang tuanya, langsung terasa cocok di hati Arimbi. Tapi Arimbi belum bisa bersikap baik sebagai istri. Egonya teramat besar. Dan sikap-sikap lainnya, yang membuat Radit belum merasa nyaman. Beruntunglah, Arimbi kini segera menyadarinya, bagaimana seharusnya ia bersikap.
Hingga sampailah pada suatu hari, Radit meralat kalimat yang pernah menggoreskan luka itu. Alasannya, kalimat itu ia lontarkan di puncak emosi yang tak terkendali. Mampukah alasan itu mengobati luka yang menganga di hati Arimbi? Sepintas ya. Terlebih, meski tak ada ralat sekalipun, bukankah cinta tak selamanya butuh pernyataan? Bukankah ia tersirat dari caranya Radit memandang Arimbi, memanggilnya sayang, memuji masakannya, juga kekhawatirannya saat Arimbi tak ada di sisi Radit.
Bukankah ia terbaca dari setiap interaksi sebagai pasangan suami istri? Harusnya luka itu memang telah sembuh. Tapi bagi Arimbi, kalimat itu tetap bagai hantu yang membayangi langkahnya. Membentuk gumpalan rasa tidak percaya diri yang mengganjal di lorong fikirannya. Seperti malam ini, rasa itulah yang membuatnya punya keberanian untuk menawarkan seseorang pada Radit. Arimbi tidak percaya diri untuk menjadi istri yang mampu membuat Radit bahagia. Ia merasa perlu mengusulkan agar Radit mencari seorang wanita yang klop di hatinya sebagai tambatan hati. Keputusan super gila bukan?
“gimana mas?...” Arimbi menyambung pertanyaanya.
“apaan sih, kamu kok punya ide konyol begitu?” Radit mengerutkan dahi. Tangannya tetap mendekap Arimbi.
“hemmh, aku kepikiran itu terus mas. Setelah pengakuan mas tempo hari itu.”
“hah, yang mana? Aku kok nggak ingat.”
“tapi jangan marah ya mas....” Arimbi dilanda ragu.
Pantaskah seorang istri kembali mengungkit kesalahan suaminya? Tapi segumpal rasa di hatinya itu mengenyahkan keraguannya. Arimbi merasa ini lah saatnya untuk menguapkan segumpal rasa yang mengganjalnya. Sikap Radit selanjutnya akan menjawab segala prasangkanya. Karena Arimbi tak mau terus dilanda rasa tidak percaya diri.
“emmh, terus terang mas... kata-kata mas tempo hari itu. Serasa terus membayangiku.”
“Apalagi saat melihat mas kesel, atau suasana yang kurang enak di antara kita. Aku selalu teringat kata-kata itu. Mungkin memang benar, aku ini bukan istri yang layak mendapat cinta. Karenanya, aku rela jika mas menjatuhkan pilihan pada seseorang untuk mendapatkan cinta mas Radit.”
Dengan berani, Arimbi mengalirkan semua gumpalan rasa itu di keheningan yang hanya dirasakan berdua dengan Radit. Di pembaringan yang kali ini terasa dingin bagi Arimbi.
“kan udah mas bilang kalo saat itu mas sedang emosi dan kecewa, Rimbi.” Radit mengelak. Tangannya tetap melingkar di pinggang Arimbi yang berbaring menghadapnya.
“Ya, tapi seandainya iya pun, aku terima kok mas.” Arimbi meyakinkan. Meski sebagian rasanya tetap berdebar. Inikah jawaban dari rasa itu?
“Terimakasih Rimbi, untuk tawarannya. Tapi, sampai saat ini mas belum kefikiran ke arah situ.” Radit mengubah posisi berbaringnya.
“Lagian, kamu lihat kan.... dari dulu kamu takut mas berpaling ke lain hati, tapi buktinya? Mas masih tetap di sampingmu kan?” Radit melemparkan pernyataannya tepat sasaran. Arimbi jadi merasa malu, benarkah kalo dirinya terlampau posesif. Sikap negatif yang ia sadari harus dibuang jauh-jauh.
“Makasii..... banyak ya mas, maafkan Rimbi yang selama ini masih berjiwa kekanak-kanakan. Tadinya Rimbi fikir, kasihan sekali mas Radit yang tak bisa menyalurkan rasa cinta yang seharusnya masih mas rasakan.” Arimbi menyusupkan kepalanya ke dada Radit.
Namun Kenyataannya
“mas, makan bareng yuk!”
Suara lembut itu mengagetkan Radit yang tengah menuliskan sms untuk Arimbi di keypad handphonenya. Pemilik suara lembut itu kini hadir kembali di hadapan Radit. Dia yang suatu hari pernah menjadi sumber keributan antara Radit dan Arimbi. Arimbi cemburu karena Radit mengantarnya pulang, Arimbi marah karena Radit begitu perhatian pada wanita itu. Namanya Naneta. Ia memang pernah membuat hati Radit berdesir halus. Tapi segera terhalang jarak karena Naneta dipindah tugas ke luar kota. Dan kini, ia kembali ke kantor ini. Kembali mengisi hari-hari Radit.
“kok bengong?....ayo dooong!” Naneta merajuk.
Suara lembutnya itu terkesan manja. Radit tak kuasa menolak. Naneta yang lembut dan suka merajuk. Hal yang tak pernah Radit temui pada Arimbi. Arimbi selalu hati-hati bersikap pada Radit. Apalagi sejak pertengkaran hebat tempo hari itu. Arimbi seolah tak kenal dengan istilah bermanja pada suami. Bahkan Arimbi seakan tak hendak merepotkan Radit dalam hal-hal besar sekalipun. Apalagi hal-hal yang remeh temeh. Sebisa mungkin, Arimbi selalu menanganinya sendiri. Arimbi tak pernah mengeluh dan tak pernah meminta. Ia kelola keuangan rumah tangga tanpa Radit tahu cukup atau tidaknya. Hanya, Radit melihat kini Arimbi tampak lebih pendiam.
“ yeee....bengong lagi. Makan kok bengong? Aku suapin ya!” Naneta menyuapkan sesendok makanan dari piringnya ke mulut Radit. Lagi-lagi Radit tak bisa mengelak. Ada aliran hangat ke sudut hati Radit. Radit tahu, ini nggak pantas. Tapi rasa indah itu, sayang untuk dilewatkan. Gadis berjilbab modis di hadapannnya ini begitu perhatian dan lemah lembut.
Ah andai Arimbi tahu, akankah ia marah seperti dulu? Akankah ia cemberut lagi? Atau, benarkah apa yang diucapkan Arimbi bahwa ia mengizinkan Radit untuk memiliki hati yang lain sebagai tambatan? Benarkah Arimbi akan merelakannya?
Sejak Naneta kembali ke kantor tempat Radit bekerja, Radit mulai sering pulang malam lagi. Menghabiskan waktu dengan jalan-jalan bersama Naneta. Bahkan Naneta ke salon di hari libur sekalipun, dengan setia Radit mengantarnya. Alasannya, sambil cari aksesoris dan pernak pernik mobil di mall tempat salon yang dituju Naneta berada. Selain itu, Radit beranggapan, bahwa andai Arimbi tahu, tentu ia akan merelakannya.
Naneta juga, bukan tak sadar dengan jilbabnya. Bahkan ia teramat tahu bagaimana pergaulan laki-laki dan perempuan seharusnya. Namun rasa indah itu, siapakah yang rela melewatkannya? Padahal, kapan Radit pernah mengantar Arimbi ke salon? Kapan terakhir kali Radit membelikan pakaian untuk Arimbi. Bahkan kini, makan malam bersama Arimbi pun sudah tak sempat lagi. Jangankan mengajak ibu tiga anak itu makan di luar, makanan yang disediakannya di rumah pun lebih sering bernasib tragis, kedinginan di meja makan yang mulai jarang diduduki.
Tapi, Arimbi kok tak protes ya? Apa sikap posesifnya benar-benar telah hilang dari dirinya? Atau Arimbi benar-benar akan mengikhlaskan Radit memiliki hati yang alin? Radit tak habis fikir dengan perubahan Arimbi. Perubahan yang teramat drastis. Malah Radit yang kini tanda tanya dalam hatinya. Sikap Arimbi terlihat semakin manis. Meski tak selembut Naneta. Atau mungkinkah kini Arimbi telah benar-benar matang? Seiring bertambahnya usia pernikahan mereka. Radit menatap Arimbi yang tengah asyik menghiasi jilbab parisnya dengan sulaman. Arimbi tak pernah menanyakan soal pulang malamnya. Tapi ia selalu menunggu. Dan dengan segera membuatkan minuman hangat. Arimbi juga tak pernah lagi mengutak-atik handphone milik Radit, seperti dulu. Hingga tanpa sengaja, pernah menemukan photo Naneta di dalamnya.
Bagi Arimbi sendiri, ia tak mau lagi membiarkan hatinya kacau dengan tingkah Radit. Arimbi tahu, tak ada alasan yang jelas bagi seorang pegawai di kantor tempat suaminya bekerja untuk pulang malam. Tapi Arimbi memilih bersikap tak ikut campur. Prinsip Arimbi, apapun yang dikerjakan Radit adalah tanggung jawabnya. Tanggung jawab Arimbi hanyalah bagian dalam negeri, yang menyangkut rumah dan anak-anak. Arimbi tidak mau jika ia turut campur malah akan menimbulkan konflik. Arimbi sudah cape dengan seribu konflik yang dulu kerap menghampirinya. Yang penting bagi Arimbi kini, memperbaiki sikapnya, membaguskan amalan hariannya di hadapan Yang Maha Menilai amalan.
“sikapmu itu salah Rimbi, bukankah Rasulullah tidak suka dengan seseorang yang sama sekali tak memiliki rasa cemburu terhadap pasangannya?” Sergah Sukma, kakak ipar yang dicurhatinya itu sewot.
“Bagaimana jika sebenarnya Radit itu ingin diprotes?” Lanjut kakak iparnya mengingatkan. Mungkin kakak nya yang kebetulan juga bertetangga itu terlalu sering melihat Radit pulang malam dan jarang di rumah jika hari libur.
“Tak apa mbak, mungkin dengan begitu mas Radit merasa bahagia. Apa pun itu, kalo membuat mas Radit senang, aku tak akan ambil pusing. Mas Radit tak suka dicemburui mbak.”
“Tapi, apa kamu tak merasa curiga dengan Radit? Feelling seorang istri itu tak bisa dibohongi.” Sukma mulai mengorek ruang terdalam perasaan Arimbi.
Arimbi hanya tersenyum getir. Perjalanan rumah tangganya benar-benar telah membuat wanita itu belajar untuk tegar. Beragam konflik antara dirinya denga Radit telah menempanya menjadi pribadi yang tabah. Benar kata Pak Mario Teguh, orang galau lah orang yang paling cepat menemukan kebijakan.
“Ya, sepintas sih ada mbak. Tapi Rimbi tak mau larut. Rimbi mau fokus ke anak-anak yang lebih membutuhkan perhatian. Sekalipun feelling Rimbi ini benar, toh pada akhirnya tetap akan ditemukan ujungnya. Meski kini Rimbi nggak tahu, akan berujung dimana.” Ucapan Arimbi seolah menunjukkan pribadinya yang realistis.
Ia seakan membiarkan jalan hidupnya mengalir saja seperti air. Atau Arimbi sendiri yang mengikuti kemana arus air itu melaju. Ia tak akan protes jika dirinya terombang ambing menimpa bebatuan yang dilewatinya.
Pagi buta, saat Radit masih di kamar mandi. Arimbi terusik dengan suara cempreng Sponge Bob yang berteriak dari handphone suaminya. Sekilas Arimbi melihat sebaris nama di layar handphone Radit, Naneta. Deg, serasa ada yang menonjok ulu hati Arimbi. Dia lagi? Bukankah dahulu itu dia telah pergi? Tak dipungkiri, Arimbi jadi penasaran. Kenapa gadis itu kembali hadir? Apakah Radit kembali mengontaknya setelah malam itu Arimbi merelakan suaminya untuk mencari tambatan hati?
Radit buru-buru menyudahi mandinya. Masih terbalut handuk, Radit segera menjawab salam dari suara lembut diujung telepon. Arimbi yang tengah membereskan tempat tidur, tanpa sengaja ikut menguping. Mungkin Radit tak sadar jika volume handphone nya terlalu keras. Hingga sayup-sayup bisa didengar Arimbi.
“Mas, aku di depan kantor nih. Tapi kok susah masuk, cepetan sini ya mas!” suara lembut itu terkesan panik. Arimbi berdesir mendengarnya.
“Oke..oke, aku segera ke sana ya!” Radit menutup teleponnya. Lalu tergesa-gesa mengenakan pakaian. Dan segera pamit pada Arimbi.
O ow demi memenuhi panggilan si dia, Radit sampai melupakan sarapan favoritnya. Roti udang mayones buatan istrinya. Arimbi hanya bisa geleng kepala. Merasa aneh dengan tingkah Radit. Apa sih sebenarnya yang ada di hati lelaki itu? Jujur, sebenarnya ada yang menyesak di dada Arimbi. Tapi, Arimbi tak tahu lagi, bagaimana ia harus mengelola perasaannya. Yang ia tahu hanyalah menghibur diri dan menguatkan hati. Bahwa semua itu akan berujung. Tunggulah Rimbi, pada akhirnya kau akan menemukan ujungnya!
Bukankah tempo hari kau pernah mengijinkan Radit untuk menjatuhkan hati pada pilihannya. Arimbi berusaha membuat hatinya tabah. Namun air matanya tetap tak bisa diajak kompromi. Telaga bening di matanya itu akhirnya tumpah dalam isak yang perih. Siapakah gerangan orang yang benar-benar rela membiarkan suaminya bahagia menempati hati yang lain? Sadarlah kini Arimbi, bahwa ikhlasnya baru sebatas bibir. Belum sampai ke hati. Arimbi membiarkan rasa perihnya mengalir bersama air mata. Tak ingin menahannya lagi. Biarlah ia tumpah, mengalir hingga lelah dan kering sendiri.
Arimbi tetap bersikap biasa meski ia mulai sadar akan keadaan Radit yang berbeda. Ia tak mau mengoreknya seperti dulu. Arimbi ingin mengetahui sampai dimana langkah Radit. Jika iman suaminya masih berperan, mungkin ia akan meminta izin untuk menikahi Naneta. Tapi jika Radit gelap mata, biarlah Allah saja yang menegurnya. Begitulah yang kini Arimbi pikirkan.
Baginya, yang penting ia melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri. Fuuuh, andai temannya yang aktifis kesetaraan gender mengetahui keadaan Arimbi saat ini, tentu ia akan mengolok-olok Arimbi. Tapi tidak, Arimbi tetap akan teguh pada pendiriannya. Bahwa, bagaimanapun keadaan suaminya, ia tetap harus taat. Lalu, siapkah Arimbi jika Radit minta izin menikahi Naneta? Arimbi bingung sendiri. Akankah ia kuat?
Arimbi menunggu. Menunggu Radit minta izin padanya. Tapi kalimat itu tak kunjung didengarnya. Radit masih bersikap biasa. Mengajaknya berbincang menjelang tidur. Dan sama sekali tak pernah mengungkit masalah itu. Sedang Arimbi sendiri mulai membatasai pembicaraan. Ia enggan untuk bicara panjang lebar. Ia tak lagi selera untuk menceritakan keluh kesahnya pada Radit. Kini ia lebih cepat memejamkan matanya, dan membiarkan Radit termenung sendirian menunggu kantuk.
Sementara Radit, Ia mulai merasa tak nyaman terlalu dekat dengan Naneta. Gadis itu terlalu tergantung padanya. Jauh dengan Arimbi yang kini lebih bersikap mandiri. Bersama Arimbi, Radit merasa ditempatkan sebagai panutan. Arimbi lebih mengutamakan Radit dalam segala hal dibanding dirinya sendiri. Sedang Naneta, ia terlalu menuntut untuk diberi perhatian. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Argh, Radit jadi lelah sendiri. Di hatinya terlintas rencana untuk menyudahi permainan ini.
Dan pada dasarnya, Radit tak bermaksud membandingkan Arimbi dengan Naneta. Lebih dari itu, ia merasa rindu dengan sikap Arimbi yang dulu. Yang selalu berceloteh riang tentang anak-anak, tentang kegiatan sehari penuhnya, juga tentang protes-protesnya saat ia tak berkenan dengan sikap Radit.
Radit mengira kalimat yang terlontar dari bibirnya tempo hari itulah penyebab Arimbi berubah sikap. Sedemikian dalamkah luka Arimbi, hingga ia tak percaya lagi bahwa Radit benar-benar masih mencintainya?
Tiba-tiba engkau ada
Kemudian engkau hadir
Laksana kerdil ku memeluk
Lihat aku lebih dalam
Di matamu ku melihat
Ada cinta yang tersirat
Sirami hati merebak
Barangkali aku salah
Kuterdiam bukan bisu
Tahu engkau besar malu
Tutupi rasa gelisah
Biar saja waktu nanti
Yang menikmati kisah ini
Bersamamu aku senang
Belum juga kah kau menyadarinya
Akulah yang pantas untuk kau cintai
Dibawah langit biru aku bersumpah
Diriku tanpamu apa artinya cinta
Arti cinta ini sudah menelan waktuku
Siang malam hanya untuk pikirkan engkau
Sejuta kali aku berani bersumpah
Diriku tanpamu apa artinya cinta
Suara merdu Melly Guslow dan Ari laso mengalun syahdu dari CD Audio di ruang tengah, menemani kesibukan Arimbi membersihkan rumah. Entah sejak kapan, Arimbi mulai suka lirik lagu ini. Yang ada difikirannya, serasa Arimbi banget. Tangannya sibuk mengelap perabotan sambil ikut bersenandung. Sementara, putri kecilnya tengah terlelap dalam buaian setelah Arimbi memandikannya. Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu depan mengagetkannya. Arimbi tergesa mengenakan jilbab, lalu bergegas menuju pintu depan. Arimbi menyambut ramah tamunya. Seorang Bapak setengah baya, berdiri di teras tanpa melepas helm di kepalanya. Ia langsung menyerahkan amplop coklat dan selembar nota untuk ditanda tangani.
“Maaf bu, saya dari Olympia Tour. Mau menyerahkan pesanan tiket pesawat atas nama Pak Radit.” Si Bapak berhelm itu mengangsurkan amplop dan ballpoint untuk menanda tangani nota.
“Ini tiketnya bu, untuk perjalanan Jakarta-Belitong, pulang pergi. Untuk dua orang. Silahkan ditanda tangani.”
Setengah gemetar, Arimbi menggoreskan tanda tangannya. Andai si Bapak memperhatikan, wajah putinya berubah memerah. Dadanya membuncah dengan rasa yang tak bisa dimengerti. Ia segera menyudahi transaksi itu tanpa banyak tanya. Agar si petugas segera berlalu.
Sejenak Arimbi termenung. Tiket? Radit nggak pernah membicarakan tentang pemesanan tiket. Hendak kemana kah Radit? Arimbi bertanya-tanya dalam hati. Biasanya Radit selalu membicarakannya terlebih dahulu dengan Arimbi. Tapi kali ini tidak. Apa Radit ada rencana pergi dengan Naneta, dan ia lupa malah mengirimnya ke alamat rumah. Arimbi mulai sibuk menebak-nebak.
Perjalanan ke Belitong, hanya untuk berdua saja? Tak salah lagi, tentu Radit lupa menyarankan alamat pengiriman.
Hemmh, Arimbi menarik napas dalam. Aaargh, lebih baik Arimbi tak perlu tahu. Jika itu akan membuat luka nya semakin menganga. Arimbi ingin mencoba tak peduli dan tak mau ambil pusing. Demi kebaikan dirinya dan rumah tangga. Ia sudah bertekad, akan menjadikan dirinya sebagai martil untuk kebahagiaan anak-anaknya. Arimbi ingin memberikan kesempatan pada Radit untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. Biarlah bapak tiga anak yang masih kecil-kecil itu, menikmati masa-masa transisinya.
Ealaaah, emang ada masa transisi juga ya buat bapak-bapak? Arimbi tersenyum kecut. Biarlah apapun namanya itu, Arimbi ingin memberi kesempatan pada Radit untuk melakukan apapun yang diingankanya. Berharap suaminya itu akan berakhir pada sebuah pijakan yang kokoh. Apapun itu, semoga yang terbaik buat berbagai pihak. Yang jelas, saat ini Arimbi masih istrinya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya.
Menjelang maghrib, Radit tiba di rumah dengan wajah berseri. Ia bercanda dengan si sulung yang gila bola. Mereka berdua menyusun rencana untuk nonton dan saling menjagokan tim favoritnya. Di kamar, Arimbi menata hati sambil menyiapkan amplop coklat yang tadi siang diterimanya. Ia menimbang-nimbang ucapan yang ingin disampaikannya. Agar tidak membuat suaminya salah tingkah. Eiit, tiba-tiba Radit udah nongol aja di pintu kamar.
“Lhah, merenung ampe lupa segala say,” Radit mencoba menggoda. Arimbi jadi kelabakan. Ia lupa, apa yang mau dikatakan pada suaminya. Refleks, tangannya menyodorkan amplop coklat itu.
“Yeah, udah diterima ya? Ayo dibuka!” Radit terlihat sumringah. Mata teduhnya terus menatap Arimbi. Membuat Arimbi salah tingkah. Arimbi mengerutkan dahi, tak memahami maksud Radit.
“Itu kado ulang tahun pernikahan kita, sayang. Lupa ya? Kalo hari ini, genap sebelas tahun kebersamaan kita,” Radit meraih pundak Arimbi ke pelukannya.
Arimbi tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya tercekat dengan tangis tertahan. Ia benar-benar kaget sekaligus haru dengan apa yang dilakukan Radit malam ini. Arimbi juga malu, telah berprasangka macam-macam pada Radit. Sampai-sampai ia lupa, bahwa hari ini adalah hari pernikahannya.
Di tahun-tahun yang lalu, Arimbi lah yang paling mengingat hari jadi pernikahannya. Arimbi lah yang memberondong Radit dengan berbait-bait puisi. Tapi sejak peristiwa yang menorehkan luka itu, Arimbi jadi merasa malu untuk melakukannya. Dan kini, Radit yang memulainya. Arimbi benar-benar terkejut. Nada-nada bahagia mengalun indah di bilik hatinya. Seperti yang selalu disenandungkannya mengiringi suara merdu melly Guslow. Ternyata, cinta itu masih ada. Cinta itu tak pernah pupus.
Arimbi menyusupkan kepalanya ke dada Radit. Air matanya jatuh satu persatu, bersamaan dengan menguapnya segumpal rasa yang selama ini menyumbat akal sehatnya, mengotori kebeningan hatinya.
“Terimakasih mas, telah menjadi suami yang istimewa untukku. Dan maafkan segala khilaf yang selalu kulakukan,” bisik Arimbi parau.
Ia membiarkan tangis penyesalannya mengalir bersama noda-noda di hatinya. Seperti hujan membasuh bumi. Mengantarkan kehadiran pelangi yang indah. Seindah cinta yang kini merona di hati Arimbi. Seperti yang dirasakannya saat aqad yang menggema dari bibir Radit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H