Bukankah tempo hari kau pernah mengijinkan Radit untuk menjatuhkan hati pada pilihannya. Arimbi berusaha membuat hatinya tabah. Namun air matanya tetap tak bisa diajak kompromi. Telaga bening di matanya itu akhirnya tumpah dalam isak yang perih. Siapakah gerangan orang yang benar-benar rela membiarkan suaminya bahagia menempati hati yang lain? Sadarlah kini Arimbi, bahwa ikhlasnya baru sebatas bibir. Belum sampai ke hati. Arimbi membiarkan rasa perihnya mengalir bersama air mata. Tak ingin menahannya lagi. Biarlah ia tumpah, mengalir hingga lelah dan kering sendiri.
Arimbi tetap bersikap biasa meski ia mulai sadar akan keadaan Radit yang berbeda. Ia tak mau mengoreknya seperti dulu. Arimbi ingin mengetahui sampai dimana langkah Radit. Jika iman suaminya masih berperan, mungkin ia akan meminta izin untuk menikahi Naneta. Tapi jika Radit gelap mata, biarlah Allah saja yang menegurnya. Begitulah yang kini Arimbi pikirkan.
Baginya, yang penting ia melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri. Fuuuh, andai temannya yang aktifis kesetaraan gender mengetahui keadaan Arimbi saat ini, tentu ia akan mengolok-olok Arimbi. Tapi tidak, Arimbi tetap akan teguh pada pendiriannya. Bahwa, bagaimanapun keadaan suaminya, ia tetap harus taat. Lalu, siapkah Arimbi jika Radit minta izin menikahi Naneta? Arimbi bingung sendiri. Akankah ia kuat?
Arimbi menunggu. Menunggu Radit minta izin padanya. Tapi kalimat itu tak kunjung didengarnya. Radit masih bersikap biasa. Mengajaknya berbincang menjelang tidur. Dan sama sekali tak pernah mengungkit masalah itu. Sedang Arimbi sendiri mulai membatasai pembicaraan. Ia enggan untuk bicara panjang lebar. Ia tak lagi selera untuk menceritakan keluh kesahnya pada Radit. Kini ia lebih cepat memejamkan matanya, dan membiarkan Radit termenung sendirian menunggu kantuk.
Sementara Radit, Ia mulai merasa tak nyaman terlalu dekat dengan Naneta. Gadis itu terlalu tergantung padanya. Jauh dengan Arimbi yang kini lebih bersikap mandiri. Bersama Arimbi, Radit merasa ditempatkan sebagai panutan. Arimbi lebih mengutamakan Radit dalam segala hal dibanding dirinya sendiri. Sedang Naneta, ia terlalu menuntut untuk diberi perhatian. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Argh, Radit jadi lelah sendiri. Di hatinya terlintas rencana untuk menyudahi permainan ini.
Dan pada dasarnya, Radit tak bermaksud membandingkan Arimbi dengan Naneta. Lebih dari itu, ia merasa rindu dengan sikap Arimbi yang dulu. Yang selalu berceloteh riang tentang anak-anak, tentang kegiatan sehari penuhnya, juga tentang protes-protesnya saat ia tak berkenan dengan sikap Radit.
Radit mengira kalimat yang terlontar dari bibirnya tempo hari itulah penyebab Arimbi berubah sikap. Sedemikian dalamkah luka Arimbi, hingga ia tak percaya lagi bahwa Radit benar-benar masih mencintainya?
Tiba-tiba engkau ada
Kemudian engkau hadir
Laksana kerdil ku memeluk
Lihat aku lebih dalam