Arimbi memang sempat terpuruk dalam perasaannya sebagai istri yang tak layak dicintai suami. Namun luka hatinya membuat ia segera bangkit untuk mencerabut paksa sikap posesifnya. Untuk apa rasa cemburu? Toh cinta itu memang bukan untuknya. Luka biarkanlah hadir, tapi kehidupan tetap harus berlanjut. Ijab kabul yang diikrarkan telah melewati bilangan tahun. Tak mungkin, Arimbi harus menyurutkan langkahnya gara-gara tak ada cinta. Bukankah, masih ada yang lebih berharga dari itu semua? Ketiga buah hatinya lebih dari segalanya. Cinta tulus, tawa riang dan keluguan wajah bening mereka, yang kini harus dijaga. Luka itu ternyata membuat Arimbi berubah. Ia menjelma menjadi istri yang manis, yang selalu berusaha membahagiakan Radit dan anak-anaknya.
Justru bersama lukanya ia mampu berdamai dan berhasil menciptakan suasana yang nyaman di rumah. Membuat rumahnya sepi konflik. Karena kini, Arimbi tak lagi peduli dengan kehangatan Radit pada teman-teman perempuannya. Tak mau tahu kepada siapa Radit bersikap lembut saat di telepon. Mungkinkah itu karena Arimbi menyadari akan posisinya?.... sebagai istri yang tak layak dicintai.
Arimbi kembali menekuri langkahnya. Bukankah ada cinta yang lebih dari segalanya? Cinta pada Yang Maha Mencinta, yang seharusnya ia kejar mati-matian. Cinta yang tak akan pernah pupus dalam keadaan apapun. Arimbi tak pantas untuk merasa terluka. Bukankah dahulu, dalam bait do’anya ia meminta dipasangkan dengan seseorang yang akan membawanya semakin cinta dan semakin dekat padaNya. Arimbi sadar, langkahnya telah bergeser. Selama ini, cintanya pada Radit telah menggeser cintanya pada Yang Maha Mencinta, yang selama ini menjadi tujuan hidupnya. Rabb yang mengatur skenario hidup ini. Anggap saja, luka yang kini ia rasa adalah teguran.
Arimbi telah berlebihan mencintai Radit. Bagi Arimbi, Radit lah satu-satunya orang yang mampu menembus ruang hatinya. Masa remaja Arimbi yang benar-benar berpegang pada kehati-hatian bergaul, telah membangun dinding pembatas yang kokoh antara dirinya dan lawan jenis. Hingga Arimbi tak pernah memperdulikan surat-surat cinta yang mengalir dari beberapa teman lelakinya. Arimbi tak menggubris kehadiran beberapa orang yang serius datang ke rumahnya. Arimbi ingin, hatinya tetap utuh untuk seseorang yang kelak menjadi suaminya. Ia bertekad, bahwa yang pertama dan terakhir menempati hatinya adalah dia yang mengucapkan aqad di hadapan ayahnya.
Dan nyatanya, benar Arimbi bisa menjaga sikap. Hingga benar-benar Radit seorang lah yang berhasil menguasai hatinya. Radit lah lelaki yang begitu datang ke rumah bersama orang tuanya, langsung terasa cocok di hati Arimbi. Tapi Arimbi belum bisa bersikap baik sebagai istri. Egonya teramat besar. Dan sikap-sikap lainnya, yang membuat Radit belum merasa nyaman. Beruntunglah, Arimbi kini segera menyadarinya, bagaimana seharusnya ia bersikap.
Hingga sampailah pada suatu hari, Radit meralat kalimat yang pernah menggoreskan luka itu. Alasannya, kalimat itu ia lontarkan di puncak emosi yang tak terkendali. Mampukah alasan itu mengobati luka yang menganga di hati Arimbi? Sepintas ya. Terlebih, meski tak ada ralat sekalipun, bukankah cinta tak selamanya butuh pernyataan? Bukankah ia tersirat dari caranya Radit memandang Arimbi, memanggilnya sayang, memuji masakannya, juga kekhawatirannya saat Arimbi tak ada di sisi Radit.
Bukankah ia terbaca dari setiap interaksi sebagai pasangan suami istri? Harusnya luka itu memang telah sembuh. Tapi bagi Arimbi, kalimat itu tetap bagai hantu yang membayangi langkahnya. Membentuk gumpalan rasa tidak percaya diri yang mengganjal di lorong fikirannya. Seperti malam ini, rasa itulah yang membuatnya punya keberanian untuk menawarkan seseorang pada Radit. Arimbi tidak percaya diri untuk menjadi istri yang mampu membuat Radit bahagia. Ia merasa perlu mengusulkan agar Radit mencari seorang wanita yang klop di hatinya sebagai tambatan hati. Keputusan super gila bukan?
“gimana mas?...” Arimbi menyambung pertanyaanya.
“apaan sih, kamu kok punya ide konyol begitu?” Radit mengerutkan dahi. Tangannya tetap mendekap Arimbi.
“hemmh, aku kepikiran itu terus mas. Setelah pengakuan mas tempo hari itu.”
“hah, yang mana? Aku kok nggak ingat.”