Situasi makro itu kelihatannya sedikit-banyak berpengaruh terhadap kinerja institusi demokrasi tentang HAM, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan atas hak-hak sipil dan kebebasan politik.
Situasi aktual hak sipil dan politik
Situasi hak-hak sipil dan kebebasan politik pada periode ini relatif baik. Jika dirata-rata, sekitar 62 persen informan yang terlibat dalam assessment cenderung memberikan penilaian baik terhadap empat aspek kebebasan sipil dan politik. Situasi ini relatif sama, atau meningkat sedikit, dibandingkan hasil assessment sebelumnya (58 persen, Tabel 1).
Aspek “kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan” masih menjadi aspek hak sipil dan politik yang paling baik dalam pembangunan institusi demokrasi. Indikasinya terlihat dari 72 persen informan – proporsi tertinggi – yang memberikan penilaian baik terhadap aspek itu. Hasil ini sekaligus mengindikasikan kecenderungan yang sama dibandingkan hasil assessment sebelumnya (74 persen, Tabel 1).
Perkembangan yang relatif signifikan terjadi pada aspek ”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut”. Dalam hal kualitas/kinerja-nya, aspek ini dianggap baik oleh 82 persen informan – bandingkan dengan hanya 26 persen informan yang menganggapnya baik pada 2003/2004. Proporsi informan yang menilai aspek ini sudah tercakup luas pun bertambah, dari 31 persen menjadi sekitar 42 persen. Secara umum, 55 persen informan menilai institusi demokrasi yang berkaitan dengan”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut” berada dalam situasi umum yang baik.
Akan tetapi, dengan cara pandang yang berbeda, kita dapat melihat bahwa kemajuan hak sipil dan politik itu lebih didorong oleh kualitas institusinya, bukan dari segi keluasan penerapan dan substansi kandungannya. Secara rata-rata, hanya 55 persen informan yang menyatakan regulasi tentang kebebasan sipil dan politik telah diterapkan secara luas, dan hanya 48 persen yang menilai aturan dan regulasi demokrasi mengakomodasi nilai-nilai prinsip kebebasan sipil dan politik. Jika dihitung secara rata-rata, aspek cakupan geografis dan substansi hak sipil dan politik hanya dianggap baik oleh 52 persen informan – relatif sama dengan hasil assessment sebelumnya (Tabel 1). Artinya, hak sipil dan politik hanya mengalami perkembangan formalistik demi citra positif, bukan dalam penerapannya.
Situasi formalistik itulah yang barangkali bisa menjelaskan mengapa di tengah-tengah proses institusionalisasi hak sipil dan politik, justru masih berkembang pelarangan dan serangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap kelompok-kelompok lain yang dianggap sesat (misalnya Jamaah Salamullah pimpinan Lia Aminuddin dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushadek). Tambahan lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada periode itu kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang konservatif, hingga menerbitkan fatwa yang melarang ajaran pluralisme, liberalisme, dan toleransi (Samadhi dan Warouw, eds. 2007, p. 68).
Tabel 5 di bawah ini menggambarkan secara ringkas penilaian terhadap situasi hak sipil dan politik.
Tabel 5. Penilaian terhadap aspek-aspek hak sipil dan politik (2007)
NO