Ada anggapan Ultra petita yang dilakukan oleh MK merupakan jalan tengah dari sebuah putusan untuk mencapai suatu kedailan dan kebenaran, namun ada pula yang mengartikan ultra petita akan menghasilkan kesewang-wenangan hakim dalam membuat putusan.
Hal tersebut memicu direvisinya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan yang bersifat ultra petita.Â
Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 57 ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
  1. Amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)Â
  2. Perintah kepada pembuat undang-undang
  3. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik         Indonesia Tahun 1945.
Namun tidak lama MK membatalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya ultra petita tidak melanggar asas legalitas maupun konsekuensi dalam system hukum Indonesia.Â
Justru pada perevisian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 atas larangan asas ultra petita dalam putusan MK adalah tidak sesuai dengan prinsip ex aequo et bono, meragukan independensi, dan kredibilitas Hakim sebagai seorang penafsir konstitusi.Â
Jika di dalam permohonan sudah terdapat frasa yang menyatakan bahwa "kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)...", menurut hemat saya bahwa pemohon telah mentransformasikan harapannya sesuai dengan keadilan yang di pegang teguh oleh sang Hakim. Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono juga sering diartikan sebagai "according to the right and good", atau "from equity and conscience". Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan "by principles of what is fair and just".
Selain itu juga, larangan ultra petita adalah bentuk keraguaan atas kredibilitas dan kompetensi seorang Hakim, bukankah seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang telah ditempa melalui proses "candradimuka" baik akademis, mental, karir, dan loyalitas hingga akhirnya dia dapat memegang amanah sebagai seorang Hakim dengan kasta "teratas".
Putusan yang berasas ultra petita adalah putusan yang mencoba berdasar pada asas keadilan hukum, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan, serta asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.Â