Mohon tunggu...
Willy Naresta Hanum
Willy Naresta Hanum Mohon Tunggu... Desainer - willynaresta

If the wall is high, the sky is higher

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Ultra Petita

7 Maret 2020   20:48 Diperbarui: 7 Maret 2020   20:51 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

    1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    3. Memutus pembubaran partai politik, dan

    4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi Indonesia karena kekuasaan kehakimannya memiliki kewenangan atas putasan Ultra Petita yang dinilai cukup kontroversial. Ultra petita sendiri meru[akan kewenangan hakim menjatuhkan suatu putusan atas perkara melebihi dari apa yang dituntut atau diminta. Ultra petita diperbolehkan dalam lapangan hukum pidana, namun dilarang dalam lapangan hukum perdata.

Dalam Hukum perdata diatur, bahwa Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan (Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal 189 ayat (2) Rbg) dan hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (vide Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 189 (3) Rbg). [4] Alasannya semua kembali kepada taat asas hukum yaitu, hakim bersifat pasif.[5] Sedangkan dalam hukum pidana ultra petita diperbolehkan karena hakim dituntut untuk aktif.

Fungsi MK sebagai judicial control dalam kerangka check and balances terkait dengan Ultra Petita menuai pro dan kontra karena keberadaan ultra petita di Makhamah Konstitusi tidak sejalan dengan tradisi hukum yang Indonesia anut yaitu civil law. 

Dalam negara hukum dengan tradisi civil law makna keadilan yang paling ideal adalah lahir dari hukum tertulis, berbeda dengan common law yang bertumpu pada prinsip judge made law (mengikuti dinamika keadilan yang hidup di masyarakat). Dengan adanya ultra petita maka hal tersebut mencerminkan ketidak konsistenan sistem hukum yang Indonesia telah dianut selama ini. 

Selain itu juga, pada prinsipnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang sebatas untuk menguji undang-undang (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, dan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk suatu norma baru yang mengantikan norma lama (legislative review). 

Ada anggapan Ultra petita yang dilakukan oleh MK merupakan jalan tengah dari sebuah putusan untuk mencapai suatu kedailan dan kebenaran, namun ada pula yang mengartikan ultra petita akan menghasilkan kesewang-wenangan hakim dalam membuat putusan.

Hal tersebut memicu direvisinya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan yang bersifat ultra petita. 

Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 57 ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:

    1. Amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) 

    2. Perintah kepada pembuat undang-undang

    3. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik                Indonesia Tahun 1945.

Namun tidak lama MK membatalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya ultra petita tidak melanggar asas legalitas maupun konsekuensi dalam system hukum Indonesia. 

Justru pada perevisian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 atas larangan asas ultra petita dalam putusan MK adalah tidak sesuai dengan prinsip ex aequo et bono, meragukan independensi, dan kredibilitas Hakim sebagai seorang penafsir konstitusi. 

Jika di dalam permohonan sudah terdapat frasa yang menyatakan bahwa "kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)...", menurut hemat saya bahwa pemohon telah mentransformasikan harapannya sesuai dengan keadilan yang di pegang teguh oleh sang Hakim. Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono juga sering diartikan sebagai "according to the right and good", atau "from equity and conscience". Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan "by principles of what is fair and just".

Selain itu juga, larangan ultra petita adalah bentuk keraguaan atas kredibilitas dan kompetensi seorang Hakim, bukankah seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang telah ditempa melalui proses "candradimuka" baik akademis, mental, karir, dan loyalitas hingga akhirnya dia dapat memegang amanah sebagai seorang Hakim dengan kasta "teratas".

Putusan yang berasas ultra petita adalah putusan yang mencoba berdasar pada asas keadilan hukum, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan, serta asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. 

Di sini juga dapat di lihat, pelanggaran atas pelarangan asas ultra petita dengan asas ex aequo et bono tidak memiliki sanksi, hanya saja akan terjadi runtutan pelanggaran asas-asas yang lain dan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian dalam hukum yang akhirnya akan merugikan pihak yang bersangkutan dan menghilangkan esensi konsep dasar hukum dalam suatu negara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun