Pada Minggu, 12 klub penggagas mengumumkan pemisahan diri mereka dari struktur kompetisi Eropa dan menciptakan ekosistem bernama Liga Super Eropa: tiga dari Italia, tiga dari Spanyol dan enam dari Inggris.
Ada ironi didalamnya: pengumuman datang tepat ketika Arsenal (bagian dari Liga Super) bersusah payah meraih hasil imbang 1-1 di kandang melawan Fulham (klub non-elit), ketika Juventus dikalahkan (dan dilangkahi di klasemen sementara Serie A) oleh Atalanta yang kecil atau bagaimana Real Madrid hanya meraih hasil melawan Getafe, sebuah klub dari suatu kecamatan di kota Madrid.
Gagasan dari Liga Super Eropa jelas merupakan ekspresi penolakan akan ide dasar mengapa kompetisi olahraga diciptakan:
Wadah sehat akan pertarungan antar bangsa dan budaya ataupun kota dan provinsi dengan ekosistem yang disusun sedemikian rupa dari atas hingga bawah dimana Anda bisa terlibat langsung ataupun Anda duduk serta membayar untuk menikmatinya.
Mungkin ide akan kompetisi yang memberikan kesempatan adil untuk semua pihak terlibat memang telah ketinggalan jaman.
Tetapi dalam menyatakan niat mereka untuk mendirikan kompetisi tertutup - atau kompetisi yang memberikan sedikit kesempatan klub luar terlibat - klub-klub yang mendaku diri sebagai terbesar telah meletakkan visi mereka untuk masa depan sepak bola.
Ya, sepak bola menjadi sebuah reality show sepanjang 12 bulan yang bertujuan menghasilkan aliran konten, animus, dan poin pembicaraan yang tak henti-hentinya atas klub itu - itu saja.
Yang luput dari pembicaraan banyak kritikus adalah salah satu kelemahan utama Liga Super Eropa.
Bagaimana jika klub yang dijual besar dan mapan diadu satu dan lainnya terus menerus hingga mencapai titik jenuh dan Liga Super Eropa menjadi sesuatu yang biasa, tidak lagi spesial, dan tidak lagi penting?
Merindukan Liverpool vs Real Madrid?
Tidak masalah, mereka akan bermain lagi besok malam, dan kemudian tiga malam setelah itu.