Mohon tunggu...
Willi Andy
Willi Andy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup dengan cinta dan kasih sayang

Berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa lelah dan penuh perhatian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi Umat Buddha pada Hari Waisak di California

18 Mei 2022   03:52 Diperbarui: 18 Mei 2022   12:16 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri, sebuah stupa dengan bendera buddhis.

Saya melihat dan mendengar dari media elektronik tentang perayaan hari Waisak 2566 BE 2022 yang sangat megah dan hikmat di Candi Borobudur pada hari Senin tanggal 16 Mei 2022. Semua itu membuat saya bermudita-citta terhadap mereka.

Teman-teman saya yang buddhis dan non buddhis yang berada di Indonesia dan di mana saja, termasuk para sahabat K memberikan saya ucapan Selamat Hari Tri Suci Waisak tepat di hari Waisak tanggal 16 Mei 2022 hari itu. Mereka adalah teman-teman tercinta saya yang beragama Buddha, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Konghucu dan kepercayaan lainnya.

Ini sangat memberikan kesan yang spesial, suatu bentuk toleransi dalam kebersamaan yang majemuk. Meskipun saya berada jauh di benua yang lain, itu tidak menjadi suatu alasan bagi mereka untuk absen dalam memberi salam dan ucapan selamat.

Begitu juga dengan keluarga saya. Mereka ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Konghucu. Selalu hadir dalam sapaan "Selamat Hari Tri Suci Waisak" kepada saya.

Saya sangat bersyukur dan berterima kasih untuk semua keluarga dan semua teman-teman saya di mana pun mereka berada.

Hari itu adalah tanggal 15 Mei 2022 di Minggu pagi, saya pergi untuk merayakan Hari Waisak 2022 di Wihara Thailand yang mereka sebut Wat Phrathat Doi Suthep USA, Chino Hills, California.

Sesampai saya di sana, saya tidak melihat banyak mobil di lahan parkir. Tetap sama seperti hari Minggu lainnya.

Dokpri, parkiran wihara.
Dokpri, parkiran wihara.

Setelah saya memarkir mobil, saya berjalan masuk melalui berbagai lapak yang biasanya dijadikan tempat untuk berjualan makanan khas Thailand. Tetap tidak ada keramaian di sana, sama saja dengan hari Minggu pada umumnya.

Dokpri, penjual dan berbagai makanan.
Dokpri, penjual dan berbagai makanan.

Dokpri, penjual dan berbagai makanan.
Dokpri, penjual dan berbagai makanan.

Ada banyak keunikan dari apa yang mereka jual. Tidak hanya makanan khas mereka, ada juga yang berjualan berbagai sayuran dan buah-buahan tropika.

Ada juga pakaian tradisional Thailand.  Malahan ada yang menjual berbagai tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan sayuran atau hanya untuk hiasan di pekarangan atau di dalam rumah.

Dokpri, buah-buahan dan sayuran.
Dokpri, buah-buahan dan sayuran.

Dokpri, pakaian khas.
Dokpri, pakaian khas.

Dokpri, tumbuh-tumbuhan.
Dokpri, tumbuh-tumbuhan.

Sebelum kita bisa membeli sesuatu disana, kita harus menukar uang kita dalam bentuk koin plastik yang memiliki nilai sesuai dengan uang yang kita tukar.

Setelah kita mendapatkan koin plastik itulah, kita bisa membeli barang-barang di sana.

Dokpri, tempat penukaran koin
Dokpri, tempat penukaran koin

Saat itu saya membeli makanan khas Thailand yaitu "Tod Mun Pla". Bagi saya itu hampir sama dengan pempek ikan khas Palembang. Sama-sama terbuat dari ikan dan tepung terigu dengan perbedaan rempah-rempah.

Dokpri, Tod Mun Pla.
Dokpri, Tod Mun Pla.

Makanan tersebut mengingatkan saya akan negara Indonesia yang kaya akan berbagai jenis makanan khas pada setiap daerahnya.

Tod Mun Pla itu saya beli bukan untuk diri saya tetapi saya berikan kepada para Bhikkhu yang berada di Wihara tersebut. 

Harga makanan tersebut naik dari $6 menjadi $7 dalam hitungan tiga bulan, yang awalnya adalah $5. Ini terjadi karena Amerika sedang mengalami inflasi dari sisi perekonomian dan keuangan.

Dokpri, Tod Mun Pla dengan sausnya.
Dokpri, Tod Mun Pla dengan sausnya.

Makanan yang kita persembahkan bisa berasal dari makanan yang dimasak di rumah, tetapi bagi saya lebih baik membeli di sana. Karena alasan praktis dan juga ingin berdana atau beramal.

Saya sebut berdana karena para penjual akan mendanakan sebagian dari hasil penjualan di hari itu untuk wihara mereka.

Setelah makanan sudah kita bawa, kita harus memberikan kepada pengelola wihara yang mengatur makanan untuk para Bhikkhu. Ada satu meja besar di dapur di mana semua makanan diletakkan di atas nya.

Dokpri, berbagai makanan persembahan untuk para Bhikkhu.
Dokpri, berbagai makanan persembahan untuk para Bhikkhu.

Sebelum masuk ke dalam dapur dan Dhammasala, para pengunjung wajib melepaskan sepatu, sandal atau alas kaki lainnya.

Bagi saya yang berasal dari Indonesia, budaya timur ini sangat mudah untuk dimengerti. Ini juga mengingatkan saya pada saat-saat saya berada di Indonesia.

Begitu sepatu saya lepas, lalu saya masuk ke dapur, memberi salam dan memberitahu mereka bahwa makanan ini dipersembahkan untuk para Bhikkhu.

Mereka menyambut dengan senang hati dan tersenyum. Sangat persis dengan masyarakat Indonesia yang sangat ramah dan murah senyum.

Begitu saya menaruh makanan di meja makan, ada satu proses berdana lagi. Yaitu mereka memberikan nasi putih dan merah yang sudah siap untuk para pengunjung yang ingin berdana makanan langsung ke dalam pata atau mangkuk para Bhikkhu.

Dokpri, nasi putih dan merah.
Dokpri, nasi putih dan merah.

Ada enam Bhikkhu hari itu, maka ada enam pata juga. Jadi saya membagi enam porsi nasi yang dimasukkan ke mangkuk mereka sama rata pada setiap mangkuknya.

Dokpri, mangkuk Bhikkhu diisi nasi.
Dokpri, mangkuk Bhikkhu diisi nasi.

Dokpri, Ruang Dhammasala dengan umat dan para Bhikkhu.
Dokpri, Ruang Dhammasala dengan umat dan para Bhikkhu.

Setelah saya membagikan nasi, saya lalu memberi dana lagi melalui pikiran saya untuk para leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia. Ini adalah suatu tradisi buddhis yang kita sebut Pattidana.

Proses ini dimulai dari memberi jasa-jasa kebajikan kepada siapa saja atau kepada makhluk hidup lainnya. Setelah melakukan kebajikan, kita bisa berkata dalam hati.

"Semoga kebajikan yang telah saya diperbuat dapat memberikan manfaat dan buah kebahagiaan untuk para leluhur dan kerabat yang telah meninggal". Bila memungkinkan kita bisa sebut nama leluhur atau kerabat kita.

Ada juga para buddhis yang setelah melakukan segala kebajikan di sana atau di mana pun, mereka selalu mengatakan "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta".

Yang artinya "Semoga semua makhluk berbahagia".

Ucapan itu tidak hanya diucapkan pada saat atau setelah melakukan kebajikan, tetapi bisa kita ucapkan setiap saat di dalam hati. Bisa juga saat kita selesai melakukan puja bakti dan meditasi.

Dan yang terpenting bagi umat Buddha seluruh dunia untuk selalu melakukan perbuatan cinta kasih melalui pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani yang nyata. Yang penuh kedamaian, ikhlas dan tanpa sekat-sekat pemisah terhadap siapapun.

Di hari itu, saya sebagai seorang buddhis sangat bersyukur dan berterima kasih bahwa saya berasal dari Indonesia dan mengenal agama Buddha sejak saya masih kecil.

Saya bahagia dalam melakukan segala bentuk kebajikan sesuai dengan Dhamma, ajaran Buddha. Saya bisa berdana atau beramal. Selalu penuh cinta kasih untuk semua makhluk.

Dan semoga kita bisa meniru nilai-nilai luhur dari Buddha agar kehidupan  menjadi lebih bijaksana sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan selalu menyertai kita semua.

"Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu sadhu sadhu".

Selamat Hari Tri Suci Waisak 2566 BE / 2022.

***
Penulis: Willi Andy untuk Kompasiana
Mei 2022.

Berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun