Mohon tunggu...
Willi Andy
Willi Andy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup dengan cinta dan kasih sayang

Berjuang dengan sungguh-sungguh tanpa lelah dan penuh perhatian

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diari: Dicaci Maki dan Makanan

28 April 2022   03:55 Diperbarui: 11 Maret 2023   14:06 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinkandblueparenting.com

Tanggal 11 November 2016,


Saat itu saya sudah selesai bekerja di sore hari. Dalam perjalanan pulang, saya berhenti di kantor pos terdekat untuk mengirim beberapa paket pesanan dari pelanggan.

Tampak sepi pelanggan di kantor pos tersebut, lalu saya teringat apa yang membuat mereka sepi dari pelanggan saat itu.
Teringat lah bahwa hari itu adalah masa selesainya pemilihan presiden Amerika. Dan Donald John Trump terpilh sebagai presiden untuk periode 2017 sampai 2021.

Setelah selesai di sana, lalu saya segera ke luar. Masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melaju melewati beberapa toko di kompleks tersebut.

Ketika tidak jauh melaju, ada truk putih yang melaju sangat pelan dan tidak lurus persis di depan mobil saya. Saya hanya bersabar di belakang mobil tersebut. Tetapi dia melaju semakin pelan dan berbelok-belok seperti gerakan berliku dari sang ular.

Khawatir jika sang pengemudi mengantuk atau tidak fokus, saya membunyikan klakson. Lalu dia mencoba menepi. Saya mengira dia akan memberikan saya jalan, tetapi tidak demikian.

Dia mencoba untuk membelok dan menutup jalan saya, namun saya berhasil melewatinya. Saat itu saya heran mengapa dia melakukan hal tersebut. Apakah saya sudah membuat dia marah atau mungkin dia iseng ingin unjuk gigi.

Saya hanya bisa mengamati truk tersebut melalui kaca spion tengah, nampak pengemudi truk itu melaju dengan sangat kencang untuk mengejar saya.

Saya berpikir bahwa dia pasti sedang marah. Dan kalau saya tidak berhenti maka akan ada adegan kejar mengejar layaknya di film bioskop ala James Bond. Itu adalah keadaan yang sangat serius dan tidak bisa dianggap sepele.

Dia pasti ingin menyampaikan sesuatu. Seperti berbagai macam bentuk ganjalan, mungkin karena merasa martabatnya sudah direndahkan atau bagaimana. Entahlah. Yang pasti dia ingin menyampaikan sesuatu.

Saya hanya berpikir tentang keselamatan diri sendiri, dia, dan orang sekitarnya. Lalu saya putuskan untuk berhenti untuk mendengar keluh kesahnya.

Terus terang saya tidak merasa takut walaupun saya tidak kenal siapa dia. Bagaimana perawakan orang tersebut. Apakah besar atau kecil, tua atau muda. Tapi yang pasti dia adalah seorang pria.

Dan benar seperti yang saya duga. Ketika saya berhenti, dia langsung memblokir jalan saya dengan berhenti tepat di depan mobil saya seolah-olah ingin merampok.

Saya menurunkan jendela kaca mobil. Bersiap-siap dengan apa yang akan terjadi. Dia segera keluar dari truk dan dengan penuh emosi dia menghampiri saya. Dan berdiri sekitar setengah langkah di dekat saya.

Saya tetap duduk dengan jendela bagian pengemudi setengah terbuka. Tampaknya dia adalah seorang pria berusia 50 tahun ke atas. Sambil mengunyah makanan di mulutnya, dia mengomel. Tidak hanya mengomel. Dia juga mencaci maki dengan kata-kata kasar, tajam, dan menusuk.

Saat itu saya hanya bisa memperhatikan mimiknya. Dia terlihat marah dengan mata melotot, merah, judes, dan seperti ingin menerkam mangsa. Dia tetap berceloteh kasar sembari mengunyah dan kadang menunjuk-nunjuk jarinya ke hadapan saya.

Saya berpikir bahwa dia pasti sudah mengalami banyak getir kehidupan, ingin rasanya dia tumpahkan semuanya terhadap saya. Saya hanya bisa bersabar dan bertahan. Tidak ada kata-kata balasan dari saya.

Karena jika saya membalas ucapan dia, pasti akan ada hal-hal yang tidak diinginkan. Mungkin dia akan menggunakan berbagai macam kekerasan. Dan itu pasti sangat tidak menyenangkan.

Setelah saya amati lebih dari tiga menit, dia seakan-akan sudah merasa puas membuang semua amarah dalam bentuk kata-kata yang pedas seperti tingkat kepedasan maksimum dari seratus cabai rawit.

“Relax, calm down. I just wanted to go home and do my errands. I’m so sorry. Just needed to pass your truck.”
 Itu saja yang saya ucapkan kepadanya setelah memastikan dia merasa tenang.

Dia sepertinya tidak menduga kalau saya akan berkata demikian. Lalu dia menjadi bungkam seribu bahasa, berjalan masuk ke dalam truknya. Tetapi dia seakan masih tidak puas dengan semua itu.

"You know what? Trump is the predesident now. People like you shouldn't be in this country! And don't honk me!" Dia berteriak sembari masuk ke truknya dan pergi meninggalkan saya.

Tentu saja saya tidak menyangka jika dia berkata demikian. Bagi saya itu hanyalah penilaian subjektif darinya. Saya hanya bisa mendoakan dia untuk tidak menderita dengan kemarahan dan kebencian.  Tanpa berlama-lama saya melaju kembali pulang ke rumah.

*****

Setelah saya sampai ke rumah, kejadian tersebut masih segar terbayang-bayang di memori. Saat itu saya teringat pada apa yang terjadi pada Buddha.

Itu adalah kisah seorang Brahmana yang marah, menghampiri, dan mencaci maki Buddha

Foto: Pixabay.com
Foto: Pixabay.com
Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Buddha, mencaci, dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.
Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Buddha berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

“Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun—menolak menerima darimu cacian, kemarahan, dan makian yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!”

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan dan memasuki pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu dan kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!”

****

Catatan pribadi:

Semoga saya tidak pernah marah. Meskipun muncul kemarahan, saya akan menyadari dan melenyapkannya segera.

Semoga saya mampu untuk tidak membalas kemarahan dengan kemarahan melainkan membalas dengan cinta kasih. 

Referensi: SN 7.2


Penulis: Willi Andy

April 2022
Berdasarkan pengalaman pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun