Mohon tunggu...
William Kertha Adi Tama
William Kertha Adi Tama Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer/Tiktok Content Creator/History and Football Enthusiasts

Halo, nama saya William Kertha Adi Tama, saat ini saya berkarier sebagai freelancer di dunia penulisan dan penerjemahan sekaligus menyalurkan minat saya dalam dunia sejarah dan sepakbola dengan menjadi content creator di platform Tiktok dan Instagram. Di laman ini saya akan menulis tentang 2 topik tersebut dan tidak menutup kemungkinan untuk mengeksplor topik lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengulik Gaya Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri ala Prabowo Subianto

21 Oktober 2024   15:24 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:51 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sontak saja proposal itu membuat berang banyak pihak termasuk Presiden Ukraina, Volodimir Zelenzky yang menggangap jika proposal itu adalah rencana yang "gegabah".  

Apalagi saat itu statement mengenai proposal perdamaian tersebut dikeluarkan dalam kapasitas Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan juga tanpa melalui rekomendasi dari Menteri Luar Negeri saat itu yakni, Retno Marsudi.

Dengan pembentukan zona demiliterasi, Prabowo dianggap secara tidak langsung melegitimasi pendudukan Rusia atas wilayah Ukraina yang juga menimbulkan pertanyaan mengenai kredibilitas Indonesia dalam mempertahankan netralitasnya yang juga sekaligus membawa kita pada pertanyaan lainnya jika Prabowo akan memiliki bias tersendiri dalam menjalankan diplomasi dan kebijakan luar negerinya untuk lima tahun mendatang.

Dr. Dafri Agus Salim, seorang pakar di bidang hubungan internasional membeberkan jika berkaca pada daftar negara kunjugan Prabowo Subianto akhir- akhir ini, sehingga ia menyimpulkan jika Prabowo memiliki ketertarikan lebih untuk membangun relasi dengan negara -- negara timur seperti Rusia, Turki, dan China dalam hal kerja sama perdagangan dan ekonomi secara keseluruhan.

Hal ini pula lah yang membuat kabar Indonesia bergabung dengan BRICS semakin berhembus kencang. BRICS sendiri adalah forum ekonomi multilateral yang berisikan negara -- negara dengan ekonomi berkembang yang dibentuk pada 2009 silam oleh lima negara yakni Brazil, India, Rusia, China, dan Afrika Selatan ditambah dengan Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, dan Ethiopia sebagai negara anggota tetap hingga saat ini.

Di samping sebagai wadah kerja sama ekonomi dan perdagangan, BRICS juga dianggap sebagai representasi untuk negara -- negara Global South (berkembang).

Di sisi lain, negara -- negara Global North (maju) memiliki kubu mereka sendiri yang bernama OECD yang kebanyakan anggotanya adalah negara dari Amerika Utara dan Eropa. Tujuannya pun sama dengan BRICS yakni sebagai wadah forum kerja sama ekonomi masyarakat dunia.

Namun, kendati demikian, BRICS dan OECD berjalan seperti "rival" terselubung karena persaingan antara "negara utara" dan "negara Selatan" tadi, tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga politik.

OECD dan BRICS. Sumber Gambar: bisnis.com
OECD dan BRICS. Sumber Gambar: bisnis.com

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya bergabung di antara dua organsasi itu memiliki untung dan rugi tersendiri.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo sendiri, beberapa kali BRICS memberikan undangan untuk Indonesia untuk menjadi anggota penuh yang bisa dibilang bertepuk sebelah tangan karena Indonesia sendiri lebih cenderung bergabung dengan OECD dengan target mendapatkan keanggotaan penuh setidaknya pada tahun 2027 mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun