Mohon tunggu...
William Kertha Adi Tama
William Kertha Adi Tama Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer/Tiktok Content Creator/History and Football Enthusiasts

Halo, nama saya William Kertha Adi Tama, saat ini saya berkarier sebagai freelancer di dunia penulisan dan penerjemahan sekaligus menyalurkan minat saya dalam dunia sejarah dan sepakbola dengan menjadi content creator di platform Tiktok dan Instagram. Di laman ini saya akan menulis tentang 2 topik tersebut dan tidak menutup kemungkinan untuk mengeksplor topik lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengulik Gaya Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri ala Prabowo Subianto

21 Oktober 2024   15:24 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:51 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Minggu, 20 Oktober 2024 kemarin, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah resmi menerima mandat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024 hingga 2029 mendatang. Sederet tugas dan ragam permasalahan tanah di air kini sudah menunggu para pemimpin baru bangsa ini untuk lima tahun berikutnya.

Tentunya, pergantian kepemimpinan juga akan membawa perubahan -- perubahan baru yang diantaranya adalah bagimana kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia akan dijalankan oleh pemerintahan yang baru ini.

Dalam hal ini, karakteristik Prabowo Subianto yang memiliki latar belakang militer dan pendekatan nasionalis yang kuat akan menjadi parameter yang mengindikasikan jika Prabowo akan lebih mengandalkan pendekatan bilateral dalam gaya diplomasi luar negerinya yang tentunya sangat berbeda dari pendahulunya yakni Presiden Joko Widodo.

Memang tendensi gaya diplomasi luar negeri Prabowo Subianto sudah terlihat semenjak ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era Joko Widodo yang dimana ia kerap kali melontarkan pandangannya terhadap isu -- isu internasional seperti misalnya kritiknya terhadap negara -- negara barat karena pembatasan ekspor minyak sawit dan juga mengajukan proposal perdamaian untuk penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina.

Prabowo bersama mantan Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly. Sumber Gambar: Kumparan.com
Prabowo bersama mantan Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly. Sumber Gambar: Kumparan.com

Selain itu bagaimana Prabowo secara piawai mendapatkan deal -- deal penting pengadaan dan modernisasi alutsista TNI dari negara -- negara seperti Prancis, Turki, dan Italia juga adalah sebagian contoh lain dari bagaimana kira -- kira Prabowo akan menjalankan politik luar negeri Indonesia selama lima tahun kedepan.

Sebelum lebih jauh membahas tentang diplomasi dan kebijakan luar negeri ala Prabowo Subianto, penulis akan sedikit mengulas bagaimana kedua hal tadi berjalan di era Presiden Joko Widodo.

Selama 10 tahun terakhir, Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo menerapkan kebijakan luar negeri dan diplomasi bersifat pragmatis yang dimana Indonesia lebih memprioritaskan pembangunan domestic yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur ketimbang hubungan luar negeri.

Presiden Ketujuh RI, Joko Widodo bersama dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dalam pertemuan bilateral di KTT G20. Sumber Gambar: rri
Presiden Ketujuh RI, Joko Widodo bersama dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dalam pertemuan bilateral di KTT G20. Sumber Gambar: rri

Presiden Jokowi sendiri juga lebih banyak mengandalkan kabinetnya melalui Kementerian Luar Negeri dalam menavigasi kebijakan dan diplomasi Indonesia di kancah internasional, terutamanya dalam menyikapi isu -- isu global yang bersifat kompleks. Selain itu, Jokowi juga dikenal jarang mengadakan pertemuan bilateral dengan pemimpin negara lain dan lebih memilih diplomasi - diplomasi yang dilakukan dalam forum -- forum internasional seperti ASEAN dan G-20 yang lagi -- lagi fokus utamanya adalah kerja sama ekonomi dan relasi dagang.

Kendati demikian, bukan berarti pemerintahan Jokowi tidak menghadapi tantangan geopolitik, namun hanya saja Indonesia memiliki tendensi untuk menghindari pengambilan keputusan secara gegabah dan terburu -- buru dalam menyikapinya.

Contoh nyatanya terlihat dari konflik Laut Cina Selatan yang membuat Indonesia sangat berusaha keras untuk menyeimbangkan keadaaan. Di satu sisi, Indonesia ingin menjaga relasi ekonomi-nya dengan China dan di saat yang bersamaan tetap menjaga komitmen regional dan kedaulatan perbatasan laut mereka di utara yang menjadi salah satu objek sengketa dengan Negeri Tirai Bambu.

Pendekatan luar negeri yang sangat berhati -- hati ala Jokowi ini juga terlihat dari usaha Indonesia untuk mempertahankan netralitas mereka di antara rivalitas sengit Amerika Serikat dan Rusia selama beberapa tahun terakhir.

Ibaratnya adalah Jokowi ingin Indonesia tetap "bermain dua kaki" di antara para superpower dunia tersebut yang tentunya juga selaras dengan politik luar negeri bebas aktif yang selama ini Indonesia anut.

Namun, kebijakan luar negeri dan gaya diplomasi ala Jokowi yang sangat berhati -- hati tadi juga mendapatkan kritikan dari beberapa media dan analis luar negeri yang mengatakan jika Indonesia "terlalu bermain aman dan pasif" dalam politik luar negeri-nya.

Anggapan tersebut rasanya bisa dimaklumi mengingat status Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempar di dunia, memiliki posisi yang strategis, serta pertumbuhan ekonomi melalui GDP yang membuat Indonesia dianggap sebagai salah satu "rising power" di dunia saat ini sehingga, agak "disayangkan" jika Indonesia terlalu bermain aman dalam diplomasi luar negeri-nya.

Karena, melalui potensi dan keungguan yang sudah disebutkan tadi, para pengamat tadi menilai jika seharusnya Indonesia bisa mendapatkan "lebih banyak hal" di kancah internasional.

Tentunya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dalam lima tahun kedepan, Indonesia akan mengambil perubahan strategi dalam politik luar negeri dan diplomasi di bawah komando Prabowo Subianto yang diprediksi akan mengambil pendekatan yang lebih asertif dan strategis dalam menyikapi dinamika politik global.

Hal tersebut juga sejalan dengan ambisinya untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi -- diplomasi langsung lewat pertemuan bilateral ketimbang mengandalkan diplomasi melalui insititusi sudah menjadi trademark dari pemerintahan Joko Widodo. Gaya diplomasi Prabowo Subianto juga diyakini akan memberikan Indonesia peranan lebih dalam kancah internasional terutamanya dalam partisipasi langsung dalam penanganan isu -- isu global.

Namun, pendekatan luar negeri yang akan diambil oleh Prabowo Subianto juga menimbulkan kekhawatiran dan kritisisme dari sebagian pengamat dan analis yang menyatakan jika gaya diplomasi Prabowo yang terlalu mengandalkan individualisme pemimpin memiliki tendensi untuk menciptakan situasi ketidapastian yang akan mempengaruhi efektivitas dari kebijakan luar negeri Indonesia kedepannya.

Contoh nyata dari kekhawatiran yang sudah disebutkan di atas sebagaimana dikutip dari tulisan Gabriel Langoday untuk Modern Diplomacy adalah bagaimana Prabowo mengusulkan rencana proposal perdamaian antara Rusia dan Ukraina yang dimana ia menyarankan jika Rusia dan Ukraina membuat zona demiliterisasi sepanjang 15-kilometer dari area sengketa dua negara pada 2023.

Sontak saja proposal itu membuat berang banyak pihak termasuk Presiden Ukraina, Volodimir Zelenzky yang menggangap jika proposal itu adalah rencana yang "gegabah".  

Apalagi saat itu statement mengenai proposal perdamaian tersebut dikeluarkan dalam kapasitas Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan juga tanpa melalui rekomendasi dari Menteri Luar Negeri saat itu yakni, Retno Marsudi.

Dengan pembentukan zona demiliterasi, Prabowo dianggap secara tidak langsung melegitimasi pendudukan Rusia atas wilayah Ukraina yang juga menimbulkan pertanyaan mengenai kredibilitas Indonesia dalam mempertahankan netralitasnya yang juga sekaligus membawa kita pada pertanyaan lainnya jika Prabowo akan memiliki bias tersendiri dalam menjalankan diplomasi dan kebijakan luar negerinya untuk lima tahun mendatang.

Dr. Dafri Agus Salim, seorang pakar di bidang hubungan internasional membeberkan jika berkaca pada daftar negara kunjugan Prabowo Subianto akhir- akhir ini, sehingga ia menyimpulkan jika Prabowo memiliki ketertarikan lebih untuk membangun relasi dengan negara -- negara timur seperti Rusia, Turki, dan China dalam hal kerja sama perdagangan dan ekonomi secara keseluruhan.

Hal ini pula lah yang membuat kabar Indonesia bergabung dengan BRICS semakin berhembus kencang. BRICS sendiri adalah forum ekonomi multilateral yang berisikan negara -- negara dengan ekonomi berkembang yang dibentuk pada 2009 silam oleh lima negara yakni Brazil, India, Rusia, China, dan Afrika Selatan ditambah dengan Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, dan Ethiopia sebagai negara anggota tetap hingga saat ini.

Di samping sebagai wadah kerja sama ekonomi dan perdagangan, BRICS juga dianggap sebagai representasi untuk negara -- negara Global South (berkembang).

Di sisi lain, negara -- negara Global North (maju) memiliki kubu mereka sendiri yang bernama OECD yang kebanyakan anggotanya adalah negara dari Amerika Utara dan Eropa. Tujuannya pun sama dengan BRICS yakni sebagai wadah forum kerja sama ekonomi masyarakat dunia.

Namun, kendati demikian, BRICS dan OECD berjalan seperti "rival" terselubung karena persaingan antara "negara utara" dan "negara Selatan" tadi, tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga politik.

OECD dan BRICS. Sumber Gambar: bisnis.com
OECD dan BRICS. Sumber Gambar: bisnis.com

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya bergabung di antara dua organsasi itu memiliki untung dan rugi tersendiri.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo sendiri, beberapa kali BRICS memberikan undangan untuk Indonesia untuk menjadi anggota penuh yang bisa dibilang bertepuk sebelah tangan karena Indonesia sendiri lebih cenderung bergabung dengan OECD dengan target mendapatkan keanggotaan penuh setidaknya pada tahun 2027 mendatang.

Dengan pergantian kepemimpinan di Indonesia, maka perjalanan Indonesia bergabung dengan OECD bisa saja berubah haluan dengan berlabuh bersama BRICS Namun, hal yang perlu ditegaskan adalah kemana Indonesia akan berlabuh sifatnya masih cair dan saat ini pemerintahan yang baru akan berusaha mengkaji apa yang menjadi kebutuhan Indonesia yang dapat menjadi parameter untuk meneruskan bergabung dengan OECD atau beralih haluan dengan BRICS.

Namun untuk saat ini kecenderungan Indonesia adalah bergabung dengan OECD yang dimana menurut beberapa laporan di Bulan Mei, Indonesia saat ini sudah mendapatkan dukungan dari 38 negara anggota OECD yang jika pada akhirnya, Indonesia kemungkinan bisa menjadi negara Asia Tenggara pertama yang bergabung pada organisasi ekonomi multilateral bergengsi tersebut.

Bahkan bisa saja Indonesia melahap keanggotaan BRICS dan OECD sekaligus seperti yang dilakukan oleh Brazil yang saat ini juga sedang mengajukan kenggotaan OECD ataupun China dan Afrika Selatan yang saat ini bertindak sebagai partner partisipan dari OECD.

Kembali lagi, hal tersebut tergantung dari bagaimana pemerintahan yang baru ini menyikapi parameter -- parameter yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan Indonesia.

Namun yang jelas, Prabowo dalam pidato kenegaraan pertamanya pasca pelantikan kemarin mengatakan jika Indonesia akan tetap mengadopsi politik luar negeri bebas aktif yang selama ini sudah dianut.

Untuk memberikan gambaran mengenai implementasi dari paham tersebut di pemerintahannya, Prabowo memberikan gagasan "Good Neighbour Policy" yang artinya adalah Indonesia akan berteman dan bersahabat dengan negara manapun di dunia.

"Seribu kawan adalah terlalu sedikit dan satu musuh adalah terlalu banyak" begitulah kalimat yang Prabowo ucapkan dalam menjelaskan kebijakan luar negerinya dalam sebuah perumpamaan.

Selain itu, pemerintahan Prabowo dan Gibran juga akan terus memberikan dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan penuh Palestina dengan Prabowo berjanji akan terus memberikan bantuan -- bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Palestina yang hingga saat ini masih sangat terdampak dari Invasi Israel ke Gaza dan Tepi Barat yang sudah berlangsung selama setahun lebih.

Kemudian, selain berfokus pada kerja sama ekonomi, investasi, dan perdagangan dengan negara lain, Pemerintahan Prabowo dan Gibran juga kemungkinan besar juga akan lebih memperbanyak kerja sama pertahanan dan keamanan.

Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese. Sumber Gambar: aljazeera.com
Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese. Sumber Gambar: aljazeera.com

Semasa menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo memang getol membuat perjanjian -- perjanjian kerja sama pertahanan dengan negara lain seperti misalnya kerja sama pertahanan dengan Australia yang baru saja diteken pada September silam.

Kerja sama pertahanan tadi juga akan meliputi pengadaan dan modernisasi alutsista seperti yang sudah dibahas sebelumnya dan juga dalam bentuk latihan militer bersama seperti RIMPAC dan Super Garuda Shield yang juga akan makin digiatkan.

Well, menarik untuk ditunggu apa saja gebrakan -- gebrakan politik luar negeri yang akan di persembahkan oleh Prabowo dan pemerintahan Indonesia yang baru saat ini yang semoga saja akan makin  menegaskan peranan Indonesia di mata dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun