Secara keseluruhan pinjaman utang yang dilakukan oleh Pemerintah pada hari ini ditujukan bagi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang bernilai ekonomi tinggi (infrastruktur dengan kriteria full cost recovery). Hal ini tentunya bertolak belakang dengan agenda nawacita yang ingin menghadirkan pembangunan Indonesia dari daerah pinggiran, terluar, perpencil, terisolir, terbelakang, dalam rangka memperkuat kerangka negara kesatuan yang tertuang dengan sangat lugas dalam 9 agenda Nawacita Jokowi-JK. Karakteristik daerah yang disebutkan dalam agenda nawacita tersebut, tampak tidak memiliki cukup syarat yang dibutuhkan “underqualified” untuk mengundang pendanaan dari pinjaman lembaga keuangan internasional, karena dibatasi dengan prasyarat komersial yang diatur dalam syarat kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial yang diatur dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2015 dan prasyarat pemberian utang oleh Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional seperti ADB dan CDB.
Disisi lain, keterbatasan fiskal Pemerintah Pusat yang semakin tertekan dengan rendahnya realisasi penerimaan pendapatan negara, sebagai dampak rendahnya pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, menjadikan penyelenggaraan keuangan negara tidak dapat menjangkau sasaran proyek-proyek infrastruktur yang sebagian besar tidak bernilai komersial dan justru membutuhkan keberpihakan negara untuk mendorong pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang masih miskin infrastruktur, seperti yang terjadi disebagian besar wilayah pedalaman Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H