Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Utang Infrastruktur Indonesia Bukan untuk Pemerataan, tetapi Berorientasi Bisnis

2 Juni 2016   09:02 Diperbarui: 2 Juni 2016   18:19 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trend Pertumbuhan Ekonomi China 2006-April 2016 (sumber: worldeconomics)

Sejak krisis 2008, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meluncur negatif diangka -0,3%, kemudian perlambatan ekonomi Amerika Serikat menjadi semakin dalam menjadi -2,8% pada Tahun 2009. Sekalipun pertumbuhan ekonomi China masih dapat tumbuh diangka 9,60% di Tahun 2008 tersebut, namun dampak snowball dari perlambatan ekonomi Amerika Serikat juga turut mempengaruhi kondisi pasar keuangan global, dimana negara-negara maju dan berkembang lainnya sangat tergantung terhadap kondisi krisis yang dialami oleh Amerika Serikat. Sekalipun pertumbuhan ekonomi China sempat menembus angka 10,60% di Tahun 2010, namun strategi penghematan sejumlah negara untuk merestrukturisasi ketahanan fiskal dimasing-masing negara, semakin memperparah penurunan konsumsi global yang pada gilirannya menyandera industri manufaktur asal China yang sangat tergantung terhadap permintaan global.

Untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi China yang terus mengalami degradasi di Tahun 2012 yang hanya mencapai 7,80% dan disusul pula dengan terjadinya penurunan secara gradual di Tahun 2013 yang hanya mencapai 7,70%, kemudian mendorong Pemerintah China menerapkan strategi ekspansi ekonomi yang tidak hanya mengandalkan kemampuan industri manufaktur China yang berbasis pasar ekspor luar negeri, dengan memperluas agenda ekonomi China untuk ikut terlibat mendanai proyek-proyek strategis “penyediaan infrastruktur” yang dibutuhkan oleh negara-negara yang sedang berkembang, terutama dikawasan Asia – Afrika.

Menjelang periode terakhir di Tahun 2013, tepatnya di Bulan September – Oktober, perdana menteri China Li Keqiang mengumumkan strategi ekonomi China untuk keluar dari perlambatan ekonomi yang dialami oleh negaranya dengan strategi pembangunan yang berfokus pada konektivitas dan kerjasama antar negara di kawasan Eurasia yang bertumpu pada dua kekuatan utama yaitu konektivitas kawasan daratan "Silk Road Economic Belt" (SREB) and konektivitas kawasan perairan "Maritime Silk Road" (MSR). Singkatnya, strategi pembangunan yang befokus pada konektivitas dan kerjasama antar negara yang digagas oleh China dikenali dengan konsep One Belt, One Road (Obor).

Bagi Pemerintah China sendiri, konsep One Belt, One Road (Obor) merupakan sarana/alat untuk mencapai beberapa tujuan penting, diantaranya dalam perspektif kepentingan ekonomi, pihak China membutuhkan sumber-sumber pertumbuhan baru di luar negeri sebagai dampak dari perlambatan ekonomi yang terjadi di dalam negeri, terutama untuk perusahaan konstruksi dan industri yang mengalami kelebihan kapasitas di dalam negeri yang membutuhkan konsumen baru diluar negeri (ditandai dengan banyaknya Ghost City di dalam negeri China sendiri). Kerangka One Belt, One Road (Obor) juga merupakan sarana bagi Pemerintah China, untuk mempromosikan ekspansi internasional China yang mengandalkan teknologi kereta api berkecepatan tinggi, yang dipandang sebagai bagian dari upaya untuk meng-upgrade ekspor China dengan tersedianya konektivitas antar kawasan Asia maupun Afrika.

Dengan terciptanya pasar baru ekspansi perekonomian China yang tidak hanya tergantung terhadap industri manufaktur berbasis ekspor, yang kemudian diperkuat dengan hadirnya pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dalam kerangka One Belt, One Road (Obor) di luar negeri, maka dua lembaga keuangan internasional yang dimiliki oleh China baik yang diperankan oleh China Development Bank (CDB) maupun oleh Export-Import Bank of China (China Eximbank) merupakan pendukung utama untuk memajukan kepentingan nasional China.

Kedua lembaga keuangan internasional milik Pemerintah China tersebut telah banyak memberikan bantuan pembiayaan utang terhadap proyek-proyek di luar negeri (termasuk yang saat ini terjadi di Indonesia) dan bantuan pembiayaan utang tersebut disertai dengan prasyarat yang mengikat pinjaman untuk membeli dan menyewa dari China. The Silk Road Fund (SRF) telah didirikan oleh Pemerintah China untuk memperkuat pendanaan Obor, dan terus terus memperluas jangkauan investasinya di perusahaan-perusahaan milik Pemerintah di suatu negara (seperti BUMN), yang berfungsi sebagai magnet untuk menarik pemodal lain untuk mendanai proyek-proyek tertentu.

Sehingga sangat mustahil rasanya apabila alokasi pinjaman dari perbankan China (China Development Bank) yang telah dikunci oleh kepentingan bisnis negara kreditor dengan hadirnya mega proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung, melalui penyediaan utang yang mencapai Rp 58 Triliun, lalu diharapkan dapat disubtitusikan (dialihfungsikan) untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di luar Pulau Jawa yang banyak mengalami defisit infrastruktur, namun tidak menguntungkan dari perspektif kepentingan ekonomi, seperti yang dialami oleh Tanah Papua (untuk menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar bagi investasi asing, dibutuhkan integrasi infrastruktur dasar dan manufaktur industri seperti yang dimiliki oleh Jakarta – Bandung Raya). Yang tentunya pembangunan kereta cepat di Tanah Papua masih jauh dari prospek bisnis yang dapat dihasilkan, jika dibandingkan dengan potensi bisnis yang sangat menjanjikan apabila dibangun di kawasan pusat bisnis dan pusat ekonomi yang terdapat di kawasan Jakarta dan Bandung Raya.

Dukungan Pembiayaan Utang Selama 5 Tahun Kedepan Oleh Jepang di Pemerintahan Jokowi (sumber: ADB)
Dukungan Pembiayaan Utang Selama 5 Tahun Kedepan Oleh Jepang di Pemerintahan Jokowi (sumber: ADB)
Selain China, Jepang juga merupakan donator terbesar proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Melalui Asian Development Bank (ADB), Jepang telah menyepakati kucuran pendanaan untuk membantu proyek infrastruktur di Indonesia sebesar 2 Miliar USD pertahunnya, dengan kesepakatan dukungan pembiayaan selama 5 Tahun kedepan (total dukungan dana mencapai 10 Miliar USD). Kesepakatan pembiayaan utang dari ADB tersebut di umumkan oleh Presiden Asian Development Bank (ADB), Takehiko Nakao, pada tanggal 12 februari 2016. Kesepakatan pinjaman yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) menerapkan prinsip full cost recovery (pengembalian biaya secara penuh) baik berbentuk pinjaman berbasis kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (Policy Based-Loan) maupun pinjaman berbasis hasil (Result Based-Lending).

Pendekatan full cost recovery yang diterapkan oleh Asian Development Bank (ADB) memiliki alasan yang cukup kuat, dalam artikel yang dirilis pada Tahun 2009 oleh ADB “Understanding Urban Water Tariff in the People’s Republic of China”  terhadap evaluasi kinerja keuangan dan potensi pemulihan pembiayaan terhadap bantuan program pegolahan air limbah yang dilakukan oleh Pemerintah China di Tahun 1992 dengan total pinjaman mencapai 2,5 Miliar USD, disimpulkan untuk mencapai sasaran full cost recovery (pengembalian biaya secara penuh) oleh Pemerintah China terhadap ADB, maka penyesuaian tarif yang bernilai komersial dapat diterapkan oleh Pemerintah, untuk membantu pemulihan pembiayaan beserta bunga utang yang dipinjamkan oleh ADB.

Sejalan dengan itu, di Tahun Anggaran 2015 kemarin, Pihak PLN mengaku mengalami kerugian bisnis yang mencapai Rp 2,4 Triliun dari periode Mei sampai Desember 2015, dikarenakan belum mendapatkan persetujuan untuk menaikkan harga Tarif Dasar Listrik untuk subsidi listrik golongan 1.300 Volt Ampere (VA) dan 2200 Volt Ampere (VA). Menurut pihak PLN, kedua golongan tersebut seharusnya tidak lagi mendapatkan subsidi sejak Bulan Januari 2015 dan terus mendapatkan penundaan hingga memasuki Bulan Mei – Desember 2015, sebagai gantinya kedua golongan pelanggan listrik tersebut menggunakan skema tarif adjusment (skema penyesuaian tarif secara otomatis berdasarkan fluktuasi harga minyak dan volatilitas nilai kurs) seperti 10 golongan pelanggan lainnya yang tidak lagi menikmati tarif subsidi.

Perubahan strategi marketing PLN yang banyak mendistribusikan penggolongan pelanggan kedalam skema tarif adjustment, yang tentunya banyak menghapus penggolongan pelanggan yang dapat menerima tarif subsidi dari Pemerintah, merupakan strategi bisnis yang diarahkan untuk menjaga sustainabilitas keuangan Perusahaan BUMN tersebut yang dituntut untuk menerapkan prinsip pasar, karena disaat yang bersamaan di Tahun 2015 tersebut pihak PLN mendapatkan bantuan pendanaan dari lembaga pembiayaan internasional Asian Development Bank (ADB) senilai 600 Juta USD. Menurut sumber PLN sendiri, pembiayaan utang senilai 600 Juta USD tersebut diperuntukkan bagi pembiayaan untuk meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi listrik di Zona Ekonomi Sumatera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun