[caption caption="Pemberian dana otsus telah menjadi sandera yang melegalkan sikap sewenang-wenang Jakarta untuk memonopoli pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua (Sumber: willemwandik.com gallery)"][/caption]KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA
Jalan Prof. DR. Supomo, SH, No. 10 Jakarta 12870, Telp (021) 8307557, Fax (021) 83785103, Email: dbm@minerba.esdm.go.id
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nomor   : 045/04/DJB/2016
Sifat      : Segera
Lampiran : Satu Berkas
Perihal    : Tanggapan Atas Permohonan pembelian Saham 10,64% PT. Freeport Indonesia Melalui Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat
Yang terhormat
Kaukus Parlemen Papua dan Papua Barat
Gedung MPR/DPR RI Nusantara 1 Lantai XI
Jl. Gatot Soebroto, Senayan
Jakarta, 10270
Sehubungan dengan surat Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia No. B-1067/M. Sesneg/D-2/HL.00.01/11/2015 tanggal 16 November 2015 perihal Permohonan Pembelian Saham 10,64% PT. Freeport Indonesia Melalui Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat, serta memperhatikan surat Saudara No. 09/Kaukus/Parlemen Papua-Papua Barat 11/2015 tanggal 2 November 2015 perihal Permohonan Pembelian Saham 10,64% PT. Freeport Indonesia (PT. FI) melalui Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan PP No.77 Tahun 2014 dijelaskan:
Pasal 112D ayat (2) huruf a menyebutkan: "Pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, yang telah berproduksi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diundangkan PP ini wajib melakukan ketentuan divestasi saham sebesar 20% (dua puluh persen) paling lambat 1 (satu) tahun sejak PP ini diundangkan.
Peserta Indonesia (Pemerintah) telah memiliki saham 9,36% dalam PT. FI, maka PT. FI berkewajiban melakukan penawaran saham sebesar 10,64% kepada peserta Indonesia pada tanggal 14 Oktober 2015, setelah satu tahun terbitnya PP No. 77 Tahun 2014
Pasal 97 ayat (6) menyebutkan "penawaran divestasi saham kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari kalender setelah 5 tahun sejak beroperasi
Pasal 97 ayat (2) menyebutkan "pemegang IUP operasi produksi IUPK operasi produksi wajib melakukan divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a) dan ayat (1b) kepada peserta indonesia secara berjenjang kepada: 1). Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; 2). BUMN dan BUMD; 3). Badan Usaha Swasta Nasional;
Analisis surat Kementerian ESDM
Pendekatan legalitas yang didasarkan pada bunyi pasal-pasal yang di desain oleh Pemerintah Pusat (bukan melalui pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat - sebagai representasi rakyat) yang tertuang dalam PP Nomor 77 Tahun 2014 adalah peraturan sepihak yang tidak memperhatikan aspirasi rakyat daerah yang menjadi subyek eksploitasi atas nama regulasi dan kepentingan Pusat.
Regulasi di desain oleh manusia-manusia yang menjabati sebuah lembaga negara yang memiliki otoritas/kewenangan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang didalihkan demi kepentingan negara. Setiap regulasi yang dinilai dapat mengunci kepentingan monopoli pusat atas kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua, tentunya menjadi motivasi utama dalam regulasi PP yang diterbitkan oleh Pusat ini.
Jawaban surat dari Kementerian ESDM memang tidak secara tegas menolak atau mengiakan permintaan Kaukus Parlemen Papua dan Papua Barat. Namun penggunaan dalil Peraturan Pemerintah sebagai dasar argumentasi menunjukkan sikap Kementerian ESDM yang konsisten tanpa keragu-raguan sedikitpun untuk memuluskan pengambilalihan saham Freeport oleh Perusahaan nasional yang berafiliasi dengan BUMN (maksud dari redaksi secara berjenjang yang sengaja ditampilkan dalam surat Kementerian ESDM).
Luka yang dirasakan oleh rakyat dan bangsa Papua sejak aneksasi sumber daya alam di negerinya sendiri yang berlangsung dalam periode 1967-2021, sepertinya tidak akan mendapatkan solusi dari kebijakan bernegara. Pusat telah mengunci pengambilalihan saham Freeport dengan dalih dalih regulasi sepihak yang didesain untuk mengamankan agenda pusat sendiri.
Tidak ada rasa empati dan rasa malu sedikitpun yang ditunjukkan oleh penyelenggara negara di Pusat untuk merasakan penderitaan rakyat dan bangsa Papua setelah berpuluh tahun lamanya harus merelakan sumber daya alamnya dijadikan lahan untuk mengeruk keuntungan yang memberikan "glory" bagi siapa saja yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia tersebut.
Yang perlu diingat oleh Pemerintah Pusat, pada hari ini seluruh elemen rakyat dan bangsa Papua telah menyadari semua permainan kotor kebijakan-kebijakan Pusat yang hanya menjadikan rakyat dan bangsa Papua sebagai sapi perah eksploitasi sumber daya alam di negerinya sendiri. Saya tidak yakin, apakah doktrin kebangsaan yang diajarkan oleh pendiri Republik akan dapat bertahan 20 atau 40 tahun di masa-masa mendatang di Tanah Papua. Sebab tidak ada doktrin di dunia ini yang bisa menentang rasionalitas dan kebenaran (rasa keadilan yang dirasakan dan dipikirkan oleh rakyat).
Keangkuhan elit pusat yang menetapkan standar regulasi yang menurut mereka baik untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, telah direkam dengan sangat baik oleh generasi generasi rakyat dan bangsa Papua. Apapun yang akan terjadi dengan nasib bangsa ini di masa masa mendatang, kami serahkan pada kehendak Tuhan dan kehendak sejarah.
Memang sejak awal integrasi bangsa Papua kepangkuan republik, telah diawali dengan aneksasi sumber daya alam yang lebih mendahului penyerahan secara dejure wilayah Papua ke pangkuan republik (kontrak karya Freeport mendahului proses Pepera). Jadi tidak mengherankan, sejak awal bangsa Papua hanya dijadikan barter politik internasional (Republik-US) untuk sekedar mengamankan perkawinan kepentingan sumber daya alam diatas Tanah Papua.
Pusat secara tidak sadar telah membenarkan perampasan sumber daya alam seperti yang terjadi pada era kolonial. Perbedaannya pada hari ini kolonisasi tersebut dilakukan melalui perjanjian internasional melalui badan-badan otoritas yang dianggap paling berwenang memberikan license atas nama hukum dan kedaulatan berwajah negara.
Tanah Papua juga merupakan bagian dari Republik, dimana penyelenggaraan pemerintahan republik dijalankan oleh organ-organ pemerintahan yang dipilih secara demokratis dan menurut asas-asas hukum republik. Tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua untuk menjalankan tujuan pembangunan nasional yang dapat menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat di Tanah Papua. Inilah tujuan yang selalu mendasari setiap doktrin regulasi yang diselenggarakan oleh organ bernama Pemerintah.
Dimasa Reformasi Pusat bersepakat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam amandemen UUD 1945 yang membentuk pondasi dasar pelaksanaan praktek desentralisasi yang hari ini dijalankan sebagai platform ketatanegaraan nasional. Justru yang patut dipertanyakan mengapa pusat berusaha untuk memonopoli sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah. Bentuk desentralisasi yang dilaksanakan pada hari ini justru hanya menjadikan daerah sebagai unit-unit produksi yang bertujuan untuk menyetor pendapatan negara sebesar besarnya kepada Pusat.
Daerah seperti Tanah Papua telah menjelma menjadi "sapi perah" yang harus tunduk pada setiap kepentingan yang didesain oleh elit-elit nasional. Rakyat di Tanah Papua juga membutuhkan perhatian pembangunan dan prioritas untuk memperoleh akses pendapatan yang dapat digunakan untuk membangun manusia dan tanahnya.
Pada hari ini disadari sepenuhnya oleh seluruh rakyat di Tanah Papua, bahwa pemberian dana otsus telah menjadi sandera yang melegalkan sikap sewenang-wenang Jakarta untuk memonopoli pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Dana otsus juga menjadi bentuk penghinaan Jakarta yang memandang bangsa Papua hanya butuh uang saja dan bukan kemandirian untuk mengelola sumber daya alam di tanahnya sendiri. Dan pemberian itu selalu menjadi nilai plus yang dibanggakan oleh para elit nasional dengan tingkah badutnya untuk mengatakan "kami rugi besar disetiap tahunnya harus memberi makan orang Papua dengan dana otsus, sedangkan pemasukan bagi negara dari monopoli sumber daya alam di Tanah Papua hanyalah sedikit (kutipan wapres)".
Dengan demikian dana otsus benar-benar telah menghilangkan harga diri rakyat dan bangsa Papua, serta menjadi alat legitimasi bagi elit nasional untuk tidak menyerahkan hak pengelolaan sumber daya alam strategis ke Tanah Papua. Tidak perlu berpolemik panjang lagi, katakan dengan tanpa ragu-ragu untuk mencabut dana otsus dari Tanah Papua dan mengembalikan hak pengelolaan sumber daya alam ke rakyat dan bangsa Papua, untuk kemandirian pelaksanaan desentralisasi pemerintahan yang telah diakui dalam UUD 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H