Mohon tunggu...
Willem Nugroho
Willem Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang belajar menulis.

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kacamata

16 Agustus 2022   22:27 Diperbarui: 18 Agustus 2022   00:40 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kacamata klasik photo - Search (bing.com) 

Sayup desir angin menggliat menemani sepinya jalan setapak yang terletak persis ditepian sawah yang membentang luas. Jalanan itu dampak kacau dengan lubang dan permukaan yang jauh dari rata yaitu licin, dan tergenang air. Jalanan dusun kami memang jauh dari layak, dan bahkan tidak sekalipun tersentuh proyek pemerintah Orde Baru. Alih-alih  untuk memajukan fasilitas umum, desa kami hanya menjadi ladang dalam mencapai tujaun pemerintaha yaitu " Swasembada Pangan"

Dusun kami bernama Manunggaling Tirta. Dusun yang diapit berbagai anak sugai yang berhilir ke sungai besar yang memebelah dusun menjadi dua. Sungai ini menjadi alasan tanah menjadi subur dan mengidupi hampir 3/4 penduduk dusun yang menjadi petani. Setengah lainnya menjajan harapan dengan membauaka toko Klontong kecil di rumah masing-masing. Itulah dusunku.

Jika kalian bertanya termasuk penduduk apa aku ini? Aku termasuk dalam bagain 1/2 penduduk yang menjajakan harapan melalui toko klontong ditepian sawah itu. Bisa dibilang membuka toko klontong adalah pilihan yang cukup elit, ketimbang harus menggarap sawah yang bukan milih sendiri, dan memperoleh upah yang tidak seberapa. Ohh iyaa aku lupa memberitahu kalian, sawah di dusun kami sebagain sudah diambil alih oleh para pengusahaan dari kota, jadi kami hanya menerima upah saja, tidak bersama dengan hasil buminya.

 ***

Sang fajar sudah mulai  beranjak menjadi terik yang memancar diataas padi yang menguning. Terik matahari mencari celah ke rumahku yang hanya terbuat dari anyaman bambu kering, hampir menyerupai gubuk. Aku mengusah kacamataku yang kusam akibat terkena keringan dan debu jalanan durn yang tidak beraspal.Ditengah lenaghnya seisi toko klontong terdengar suara tangan yang beryun berpadu dengan papan kayu yang menjadi bahan pintu rumahku. Ada seorang membeli.

" Toktok...toktok" Seorang lelaki paruh baya berdiri tegap dengan memikul cangkul dibundah kirinya dan menyandarkan sepada ontelnya di diding depan kios sejajar depan kursi rotan diposisi yang sama.

" Nggih, monggo mlebet mawon" (Ya, silakan masuk saja). Aku sudah tidak asing dengan lelaki paruh baya ini, kurang lebih dua bulan ini, dia sampir setiap hari bertamu ke tokoku.

" Apa ada yang bisa aku beli hari ini? " Tanya lelaki itu dengan senyum sesampainya di depan meja kasih yang terbuat dari kayu bekas bagunan.

" Ada sembako, dan sedikit buah" Jawabku pendek kepada lelagi itu.

Tanpa membalas jawabanku lelaki paruh baya itu langsung mengambil beberapa buah yang ada sudut ruangan, dan ditempatkan di besek.

Tidak seberapa lama lelaki ini kembali dengan membawa buah yang ia pilih, dan meletakkan di meja kasir. Aku tertegun dengan buah yang dipilih oleh lelaki paruh baya itu. Buah yang tua dan hampir membusuk. Sama seperti biasa sejak pertama kali letaki paruh baya itu datang ke tokoku. Hal ini menjdi tanya tanya besarku 2 bualan terakhir. Kenapa lelaki paruh baya ini selalu membelanjakan uangnya dengan kebutuhan yang mampir habis umurnya?

" Nak berapa harga semua ini? Apa dengan uang ini cukup? Tandas lelaki paruh baya itu dengan senyum, sembari mengeluarkan uang kertas enam rupiah.

" Kakek hanya bisa membeli 1 dari buah ini, karena uang kakek kuang" Jaawabku dengan sedikit keraguan dan seyum tipis.

Dengan santun lelaki tua itu menyisihkan sedikit, dan memilih satu.

Satu hal yang membuatku heran adalah lelaki baruh baya itu memilih yang paling tua, dan pasti buah itu juga yang paling terjangkau harganya. Setelah memberikan 6 rupiah itu lelaki paruh baya itu segera berkemas dan menuju abang pintu.

"Terimakasih anak muda" Tandas singkat lelaki paruh baya itu dengan senyum ramahnya.

Tanpa menjawab aku hanya menatap mata lelaki paruh baya itu yang nampak sayup diselimuti keriput, namun tetap membawa keteduhan

" Tunggu sebentar kakek!" Tanpa ada aba-aba atau peringantan mulutku langsung melontarkan kalimat itu. Lelaki paruh baya itu berhenti tepat di bawah ambang pintu, dan menatapku dengan senyum tipis.

" Kek, aku  ingin bertanya satu hal " Dengan santun aku menghapri lelaki paruh baya itu. Lelaki itu dengan sabar menunggu di depan ambang pintu.

" Kenapa kakek selalu membeli kebutuhan yang hampir habis waktu? Tanyaku tenang dengan senyum lebar dan tangan menggaruk kepala yang tidak gatal.

 " Aku hanya memiliki sedit uang, tapi setiap hari banyak yang harus aku syukuri." Jawab lugas lelaki tua itu dengan tatapan takzim.

" Apa yang kakek maksud banyak disyukuri?" Aku mebakas dengan raut wajah kebingungan.

" Aku bertanya kembali kepadamu anak muda, apakah bersyukur memerlukan suatu yang mahal? dan dengan membeli sedikit apakah kita tidak bisa bersyukur?" "

"Lalu apa yang kakek syukuri hari ini dengan buah yang hampir habis waktu itu?" Aku masih dengan raut wajah penasaran dan belum memahami maksud si lelaki paruh baya ini.

" Aku bisa memakan buah ini bersama istriku setelah seharian bekerja disawah, dan satu lagi aku senang bisa bertemu denganmu anak muda. Kau harus mencoba mengganti kacamatamu itu" Jawab lelaki paruh baya itu dengan tawa kecil  dan menitih sepada ontel tua miliknya.

Daftar Istilah

Besek : Tempat penyimpanan tradisional yang terbuat dari bambu 

Aku hanya merenung, menatap sepeda ontel lelaki patuh baya itu semakin mengecil menyusuri jalan setapak ditepian sawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun