Di satu sisi perlu juga disadari bahwa ada banyak perkembangan yang positif yang membuat ilmu pengetahuan tersalurkan dengan mudah berkat era disrupsi ini, misalnya kuliah online, adanya aplikasi-aplikasi pendidikan yang mobile dan reponsif serta krusus online scara gratis.Â
Namun apa yang kurang dalam era disrupsi ini? ialah pendidikan moral. apa yang dikatakan oleh Fukuyuma bahwa keluarga merupakan modal sosial yang amat penting merupakan fakta yang tak terelakan. Ilmu pengetahuan yang positif/aktual adalah ilmu pengetahuan yang juga melihat peran keluarga ini.Â
Jika Comte mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang paling aktual, maka keluarga pun termasuk dalam pembahasan ilmu ini. Dan memang demikian adanya. Tapi apakah itu saja sudah cukup? tidak. Perlu ada ilmu pengetahuan yang mendukung ilmu ini. Etika dan moral misalnya, merupakan ilmu pengetahuan yang dapat dipasangkan pada pada ilmu sosial tersebut.Â
Keluarga modern pada era disrupsi adalah keluarga modern yang mampu melakukan disruptive mindset. "Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang dibuat oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak".
[17] Hal serupa seperti kita men-settingcomputer kita, ada yang  taks baar diposisikan pada bagian bawah, ada yang di samping, ada yang di tengah. Kurang lebih demikian. Maka dengan cara berpikir yang sudah dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang positif seperti etika dan moral maka manusia modern pun mampu merubah inovasi yang distruktif menjadi konstruktif. Moral harus dintegrasikan dan diaktualkan, bukan hanya diajarkan dan dijadikan sebagai standar kelulusan.
IV. Penutup
 Dalam tulisannya tentang Era Disrupsi, Profesor Johanis Ohoitmur memenjelaskan bahwa postmodernisme dengan kritik terhadap modernitas pernah berperan penting dalam membantu manusia menghadapi globalisasi.Â
Kini peran paham filosofis tersebut sudah bergeser oleh disruption. Disrupsi bukan hanya guncangan yang mehancurkan tapi juga inovasi yang mendatangkan perubahan positif, yang membangun lingkungan sosial masyarakat menjadi kreatif dan modern. Penulis sendiri merasa bisa mengkolaborasikan dua pandangan yang saling bertolak belakang antara Fukuyuma dan Christensen.Â
Kini penulis setuju bahwa disruption membawa kehancuran pada tatanan sosial, namun di satu sisi kehancuran itu ibarat biji gandum yang mati, kini tumbuh subur dan berbuah lebat. Disruption memudahkan banyak orang untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan tapi di lain pihak menciptakan jarak yang lebar antara orang-orang di suatu lingkungan sosial.Â
Menyebarkan hoax tapi di sisi lain juga ajaran spiritual. Gereja Katolik lewat Paus Fransiskus, menyadari bahwa perkembangan teknologi yang kian canggih dapat menjadi sarana penyebar suka cita Injil yang ampuh.
Ilmu pengetahuan pun punya dua pilihan mendisrupsi atau didisrupsi? Mendisrupsi berarti mengkontekstualkan dengan kebutuhan dan perkembangan agar menggiring modal sosial seperti keluarga pada arah yang benar, dan didisrupsi berati dirubah oleh guncangan yang membuat ilmu pengetahuan menjadi kaku dan ketinggalan.