Maka tidak berlebihan jika dikatakaan bahwa kapitalisme justru membawa kerusakan dan mengganggu tatanan yang sudah ada. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia. Disinilah sumber disrtupion menurut Fukuyuma.Â
Masalahnya lebih menyangkut teknologi dan perubahannya. Kepentingan dan keinginan masing-masing individu justru berpa rtisipasi di dalamnya. Maka bukan lagi mengenai ekonomi tetapi moral. Teknologi dan perubahannya merusak tatanan yang sudah maju dan berkembang. Orang tidak bisa memanfaatkan modal sosial lagi, yang dilihat justru peluang dan bagaimana menguasainya, tanpa perduli dengan modal sosial yang dapat dijadikan investasi sosial dalam kehidupannya ke depan.
[5] Demikian bahwa dari pandangan futuris ini, menjadi jelas bahwa tatanan sosial yang di serang justru tatanan sosial yang paling dasar, yang menjadi modal untuk mengembangkan suatu peradaban, yakni keluarga.
 2. Disruption Menurut Clayton M. ChristensenÂ
Christensen dan Fukuyuma menulis tentang disruption di masa yang sama. The Innovators Dilemma terbit pada tahun 1997 sedangkan The Great Disruption terbit pada tahun 1999.
[6] Meski demikian, seperti yang disinggung pada bagian awal, keduanya menggunakan prespektif yang berbeda dalam melihat era disrupsi ini. Chirstensen melihat ada peluang besar untuk berinovasi pada masa ini. Di mata Christensen, guncangan yang terjadi berkaitan erat dengan industri, bisnis dan keuangan. Dalam perjalanan waktu hingga tahun ini, pandangan Chirstensen memang lebih populer dibandingkan dengan Fukuyuma.Â
Pemikirannya menjadi sangat kontekstual karena menyangkut perkembangan teknologi yang semakin canggih, contoh yang paling nyata ialah tumbuhnya beragam aplikasi-aplikasi smart-phone yang menjawab berbagai kebutuhan, dan kemudian menghancurkan para pelaku ekonomi lama (incumbent) yang tak bisa membaca perubahan yang terjadi.Â
Disrupsi bagi Christensen adalah inovasi yang memberikan keuntungan, bukan karena suatu perusahan memiliki highly regulated procedures, melainkan karena suatu penyangkalan (deception) atau pengabaian terhadap apa yang dianggap remeh.  Renald Kasali dalam tulisannya yang berjudul Disruption (Gramedia: 2017), menegaskan pandangan ini.Â
Ada kecenderungan oleh para pelaku ekonomi yang sudah mapan, merasa nyaman dengan sistem yang mereka miliki. Kekuasaan yang besar dianggap paling kuat dan aman, sehingga diyakini akan terus mendatangkan keuntungan.Â
Prosedur kerja perusahaan atau usaha mereka dianggap sudah baik dan cendeurng menutup relasi dengan pelaku-pelaku usaha lain. Akibatnya para incumbent malah menjadi defensive saat berhadapan dengan hal-hal baru yang disurptif. Lihat saja sekarang  bagaimana toko-toko online menguasai pasar dunia.
[7] Siapa yang menyangka bahwa orang terkaya di dunia ini adalah seorang pemilik Amazon.com sebuah toko online yang sudah mendunia. Ia menggantikan posisi bos Microsoft yang terlalu fokus berinovasi tanpa melihat disrupsi.Â