Hal seperti ini disebut Christensen sebagai sustaining disruption. Di Indonesia pun demikian, toko-toko online membuat para pelaku usaha ritel seperti The Gap harus menutup usahanya karena kekuarangan pendapatan. Orang mulai mencari yang murah, berkualitas, mudah didapat, terpercaya, dan tidak butuh banyak prosedur.Â
Dengan internet, hanya dari rumah atau kantor, orang bisa membeli makanan yang tempat asalnya ada di pulau lain. Semua tentang memanfaatkan perubahan dan kemajuan yang ada. Mereka yang konserfatif seperti The Gap harus berisap-siap hancur apa bila tidak mampu menerima perubahan yang ada dan menyesuaikan. Inilah inovasi disuruptif yang dimaksudkan oleh Christensen.Disruption innovation akan selalu diawali dengan observasi, riset, dan ide.[8] Hasilnya akan terungkap dalam perkembangan yang baru dengan inovasi yang baru sembari memanfaatkan teknologi informasi yang sudah tersedia.
II. Pengaruhnya Bagi Ilmu Pengetahuan
 Apakah teori teori disrupsi hanya bermanfaat bagi dunia bisnis?  Pertanyaan ini tertulis dalam lembaran seminar di Unika De La Salle Manado oleh Prof. Johanis Ohotimur mengenai Era Disrupsi. Jawabannya ialah "tidak".
[9] Â Dalam Disruption karya Renald Kasali, dikatakan bahwa "disrupsi terjadi secara kait-mengait dalam banyak bidang kehidupan, baik pemerintahan, politik, dunia hiburan, maupun sosial." Christensen sendiri pernah menunjuk arah bagi pengembangan teori disrupsi dakam bidang ilmu pengetahuan, dengan merujuk secara persis pada perguruan tinggi.Â
Ia berpendapat bahwa perguruan tinggi yang besar dan ternama selalu mengandalkan kekuatannya yang terletak pada sistem yang terintegrasi, manajemen yang tertata, dan nama besar yang terpelihara. Inilah comfort zone yang mengurung perguruan-perguruan tinggi . Perubahan memang dilakukan, tetapi tidak dengan inovasi yang disruptif.Â
Secara menarik ia menggambarkan perguruan tinggi di mana ia mengajar yakni Harvard Business School (HBS) yang selalu mengandalkan kekuatannya, yaitu jaringan yang luas, relasi-relasi dan branding. Dengan demikian HBS tidak kesulitan mendapatkan mahasiswa-mahasswa terbaik dan mampu membayar biaya kuliah yang sangat mahal. Tapi kini HBS justru mulai tampak "panik".Â
Mereka memikirkan bagaimana menghadapi perusahaan-perusahaan ternama yang mendirikan perguruan tinggi sendiri demi memperoleh karyawan yang bermutu dan pasti berkarya di perusahaan mereka. Hanya sedikit mahasiswa yang masuk perguruan tinggi ternama.
[10] Orang justru berpikir mencari perguruan tinggi yang sinkron dengan keterampilan yang mereka miliki sehingga jalan menuju karir yang semakin baik pun terbuka lebar. Lebih lanjut Chirstensen kemudian menegaskan bahwa tidak cukup memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang.Â
Yang perlu dipikirkan dan segera dilakukan ialah merevisi arsitektur atau modelnya agar tidak sekedar memenuhi standar tapi justru menjawab kebutuhan para mahasiswa jaman now. Singkatnya ilmu pengetahuan yang mampu menghadapi era ini ialah ilmu pengathuan yang berfokus pada sumer daya, proses dan tata nilai dengan norma-norma dan integrasi moral di dalamnya. Dengan demikian, "kehancuran" seperti yang dipandang oleh Fukuyuma dapat terjawab dengan baik.
       Berikut ini akan dipaparkan pengaruh disruption terhadap ilmu pengetahuan dengan tinjuan yang lebih filsafati.