Mengenai disruption theory, ada dua pengertian yang hendak dipaparkan dalam bagian ini. Pertama adalah pemahaman disruption menurut Francis Fukuyuma, seorang futuris yang mengajar politik-ekonomi international di Paul H. Nize School of Advance International Studies, Johns Hopkins University dan berikutnya adalah teori disruption menurut Clayton M. Christensen, guru besar di Harvard Business School.
[1] Keduanya menguturakan pemahaman disrupsi yang masing-masing mereka pahami, dan semua tertuang dalam buku-buku mereka. Pada intinya mereka tidak melihat disruption dengan pemahaman yang sama. Masing-masing melihat disruption sebagai gangguan dan sebuah keuntungan yang perlu dihadapi dan dimanfaatkan. Berikut pandangan disruption dari Fukuyuma dan Christensen:
- Disruption Menurut Francis Fukuyama
Francis Fukyuma, penulis buku The Great Disruption, melihat sebuah gejala dan peristiwa disruption sebagaimana arti leksikal dari kata tersebut. Disruption dipandang sebagai sebuah guncangan yang mengacaubalaukan tatanan sosial dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi yang semakin radikal menjadi indikator yang membuat Fukuyuma melihat era ini sebagai sebuah era disrupsi.Â
Konteks buku ini sendiri terbit saat internet memperkenalkan dirinya pada masyarakat luas dan menyempitkan jarak dari satu tempat ke tempat yang lain, dan memudahkan akses informasi sehingga masyarakat lebih merupakan individu-individu yang menenetap di hamparan daun kelor atau dalam istilah Marshal McLuhan, dikenal dengan kata Global Village.
[2] Segala sesuatu terasa dekat dan serba tersedia. Fukuyuma tidak mengharamkan teknologi informasi. Fukuyuma  memandang bahwa masyarakat yang dikuasai oleh kekuatan informasi pada era ini cenderung menghargai nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam demokrasi, yaitu kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality). Kebebasan memilih mencuat tinggi sebagai hak, sementara semua jenis hirarki (dalam agama, politik, pemerintah, bisnis dan lain-lain) digerogoti daya regulasi dan kecenderungan koersifnya.
[3] Lantas, apakah konsekuensi yang terjadi akibat perkembangan teknologi yang kian pesat ini? Fukuyuma tidak melihat ada perkembangan positif di dalamnya. Yang dilihat justru masyarakat informasi (information society) yang ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk.Â
Di mana-mana terjadi kekacauan sosial yang membuat orang merasa tidak nyaman berada di mana pun, bahkan di kota-kota besar yang dikatakan maju. Kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial yang paling primer terguncang, tingkat perceraian meningkat dan jumlah kehamilan di luar nikah tak bisa dibendung.Â
Dari sini Fukuyuma mengangkat isu penting yang menjadi landasan teorinya mengenai modal sosial (social capital) dan kapitalisme. Ia mendefinisikan modal sosial yang dilihatnya sebagai perangkat nilai-nilai informal atau norma-norma yang diperuntukan bagi anggota kelompok dalam sebuah lingkungan tertentu yang dianggap kooperatif. Ia memberi contoh keluarga sebagai salah satu modal sosial yang paling penting.Â
Dalam keluarga, kapasitas kepercayaan satu individu ke individu yang lain dalam lingkup keluarga tersebut menjadi sangat kuat dibandingkan dengan kepercayaan kepada pihak lain.Â
Fukuyuma menjelaskan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki perbedaan dalam modal sosial yang ditandai dengan tingkat kepercayaan yang terangkum dalam norma-norma keooperatif seperti kejujuran, timbal balik dan rasa memiliki masing-masing anggota dalam sebuah masyarakat. Berikutnya ia menghubungkan modal sosial dengan kaptilasme.
[4] Pertanyaan sentralnya ialah apakah kapitalisme menghancurkan modal sosial ini? Pemikiran yang paling populer dari pendekatan ini adalah pemikiran Joseph Schumpter mengenai kapitalisme, sosialisme dan demokrasi, di mana kapitalisme cenderung untuk menghasilkan kelas-kelas elit dan juga mengganti ekonomi pasar ke arah sosialis.Â