Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Drama

[BulanKemanusiaan RTC] Melihat Si Sisypus dari Berbagai Sisi

27 Juli 2016   10:26 Diperbarui: 27 Juli 2016   22:40 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisypus by JSingh 2008 wordpress

“We all have our routines,” he said softly.”But they must have a purpose and provide an outcome that we can see and take some comfort from, or else they have no use at all. Without that, they are like the endless pacings of a caged animal. If they are not madness itself, then they are a prelude to it.”
― John Connolly, The Book of Lost Things

Selalu ada alasan dibalik perbuatan, seperti selalu ada udang yang bersembunyi dibalik batu, untuk kemudian dijadikan rempeyek, saat  batu tak lagi mampu menyembunyikan si Udang.

Demikian juga dengan Tokoh kita yang satu ini.

Sisypus adalah Raja pertama Ephyra (*Ada yang menduga itu Korintus). Yang dalam segala siasat cerdasnya yang bisa dikategorikan licin, selalu berhasil membuat  Para Dewa marah, dan pada akhirnya menghukum dia dengan mengulingkan batu ke Puncak bukit, yang akan  kembali bergulir ke bawah, untuk di gulingkan lagi ke puncak, demikian terus menerus , entah sampai kapan.

What ?! Ini seperti marmut yang berputar putar pada kitiran. Coba saja kau pelihara 1 atau 2 marmut, kalau tidak percaya. Taruh di kandang, beri dia makan, lalu taruh kitiran dipojokan. Saksikan dan lihatlah sendiri apa yang  terjadi. 

Gemas-gemas lucu bukan, melihat marmut, berputar putar liar, seharian. Berhenti sebentar bila dia lelah, kepojokan untuk minum lalu makan. Kemudian berputar-putar lagi, dan tidur bila sudah lelah.  

Si  Marmut “terlihat” senang, tapi aku tak tahu, apakah yang terlihat itu memang senang beneran. Ha ha ha.  Buktinya besok dia akan berputar-putar lagi, tak bosan bosannya.  Cobalah tolong kau tanyakan,”wahai marmut yang imut, apakah kamu senang berputar putar disana, atau kamu memang tak punya pilihan lain.”  Nanti kalau si Marmut menjawab , tolong beritahukan padaku .

Apakah  Raja Sisypus  seperti  Marmut imut itu ? Bagaimana perasaan hatinya ketika menerima hukuman  absurd macam itu ?

Mari kita berandai-andai

Sisypus manusia  ¾  marmut

Mungkin  Sisypus manusia  3/4 marmut. Alih alih marah dan kesal atas hukuman sang Dewa, dia malah menganggapnya permainan . Macam marmut di kitiran, yang bergembira ria setiap harinya.

Mengelindingkan batu ke Puncak, sambil  melihat Matahari yang perlahan terbit, dan meninggi bersama langkahnya menuju puncak.

Melihat kuncup kuncup bunga bermekaran, dan kicau burung riang yang menemani langkahnya. Membiarkan keringatnya tersapu angin, dan mungkin bila lelah dia bisa menadahkan wajahnya pada hujan yang kadang gerimis, kadang membadai, tak tentu arah.

Lalu saat tiba dipuncak, sambil membuka bekal makanan, dia akan berbaring direrumputan, memandang pada kejauhan, pada kelokan sungai yang beriak karena  batu yang tadi digulingkannya naik bergulir lagi jatuh , dan membuat  ikan ikan melompat kaget.

Turun lagi ke bawah, dan kali ini dia akan menikmati  Matahari senja. Orange, si bulat telur bersama kepakan sayap burung yang bersembunyi  entah kemana.

Sisypus  Manusia yang tak mampu menentang kehendak dewa

Mungkin pada awalnya Sisypus bisa menikmati kehidupannya macam Marmut dalam kandang.  Tapi Marmut dalam kandang mati dalam bertahun-tahun hidupnya. Sedang dia? Pagi menjadi Malam untuk  kembali pagi dalam ketidakjelasan waktu.

Bosan, letih, penat, jenuh yang terakumulasi oleh waktu , menambah beratnya batu yang harus digulingkannya ke puncak.

Amarah menyesak didada. Hati ingin memberontak lepas. Mengutuk, menghujat, tapi Dewa dalam ketinggian gunung Olympus tak punya waktu untuk mendengar seluruh celotehnya yang tak penting itu.

Kebosanan adalah musuh dalam selimut.
Menggigiti setiap rasa hingga habis tak bersisa.
Lalu jiwamu kering kerontang,
Dan Kematian adalah satu satunya pembebas jiwa dari musuhmu itu.  Wild Flo.

Kamu tahu kebosanan adalah  saat kamu mengerjakan sesuatu secara sia sia, tidak bernilai dan tak bermakna.

"Kamu juga tahu bagi seorang Raja sepertiku, kerja keras dan pengorbanan bukanlah hal yang kutakuti. Aku tak takut terluka dan berdarah-darah dalam menggapai impianku, itu sudah kubukukan dalam sejarah sebagai Pendiri kerajaan Ephyra. Bukan hal remeh temeh semacam itu yang membuatku kesal dan kecewa , sobat ! Aku tak sepicik itu , menyikapi hidup."

"Bukan Keabadiaan yang membuatku hidup dalam kematian abadi. Ketiada tujuan dan maknalah , yang membuat jiwaku merana, tak berdaya. Hampa dalam jurang tanpa dasar."

"Dalam keangkuhan Dewa yang hanya menghukum manusia, jiwaku mendakwa tanpa pembela, dan kasusku hanyalah kumpulan debu tak berarti di pelupuk mata mereka yang buta !"

Sisypus  yang kecerdasan (baca : kelicikannya) sering mengelabui para dewa

Bila kita berpegang pada fakta permitosan , Sisypus yang kecerdikannya jauh di atas marmut, tentu akan sulit membayangkan dia  akan bersikap selugu “marmut”.  

Mungkin dia bisa saja terkapar dalam kepasrahan yang mengeliat marah , tanpa bisa melawan, macam kebanyakan manusia saat ini.

Tapi masakan Sisypus yang dijuluki yang terlicik di antara semua yang licik, tercerdik diantara semua  kaum cerdik , tunduk dan pasrah begitu saja, rasanya tak masuk logika.

Dia sebulus musang, selicin ular, dan kadang bulu dombanya mampu mengecoh para Dewa.  Saat Zeus memerintahkan Thanatos merantai  Sisypus, dia malah tertipu dan terantai dengan rantainya sendiri. Ares ,  Dewa perangpun dibuatnya  marah tak kepalang. Apa gunanya, berperang,  bila lawan hanya sekarat  tanpa bisa dimusnakan dalam kematian.   Dewa kematian  sudah dirantai oleh siapa lagi , kalau bukan Sisypus yang dengan licik berhasil mengelabuinya.  Lalu mengapa Sisypus tidak mencari lagi ratusan cara , agar dia bisa terbebas dari hukuman sang Dewa ?

Psst ini adalah rahasia yang hanya kamu dan aku saja yang tahu

Sisypus, seperti  kita ketahui  adalah seorang raja. Dan Raja tak mungkin bokek bukan, pastilah  dia punya banyak  harta, minimal  seperti raja raja kecil di negeri kita.

Menjalani hukuman dewa  dengan mengelindingakan batu ke puncak, untuk jatuh dan jatuh lagi ?

“Lu pikir gue marmut, mau aja lu suruh gelindingin batu kesana kemari, tak tentu arah tujuan, tak juga tahu apa untungnya buat gua.

Mikir !”

Diam diam dia bekerja sama dengan  Hephaestus, siapa lagi kalau bukan pandai besi sakti , yang dulu membentuk Pandora menjadi wanita cantik.

“Psstt – psst-psstt……,” bisiknya pada Hephaestus. Pelan takut ada dewa yang menguping, bisa sangat berbahaya bagi rencananya yang sangat andal.

Dan dengan cara itulah Raja Sisypus , berhasil meloloskan diri dari hukuman dewa, yang kurang kerjaan itu.

Dia berhasil kabur, dengan perubahan wajah disana sini, hasil operasi besi sang Maestro. Mukanya tak lagi dikenali.  (Coba pikir, siapa yang kini mengikuti Modus operandi seperti ini ? Mungkin dia belajar dari sang  ahli  tepu-tepu, Sisypus Raja Korintus).

Menyogok bagian imigrasi , Sisypus kabur ke negeri tetangga di Khatulistiwa. Membuat kerajaan baru, namanya kini bukan Sisypus, bisa jadi kini namanya SiLhupus, SiEmpuss,   SiThikus  atau Si lainnya lagi. 

Dan dalam nama samarannya itu , dia berhasil mendirikan lagi Kerajaan yang makmur, tambun dan subur. Meski rakyatnya kebanyakan  miskin,  kurus tak terurus.

Dewa Senang, Sisypus pun bahagia

Dewa tertawa bahagia, melihat kini pengacau  Olympus menggulir-gulirkan batu, tanpa kenal henti. Rasain Lu ! Siapa suruh mempermainkan dewa !

Bahagia dewa, adalah  bahagia Sisypus juga. Dengan keahlian Hephaetus, kini  Sisypus jadi-jadian, tanpa berkeluh kesah , mengulirkan batu, hari demi hari. Robot tak berjiwa , tak akan mati karena bosan. Batu digulingkan ke puncak, untuk terjatuh dan terjatuh lagi.  Demikianlah  akhir cerita ini.

Pesan  tanpa moral :

Kalau kau di hukum dewa, terimalah dengan riang gembira , seperti  marmut  yang bermain dikitiran,

Atau kau dapat kelabui  mereka dengan 1001 cara, asal tidak ketahuan tentu saja.

Kaboer  ah………..         

Sepandang mata :

Sepandang mata, orang mengasosiasikan Dewa , hasil cerita rekaan manusia,sebagai Pencipta. Yang berkuasa, seperti tiran yang kejam. Yang tahunya hanya menghukum, tanpa perduli bagaimana nasib terhukum.

Bila Pencipta seperti tiran, maka pemberontakan adalah mutlak.  Bila dia marah, jangan salahkan pemberontakan itu, tapi salahkan mengapa manusia diberikan hati untuk bisa berpikir, merasa dan bernalar.

Jauh dibalik kisah,  Pencipta tak mungkin diciptakan dari hasil reka-reka manusia. Sebaik atau sejahat apapun sang Dewa.  Bila ya, kita sudah menjadikannya mahluk ciptaan pemikiran kita , tak lebih dari itu. Keberadaan hati dan nurani, akan melahirkan manusia-manusia pencari arti dan makna. Pencipta tak memandang pemberontakan manusia sebagai  perbuatan makar. Mungkin  Dia menanti agar manusia terbebas dari semua kesia-siaan, demi menemukan  arti dari kehidupan yang hanya sesaat saja.

RTC
RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun