“We all have our routines,” he said softly.”But they must have a purpose and provide an outcome that we can see and take some comfort from, or else they have no use at all. Without that, they are like the endless pacings of a caged animal. If they are not madness itself, then they are a prelude to it.”
― John Connolly, The Book of Lost Things
Selalu ada alasan dibalik perbuatan, seperti selalu ada udang yang bersembunyi dibalik batu, untuk kemudian dijadikan rempeyek, saat batu tak lagi mampu menyembunyikan si Udang.
Demikian juga dengan Tokoh kita yang satu ini.
Sisypus adalah Raja pertama Ephyra (*Ada yang menduga itu Korintus). Yang dalam segala siasat cerdasnya yang bisa dikategorikan licin, selalu berhasil membuat Para Dewa marah, dan pada akhirnya menghukum dia dengan mengulingkan batu ke Puncak bukit, yang akan kembali bergulir ke bawah, untuk di gulingkan lagi ke puncak, demikian terus menerus , entah sampai kapan.
What ?! Ini seperti marmut yang berputar putar pada kitiran. Coba saja kau pelihara 1 atau 2 marmut, kalau tidak percaya. Taruh di kandang, beri dia makan, lalu taruh kitiran dipojokan. Saksikan dan lihatlah sendiri apa yang terjadi.
Gemas-gemas lucu bukan, melihat marmut, berputar putar liar, seharian. Berhenti sebentar bila dia lelah, kepojokan untuk minum lalu makan. Kemudian berputar-putar lagi, dan tidur bila sudah lelah.
Si Marmut “terlihat” senang, tapi aku tak tahu, apakah yang terlihat itu memang senang beneran. Ha ha ha. Buktinya besok dia akan berputar-putar lagi, tak bosan bosannya. Cobalah tolong kau tanyakan,”wahai marmut yang imut, apakah kamu senang berputar putar disana, atau kamu memang tak punya pilihan lain.” Nanti kalau si Marmut menjawab , tolong beritahukan padaku .
Apakah Raja Sisypus seperti Marmut imut itu ? Bagaimana perasaan hatinya ketika menerima hukuman absurd macam itu ?
Mari kita berandai-andai
Sisypus manusia ¾ marmut
Mungkin Sisypus manusia 3/4 marmut. Alih alih marah dan kesal atas hukuman sang Dewa, dia malah menganggapnya permainan . Macam marmut di kitiran, yang bergembira ria setiap harinya.
Mengelindingkan batu ke Puncak, sambil melihat Matahari yang perlahan terbit, dan meninggi bersama langkahnya menuju puncak.
Melihat kuncup kuncup bunga bermekaran, dan kicau burung riang yang menemani langkahnya. Membiarkan keringatnya tersapu angin, dan mungkin bila lelah dia bisa menadahkan wajahnya pada hujan yang kadang gerimis, kadang membadai, tak tentu arah.
Lalu saat tiba dipuncak, sambil membuka bekal makanan, dia akan berbaring direrumputan, memandang pada kejauhan, pada kelokan sungai yang beriak karena batu yang tadi digulingkannya naik bergulir lagi jatuh , dan membuat ikan ikan melompat kaget.
Turun lagi ke bawah, dan kali ini dia akan menikmati Matahari senja. Orange, si bulat telur bersama kepakan sayap burung yang bersembunyi entah kemana.
Sisypus Manusia yang tak mampu menentang kehendak dewa
Mungkin pada awalnya Sisypus bisa menikmati kehidupannya macam Marmut dalam kandang. Tapi Marmut dalam kandang mati dalam bertahun-tahun hidupnya. Sedang dia? Pagi menjadi Malam untuk kembali pagi dalam ketidakjelasan waktu.
Bosan, letih, penat, jenuh yang terakumulasi oleh waktu , menambah beratnya batu yang harus digulingkannya ke puncak.
Amarah menyesak didada. Hati ingin memberontak lepas. Mengutuk, menghujat, tapi Dewa dalam ketinggian gunung Olympus tak punya waktu untuk mendengar seluruh celotehnya yang tak penting itu.
Kebosanan adalah musuh dalam selimut.
Menggigiti setiap rasa hingga habis tak bersisa.
Lalu jiwamu kering kerontang,
Dan Kematian adalah satu satunya pembebas jiwa dari musuhmu itu. Wild Flo.
Kamu tahu kebosanan adalah saat kamu mengerjakan sesuatu secara sia sia, tidak bernilai dan tak bermakna.
"Kamu juga tahu bagi seorang Raja sepertiku, kerja keras dan pengorbanan bukanlah hal yang kutakuti. Aku tak takut terluka dan berdarah-darah dalam menggapai impianku, itu sudah kubukukan dalam sejarah sebagai Pendiri kerajaan Ephyra. Bukan hal remeh temeh semacam itu yang membuatku kesal dan kecewa , sobat ! Aku tak sepicik itu , menyikapi hidup."
"Bukan Keabadiaan yang membuatku hidup dalam kematian abadi. Ketiada tujuan dan maknalah , yang membuat jiwaku merana, tak berdaya. Hampa dalam jurang tanpa dasar."
"Dalam keangkuhan Dewa yang hanya menghukum manusia, jiwaku mendakwa tanpa pembela, dan kasusku hanyalah kumpulan debu tak berarti di pelupuk mata mereka yang buta !"
Sisypus yang kecerdasan (baca : kelicikannya) sering mengelabui para dewa
Bila kita berpegang pada fakta permitosan , Sisypus yang kecerdikannya jauh di atas marmut, tentu akan sulit membayangkan dia akan bersikap selugu “marmut”.
Mungkin dia bisa saja terkapar dalam kepasrahan yang mengeliat marah , tanpa bisa melawan, macam kebanyakan manusia saat ini.
Tapi masakan Sisypus yang dijuluki yang terlicik di antara semua yang licik, tercerdik diantara semua kaum cerdik , tunduk dan pasrah begitu saja, rasanya tak masuk logika.
Dia sebulus musang, selicin ular, dan kadang bulu dombanya mampu mengecoh para Dewa. Saat Zeus memerintahkan Thanatos merantai Sisypus, dia malah tertipu dan terantai dengan rantainya sendiri. Ares , Dewa perangpun dibuatnya marah tak kepalang. Apa gunanya, berperang, bila lawan hanya sekarat tanpa bisa dimusnakan dalam kematian. Dewa kematian sudah dirantai oleh siapa lagi , kalau bukan Sisypus yang dengan licik berhasil mengelabuinya. Lalu mengapa Sisypus tidak mencari lagi ratusan cara , agar dia bisa terbebas dari hukuman sang Dewa ?
Psst ini adalah rahasia yang hanya kamu dan aku saja yang tahu
Sisypus, seperti kita ketahui adalah seorang raja. Dan Raja tak mungkin bokek bukan, pastilah dia punya banyak harta, minimal seperti raja raja kecil di negeri kita.
Menjalani hukuman dewa dengan mengelindingakan batu ke puncak, untuk jatuh dan jatuh lagi ?
“Lu pikir gue marmut, mau aja lu suruh gelindingin batu kesana kemari, tak tentu arah tujuan, tak juga tahu apa untungnya buat gua.
Mikir !”
Diam diam dia bekerja sama dengan Hephaestus, siapa lagi kalau bukan pandai besi sakti , yang dulu membentuk Pandora menjadi wanita cantik.
“Psstt – psst-psstt……,” bisiknya pada Hephaestus. Pelan takut ada dewa yang menguping, bisa sangat berbahaya bagi rencananya yang sangat andal.
Dan dengan cara itulah Raja Sisypus , berhasil meloloskan diri dari hukuman dewa, yang kurang kerjaan itu.
Dia berhasil kabur, dengan perubahan wajah disana sini, hasil operasi besi sang Maestro. Mukanya tak lagi dikenali. (Coba pikir, siapa yang kini mengikuti Modus operandi seperti ini ? Mungkin dia belajar dari sang ahli tepu-tepu, Sisypus Raja Korintus).
Menyogok bagian imigrasi , Sisypus kabur ke negeri tetangga di Khatulistiwa. Membuat kerajaan baru, namanya kini bukan Sisypus, bisa jadi kini namanya SiLhupus, SiEmpuss, SiThikus atau Si lainnya lagi.
Dan dalam nama samarannya itu , dia berhasil mendirikan lagi Kerajaan yang makmur, tambun dan subur. Meski rakyatnya kebanyakan miskin, kurus tak terurus.
Dewa Senang, Sisypus pun bahagia
Dewa tertawa bahagia, melihat kini pengacau Olympus menggulir-gulirkan batu, tanpa kenal henti. Rasain Lu ! Siapa suruh mempermainkan dewa !
Bahagia dewa, adalah bahagia Sisypus juga. Dengan keahlian Hephaetus, kini Sisypus jadi-jadian, tanpa berkeluh kesah , mengulirkan batu, hari demi hari. Robot tak berjiwa , tak akan mati karena bosan. Batu digulingkan ke puncak, untuk terjatuh dan terjatuh lagi. Demikianlah akhir cerita ini.
Pesan tanpa moral :
Kalau kau di hukum dewa, terimalah dengan riang gembira , seperti marmut yang bermain dikitiran,
Atau kau dapat kelabui mereka dengan 1001 cara, asal tidak ketahuan tentu saja.
Kaboer ah………..
Sepandang mata :
Sepandang mata, orang mengasosiasikan Dewa , hasil cerita rekaan manusia,sebagai Pencipta. Yang berkuasa, seperti tiran yang kejam. Yang tahunya hanya menghukum, tanpa perduli bagaimana nasib terhukum.
Bila Pencipta seperti tiran, maka pemberontakan adalah mutlak. Bila dia marah, jangan salahkan pemberontakan itu, tapi salahkan mengapa manusia diberikan hati untuk bisa berpikir, merasa dan bernalar.
Jauh dibalik kisah, Pencipta tak mungkin diciptakan dari hasil reka-reka manusia. Sebaik atau sejahat apapun sang Dewa. Bila ya, kita sudah menjadikannya mahluk ciptaan pemikiran kita , tak lebih dari itu. Keberadaan hati dan nurani, akan melahirkan manusia-manusia pencari arti dan makna. Pencipta tak memandang pemberontakan manusia sebagai perbuatan makar. Mungkin Dia menanti agar manusia terbebas dari semua kesia-siaan, demi menemukan arti dari kehidupan yang hanya sesaat saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H