Mohon tunggu...
Wild flower
Wild flower Mohon Tunggu... -

Tukang baca yang sedang berusaha merangkai kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Derita Anak Juga Derita Guru Les

24 Juli 2016   09:11 Diperbarui: 24 Juli 2016   09:17 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu sambil kuliah, saya nyambi jadi guru les. Bukan karena  rajin, tapi karena kepepet uang. Juga karena saya "pintar", kata teman saya, kata guru saya, kata orang tua saya, kata saya juga. Hak, hak hak. Separuhnya bercanda, sisanya memang benar demikian.

Serius pakai banget, kenapa dulu saya bisa sepede itu, sampai berpikir, semua hal pasti bisa saya pelajari, selama saya mau dan tekun. Terdengar sombong bukan ? Mungkin memang sombong, meski saya rasa tidak begitu. 

Apa sih salahnya menganggap diri pintar? Itu jelas bukan sombong, itu wujud dari penghargaan pada diri. Dan itu selalu saya terapkan pada murid murid saya. Murid saya senang bila saya yang ngajar, guerrrrrrr. Pasalnya saya tak suka marah. Mereka spesial, mereka pintar dengan cara dan kemampuannya sendiri. Si Sulung selalu juara kelas, belum juara 1, masih juara 2 sampai maksimal 3. Mungkin kalau gurunya bukan saya, si Sulung bisa-bisa juara 1. Adiknya berbeda, dia tak pernah rangking, tapi dia sangat cute, manis, adorable. Manja dan selalu mau dipangku bila saya mengajar. Sayapun oke saja. Tak usah juara, yang penting happy dan naik kelas pastinya. Kalau tidak naik kelas, bisa bisa saya dipecat jadi guru privat. Bisa berabe, uang jajan darimana klo sampai saya diPHK. 

Semua anak adalah Pintar, itu ajaran dari Papa saya

Papa saya dengan cara yang ajaib, selalu mampu membuat saya pede. Sangking Pedenya kadang saya suka tidak sadar kalau suara saya sebenarnya biasa biasa saja, tak merdu merdu amat, bahkan berhasil buat guru kesenian hampir mati karena bosan. 

Kala itu, saya ingat pernah menyanyikan  lagu Oinanikeke. Kata katanya memakai bahasa daerah, tanpa terjemahan arti lagu, hanya berisi angka  3 5 1 | 3 5 1 | 6 1 7 6...., .membuat saya bernyanyi macam beo. asal bunyi  tak paham arti.  Pede jaya, saya nyanyi dengan suara selantang mungkin, tidak perlu toa, nyaring pokoknya.  Dan Guru keluar masuk kelas, mungkin sambil berharap,kapan saya selesai . Jujur guru, sayapun ingin stop dan menyudahi tuh lagu, tapi dimana stopnya, Weane Weane, Weane toyo, daimo siapa, kota rema kiwe, weane, weane...(Red : Weane weane entah sampai kapan, saya tak tahu pintu exit dari si Weane ini, sungguh!) 

Tak tahukah kamu guru, untuk bisa menyanyikan lagu ini didepan kelas, saya harus menghafalnya susah payah?

Lupakan si Guru musik  yang hampir mati kebosanan, saya tak berkurang pedenya. Disuruh menyanyi saya menyanyi, disuruh baca puisi saya baca full pakai penghayatan. Kata guru kelas , intonasi saya bagus,  penjiwaan saya luar biasa. Saya tambah puede. Lomba baca puisi, kalah berkali kali, menang hanya 2 kali saja. Tapi  si PD jaya tak kenal down.

Kata Papa, menang kalah itu biasa, kalau menang semua itu bukan lomba, itu bagi bagi hadiah namanya, seperti kontes foto anak. Hua hua hua. Lomba saja, ikuti semua yang kamu suka, dengan lomba kamu bisa melihat hebatnya kawan kawan lain, dengan lomba kamu bisa banyak belajar, dengan lomba kamu bisa tahu dimana kekurangan kamu, dimana kelebihan kamu dan juga teman temanmu. Dan  terpenting dari semua itu, dengan lomba kamu bisa mendapatkan banyak pengalaman. 

Jadilah saya mengikuti banyak sekali lomba. Juara buncit tak mengapa, yang penting happy. Itu motto papa dan itu motto saya, itu juga motto yang saya tanam dalam pikiran anak didik saya. Tak juara, oke oke saja, yang penting happy , yang penting belajar hal yang baru, yang penting nambah wawasan dan teman.

Fyi, ada anak didik saya yang dikirim ke Malaysia, karena juara sempoa, disini pepatah guru kencing (duduk ditoilet) karena saya wanita, dan murid kencing juga (di toilet) karena dia juga perempuan, terbukti. Saya ajari dengan kecepatan sekian, sudah mampu menghitung perkalian sekian dan sekian. Otak dan konsentrasinya jauh lebih sempurna. Teori saya diserap sangat cepat, dan dia melesat meninggalkan gurunya dibelakang. Si Anak sudah  jauh lebih cepat dan lebih hebat dari gurunya. Sedihkah saya ? Nop. Saya sangat bangga. Keberhasilan saya bukan karena mengantarkan dia menjadi juara di Malaysia. Itu prestasi memang. Keberhasilan saya, karena saya membuat setiap anak didik saya sepede saya, hak hak hak.

Guru besar papa rupanya Pak Tino Sidin. Tak ada gambar jelek dimata seorang maestro seni lukis itu. Dengan topi baretnya, dia selalu tersenyum dan berkata "Bagus". "Bagus sekali", "Luar biasa".

Derita anak adalah derita guru les juga

Kembali ke pokok pembahasan. Saya tak tahu dengan semua kurikulum yang diberikan oleh Kemendikbud, apakah ada guru sekolah yang menderita, sama seperti derita saya si guru les ?

Soalnya saya selalu memegang motto, belajar itu harus fun, kalau tidak fun namanya dihukum, bukan belajar.

Tapi bagaimana bisa fun, kalau mata pelajarannya lebih banyak menghafal, dari nama menteri, nama pahlawan, tempat lahir pahlawan, peta buta, apa gunanya coba ?

Saya paling stress kalau ulangan anak didik saya adalah  menghafal peta buta. Sungguh.

Prinsip saya , kalau saya tak bisa hafal, saya tak boleh paksakan murid bisa, itu kan bo ceng li (kalau lupa lihat kamus yang sudah saya kasih kemarin).

Lain si kakak, lain adiknya. Peta buta, dihafal kakak , bahkan sebelum saya mengajar. Tugas saya jadi seringan bulu. Tinggal tunjuk, langsung dijawab. dan saya contek peta yang tak buta, jawabannya caspleng, benar semua, kalaupun salah paling satu dua, tinggal diulang hafal, selesesai. Saya hanya perlu mengulang dibagian bagian itu. Tak sampai 5 menit, kelar, besok hasil ulangannya sudah pasti 100, kalaupun meleset paling 98 ditangan.

Si Adik, hue hue hue.

Kami mesti duduk dan belajar bersama. Saya menghafalkan, dan dia mengikuti. Otak saya pusing dengan semua nama sungai, kota, gunung...... dan otak si adik, sama seperti saya. Bedanya dia bisa menangis, saya tidak. He he he. Saya pangku dia, saya bilang tak apa ,tak usah semua. Kita skip yang kecil-kecil. Kita skip yang saya sendiri malas dan sukar menghafalnya. Saya menempatkan diri jadi Guru sekolah, bila saya yang buat soal, kira kira tempat apa yang akan saya tanyakan. Tak perlulah seratus, 80 sudah cukup, ehhh, kalau tak bisa juga 60 oke, saya mah cincai orangnya.

Si Adik juga sering down dulu bila PR sampai 3, IPA, IPS, Matematika. Plus satu ulangan. Meski saya sabar, tapi jujur, deritamu adik adalah derita ku juga. Kamu tak selesai, aku tak bisa pulang pasalnya. 

Kenapa dan kenapa ?

Sampai sekarang saya tak habis pikir, kenapa harus menghafal si peta buta. Tuh lihat saja sekarang sudah ada GPS. Kenapa tak buat hal yang menarik untuk dipelajari?

Seperti kota Surabaya, Kota Bandung, atau kota apa saja yang dijadikan subjek mata pelajaran. Kenapa tidak dibuat kelompok anak anak, ber-5, ber-10, mencari bahan dari perpustakaan, google , atau darimana saja. Kasih mereka waktu ,untuk membuat karya tulis. Tak perlu pakai bahasa baku, cukup bahasa anak sehari-hari. 

Kenapa kamu suka Surabaya ? Bandung? dll. Apa yang menarik disana. Kembangkan dengan tari-tarian atau budaya khas daerah setempat. Tempat wisata, tempat ziarah. Makanan khas. kalau perlu tambahakan mitos atau legenda yang ada di deerah tersebut.

Guru bisa menambahkan diakhir tugas, kelebihan daerah itu, dari segi geografisnya, iklim, keadaan tanah, culture, adat daerah setempat , dsb-dsb -dsb.

Dengan mengexplore sendiri, saya rasa daya serap mereka akan lebih baik, ketimbang duduk, hafal dan hafalkan lagi. Sampai kapan ? Dengan menghafal apalagi terpaksa, paling 1 bulan ingat, kemudian 1 bulan kemudia raib si hafal entah kemana.

Saya juga cermati, dalam pelajaran sejarah, guru hanya terpentok pada hafal dan lagi lagi hafal. Dimana dan kapan Pahlawan Diponegoro lahir. Bukan tak penting, tapi hafalan macam itu tak perlu jadi point dan fokus utama, IMO.

Saya sendiri lebih tertarik bila guru fokus pada apa sih yang menyebabkan Diponegoro dikenal sebagai pahlawan besar. Sifat seperti apa yang bisa dipelajari anak anak dari Beliau .

Juga Perang, perjanjian seperti Linggar Jati, Kemunculan dan kejatuhan Kerajaan yang ada di nusantara. Menghafal tanggal dan nama nama , membuat fokus lari. Tapi makna dibalik peristiwa, meski anak lupa pada tanggal dan tempat, tetap akan terpatri. Mengapa kita kalah, apa yang menjadi penyebab. Mengapa kerajaan bisa mengalami kejayaan, apa yang jadi penyebab. Dll, dll ,dll.

Saya sudahi sampai sini, kalau saya lanjut, saya kuatir diangkat jadi asisten menteri pendidikan, hak hak hak.

Thanks kalau sudah sudi membaca lapak saya, semoga biar sedikit , ada manfaat yang bisa diambil dan diterapkan.

Percayalah derita anak, itu pun derita guru lesnya. (suara mantan guru les private).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun