Guru besar papa rupanya Pak Tino Sidin. Tak ada gambar jelek dimata seorang maestro seni lukis itu. Dengan topi baretnya, dia selalu tersenyum dan berkata "Bagus". "Bagus sekali", "Luar biasa".
Derita anak adalah derita guru les juga
Kembali ke pokok pembahasan. Saya tak tahu dengan semua kurikulum yang diberikan oleh Kemendikbud, apakah ada guru sekolah yang menderita, sama seperti derita saya si guru les ?
Soalnya saya selalu memegang motto, belajar itu harus fun, kalau tidak fun namanya dihukum, bukan belajar.
Tapi bagaimana bisa fun, kalau mata pelajarannya lebih banyak menghafal, dari nama menteri, nama pahlawan, tempat lahir pahlawan, peta buta, apa gunanya coba ?
Saya paling stress kalau ulangan anak didik saya adalah  menghafal peta buta. Sungguh.
Prinsip saya , kalau saya tak bisa hafal, saya tak boleh paksakan murid bisa, itu kan bo ceng li (kalau lupa lihat kamus yang sudah saya kasih kemarin).
Lain si kakak, lain adiknya. Peta buta, dihafal kakak , bahkan sebelum saya mengajar. Tugas saya jadi seringan bulu. Tinggal tunjuk, langsung dijawab. dan saya contek peta yang tak buta, jawabannya caspleng, benar semua, kalaupun salah paling satu dua, tinggal diulang hafal, selesesai. Saya hanya perlu mengulang dibagian bagian itu. Tak sampai 5 menit, kelar, besok hasil ulangannya sudah pasti 100, kalaupun meleset paling 98 ditangan.
Si Adik, hue hue hue.
Kami mesti duduk dan belajar bersama. Saya menghafalkan, dan dia mengikuti. Otak saya pusing dengan semua nama sungai, kota, gunung...... dan otak si adik, sama seperti saya. Bedanya dia bisa menangis, saya tidak. He he he. Saya pangku dia, saya bilang tak apa ,tak usah semua. Kita skip yang kecil-kecil. Kita skip yang saya sendiri malas dan sukar menghafalnya. Saya menempatkan diri jadi Guru sekolah, bila saya yang buat soal, kira kira tempat apa yang akan saya tanyakan. Tak perlulah seratus, 80 sudah cukup, ehhh, kalau tak bisa juga 60 oke, saya mah cincai orangnya.
Si Adik juga sering down dulu bila PR sampai 3, IPA, IPS, Matematika. Plus satu ulangan. Meski saya sabar, tapi jujur, deritamu adik adalah derita ku juga. Kamu tak selesai, aku tak bisa pulang pasalnya.Â