"Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility---these three forces are the very nerve of education." (Rudolf Steiner)
Membicarakan sekolah dan pendidikan manusia adalah dua hal yang tidak bisa dibedakan. Keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan zaman.Â
Sekolah sebagai institusi pendidikan sering kali dituduh sebagai biang dari kegagalan dalam mendidik manusia. Sekolah terkesan hanya mencetak lulusan yang dibutuhkan industri.Â
Ketika industri terbatas, berkeliaranlah manusia-manusia yang dulunya dianggap berpendidikan. Proses menjadi mandeg karena kebutuhan industri akan manusia tidak sebanding dengan banyaknya lulusan. Ada yang bertahan dengan cara berwirausaha, sisanya menganggur. Dari sini pikiran perihal sekolah untuk manusia mulai muncul.Â
Sekolah dibutuhkan untuk memanusiakan manusia. Manusia yang awalnya tidak terdidik kemudian lahir menjadi manusia terdidik yang tahu akan tujuan hidupnya.
Lewat proses pendidikan di sekolah, seorang manusia kemudian terlahir menjadi manusia-manusia yang memiliki kapasitas diri dalam menjalani kehidupan sebagai apapun perannya di dunia ini. Tak mesti menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta, selama ia menikmati lahir dan bathin, ia sudah menjadi manusia terdidik yang dibutuhkan oleh dunia ini.Â
Mengutip Tan Malaka tentang tujuan pendidikan ini adalah untuk menajamkan pikiran, menguatkan tekad, dan menghaluskan perasaan. Sudahkah sekolah atau pendidikan kita menghasilkan lulusan yang demikian?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seputar pendidikan, filosofi, dan praktik yang baik untuk memanusiakan manusia dan sekolah yang dijawab dalam buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia karya Haidar Bagir ini. Dibuka dengan sebuah impian dari penulis yang sangat indah.Â
Sebuah kondisi ideal ketika persaingan berubah menjadi kolaborasi, kehangatan antar satu keluarga dengan yang lain, teknologi yang hadir membantu manusia dalam pekerjaan kasar dan manusia berkembang kearah kemuliaan yang tidak bisa dicapai sebelumnya. Sungguh sangat ideal dan tidak ada salahnya jika secara pribadi mimpi itu juga menjadi mimpi semua pegiat pendidikan yang terus dipupuk bersama di sekolah.
Pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni, mengaktualkan berbagai potensi untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan bahagia. Yakni manusia-manusia yang memiliki kehidupan penuh makna, bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri (hal 34).Â
Memaknai kehidupan semestinya menjadi bagian integral yang selalu diantarkan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Tanpa memaknainya, setiap pelajaran akan hilang begitu saja atau ia hanya akan lewat sebagai sebuah kewajiban seorang pelajar bukan sebagai manusia yang sedang belajar tentang kehidupan.
Jika dirunut lebih jauh, proses memaknai ini adalah pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya. Ia adalah karunia yang diberikan Tuhan untuk manusia. Sebagaian mampu menjadikan sebagai perangkat belajar baik oleh guru maupun siswa. Sekolah harus mampu mengantarkan pembelajaran sampai titik memaknai. Membiasakan setiap makna pembelajaran sampai kepada anak dan secara perlahan anak terbiasa memaknai hal yang terjadi dalam hidupnya.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam menjalani kehidupannya harus terus mengoptimalkan ketiga potensi ini.Â
Lewat latihan keseharian di kelas, semua sisi dilatih secara bertahap. Haidar Bagir menuliskan bahwa kegagalan pendidikan ini salah satunya adalah hanya mengembangkan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia saja. Bukan potensi kecerdasan kognitif saja tetapi juga kecerdasan sosial yang harus dibangun.
Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan mengembangkan emosi positif dan empati, yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah "galau", tak punya solidaritas sosial -- padahal, pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan kebahagiaan. Sementara itu kegagalan mengembangkan kecerdasan ruhaniah membuat anak kita tidak bahagia akibat keterasingan sumber-keberadaannya sekaligus, meminjam William James, Kawan-Agung (The Great Socius)-nya.Â
Berapa banyak keluhan-keluhan baik orang tua maupun siswa yang belajar di sekolah karena merasa anaknya lebih banyak di warnet atau bermain gawai saat di rumah dibandingkan dengan bermain atau melakukan hal yang semestinya dilakukan pada usia sekolah.
Pada bahasan pentingnya kecerdasan emosi ini, penulis menyatakan bahwa kesuksesan materialistis sekalipun ditunjang oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence menyatakan "... kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis... kompetensi emosional kita menunjukan berapa banyak potensi kita yang sudah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa digunakan saat bekerja" (Hal 38).Â
Betapa sisi kecerdasan emosi ini jarang sekali disentuh dalam pendidikan yang mengutamakan segalanya di sisi aspek kognitif. Seolah tidak peduli dengan kecerdasan emosi karena nilai akhir sekolah adalah sebuah angka-angka di raport untuk menggambarkan hasil belajar anak di sekolah.
Pendidikan Alternatif
Dalam buku ini, Haidar Bagir menyampaikan beberapa contoh di negara yang sudah mulai memikirkan ulang perihal pendekatan pendidikan dari konvensional ke pendekatan yang lebih manusiawi.Â
Kita sebut saja sebagai bentuk pendidikan alternative yang sudah berhasil dilakukan di beberapa Negara. Jika sebelumnya sudah sangat popular dengan Finlandia yang menjadi kiblat pendidikan baik, Haidar Bagir menunjukan sisi lain dari pendidikan di China.Â
Pendidikan di China yang awalnya sangat fokus pada kompetensi, serba-spesialisasi pada tahap awal meniru menjadi pandu dalam bidang teknologi dengan membuat lulusan yang disebut memiliki keterampilan abad 21. Seperti kreativitas, kemampuan beradaptasi, kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, kewiraswastaan, dan kecerdasan kultural. Yakni, kemampuan yang tidak dimiliki oleh komputer atau kecerdasan buatan.
Masuknya sekolah waldorf yang dikembangkan dari seorang pemikir, Rudolf Steiner juga sedikit banyak memberikan sentuhan yang tidak ada dalam filosofi pendidikan sebelumnya.Â
Sekolah waldorf yang pernah menjadi bahan perbincangan karena para petinggi di Silicon Valley memilih sekolah yang tidak ada komputer dalam pembelajarannya sementara teknologi di Silicon Valley sangat mendunia. Sesuatu yang sangat ironis tapi memang itulah kenyataannya, sekolah waldorf sebagai sekolah alternative mampu memberikan pendidikan yang manusiawi. Lewat kegiatan kesehariannya serta kajian-kajian mendalam seputar perkembangan anak yang dilakukan di sekolahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H