Memaknai kehidupan semestinya menjadi bagian integral yang selalu diantarkan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Tanpa memaknainya, setiap pelajaran akan hilang begitu saja atau ia hanya akan lewat sebagai sebuah kewajiban seorang pelajar bukan sebagai manusia yang sedang belajar tentang kehidupan.
Jika dirunut lebih jauh, proses memaknai ini adalah pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya. Ia adalah karunia yang diberikan Tuhan untuk manusia. Sebagaian mampu menjadikan sebagai perangkat belajar baik oleh guru maupun siswa. Sekolah harus mampu mengantarkan pembelajaran sampai titik memaknai. Membiasakan setiap makna pembelajaran sampai kepada anak dan secara perlahan anak terbiasa memaknai hal yang terjadi dalam hidupnya.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam menjalani kehidupannya harus terus mengoptimalkan ketiga potensi ini.Â
Lewat latihan keseharian di kelas, semua sisi dilatih secara bertahap. Haidar Bagir menuliskan bahwa kegagalan pendidikan ini salah satunya adalah hanya mengembangkan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia saja. Bukan potensi kecerdasan kognitif saja tetapi juga kecerdasan sosial yang harus dibangun.
Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan mengembangkan emosi positif dan empati, yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah "galau", tak punya solidaritas sosial -- padahal, pertemanan merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan kebahagiaan. Sementara itu kegagalan mengembangkan kecerdasan ruhaniah membuat anak kita tidak bahagia akibat keterasingan sumber-keberadaannya sekaligus, meminjam William James, Kawan-Agung (The Great Socius)-nya.Â
Berapa banyak keluhan-keluhan baik orang tua maupun siswa yang belajar di sekolah karena merasa anaknya lebih banyak di warnet atau bermain gawai saat di rumah dibandingkan dengan bermain atau melakukan hal yang semestinya dilakukan pada usia sekolah.
Pada bahasan pentingnya kecerdasan emosi ini, penulis menyatakan bahwa kesuksesan materialistis sekalipun ditunjang oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence menyatakan "... kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis... kompetensi emosional kita menunjukan berapa banyak potensi kita yang sudah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa digunakan saat bekerja" (Hal 38).Â
Betapa sisi kecerdasan emosi ini jarang sekali disentuh dalam pendidikan yang mengutamakan segalanya di sisi aspek kognitif. Seolah tidak peduli dengan kecerdasan emosi karena nilai akhir sekolah adalah sebuah angka-angka di raport untuk menggambarkan hasil belajar anak di sekolah.
Pendidikan Alternatif
Dalam buku ini, Haidar Bagir menyampaikan beberapa contoh di negara yang sudah mulai memikirkan ulang perihal pendekatan pendidikan dari konvensional ke pendekatan yang lebih manusiawi.Â
Kita sebut saja sebagai bentuk pendidikan alternative yang sudah berhasil dilakukan di beberapa Negara. Jika sebelumnya sudah sangat popular dengan Finlandia yang menjadi kiblat pendidikan baik, Haidar Bagir menunjukan sisi lain dari pendidikan di China.Â