Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Beberapa Waktu di Neraka

22 Agustus 2011   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua puluh enam jam berselang. Semua masyarakat kini di altar sesembahan alun-alun desa. Di tengah kerumun orang yang berbisik-bisik, bergosip-gosip, kepala dukun menabuh lonceng enam kali, tanda semua suara wajib dipadamkan. Kepala dukun mengemukakan putusannya terhadap kasus bayi setan ini,

“Inilah yang terbaik! Setan asalnya bukan dari dunia. Setan dari neraka. Maka dari itu, kembalikan dia kesana!”

Semua warga paham. Begitu pula enam puluh pemuda dengan cangkul-cangkulnya. Segera setelah putusan itu dikeluarkan, mereka ramai-ramai menggali sebidang tanah yang dipercaya kepala dukun adalah pintu ke neraka, jauh lima puluh meter dibawahnya.

Benar saja, setengah hari menggali, satu pemuda menggali api dan kakinya terpanggang sebelah. Segera pemuda-pemuda yang lain mendapat kejadian yang sama. Neraka telah dicapai. Pemuda naik ke atas lubang. Upacara pengembalian bayi setan segera dilaksanakan. Tidak ada acara potong sembilan ekor kerbau, tidak ada juga sesajian hasil bumi yang bertumpuk-tumpuk, bayi itu segera dilemparkan ke lubang neraka itu. Itu saja. Ramai-ramai pemuda segera menutupnya.

Sayang, bayi itu memang jelek tampilannya, tapi, bayi itu memiliki kesadaran dan ingatan yang kuat. Dia sudah bisa merekam kejadiaannya sejak bayi. Buktinya, saya dapat bercerita ini padamu. Saya adalah bayi setan itu.

***

Saya dilempar seperti sekaleng minuman berkarbonasi kosong yang telah habis. Dibuang begitu saja. Saya jatuh jauh sekali. Saya tidak sadar seberapa lama saya jatuh, yang jelas, disekeliling saya berwarna hitam, kelam, kadang-kadang abu-abu, kemudian menjadi putih, serba putih. Saya mencoba memejamkan mata saja. Tapi, saya jadi teringat akan almarhum ibu saya.

Saya tidak jelas mengetahui berapa waktu berselang hingga saya membuka mata kembali. Saya terdampar di sebuah koridor. Koridor ini dihimpit dua baris bangsal yang bersebrangan. Aku tidak sempat menghitung berapa pintu, yang jelas, banyak. Dari dalam pintu itu, aku mendengar ringis tawa dan gelak tangisan. Ada juga teriakan. Suasana mencekam, kadang diselingi tetes air yang jatuh entah disebelah mana. Koridor ini gelap dan sedikit-sedikit bau amis, entah ikan atau darah. Ujung jauh di depanku ada semacam jendela. Jendela itu membiaskan cahaya. Muram. Banyangannya menempel di langit-langit dan di lantai. Sekali-sekali ada suara langkah sol sepatu tebal bertalu dengan ubin marmer. Sekali di sebelah utara, kemudian pindah ke selatan. Inikah neraka? Jauh lebih adem daripada bayangan orang-orang.

Saya coba beranikan untuk berdiri dan melangkah. Seharusnya kenyataan lebih baik daripada bayangan. Kalaupun saya harus mati disini nantinya, toh saya sudah sampai di neraka. Lalu mau apa? Saya beranjak menuju ke salah satu daun pintu. Pintu itu terbuat dari logam, karat dimana-mana, tinggi, lebar, dan semakin di dekati semakin bau amis. Satu daun pintu yang aku lihat ditempeli satu gagang besi, satu jendela yang bertirai logam, dan satu papan nama yang disitu bertuliskan “koruptor”. Tulisan itu agak kotor. Agar lebih jelas membacanya, saya seka papan nama itu. Rupanya sulit juga. Setelah agak lama, papan nama itu bersih juga, namun, ada satu hal yang aneh. Tulisan di papan nama itu berganti dari “koruptor” menjadi “politisi”. Belum sempat habis heran saya, tiba-tiba jendela terbuka. Satu sosok menyambut kemudian. Matanya marah. Saya kaget hingga terjengkang.

“Hei, Nak! Jangan macam-macam! Mau apa kamu?!”

“Ti.., tidak, Pak. Saya baru disini,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun