Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Beberapa Waktu di Neraka

22 Agustus 2011   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah manusia sisa-sisa. Maksud saya, saya adalah manusia yang tidak pernah diiyakan menjadi manusia. Terserah, mau de facto atau de jure. Saya tidak pernah diakui.

Kalau tidak salah, waktu tengah malam itu cuaca baik-baik saja. Tidak ada lolongan anjing atau kokokan ayam. Hanya malam dan manusia yang bercampur, baik dengan lelahnya maupun romantikanya. Tersebutlah peristiwa di sebuah bilik tidak berbeton dan tidak bergenting. Seorang wanita muda terengah-engah, dari waktu ke waktu napasnya kian pendek. Kadang-kadang di menelan ludahnya sendiri, lalu memendekkan napasnya sendiri lagi. Sekujur tubuhnya berbalut keringat yang tak berhenti-berhenti. Tangannya mencengkram apa yang bisa dicengkram. Bibirnya sudah ada tiga lubang sariawan dan sepertinya akan bertambah, wanita itu masih terus menggigiti bibirnya sendiri. Wanita itu meringis.

Setengah jam antara hidup dan mati–dan matilah yang menang, akhirnya pecah sebaris tangisan anak bayi dari bilik itu. Tangisan hasil taruhan nyawa ibunya. Aneh, tangis bayi itu bercampur dengan dengkur babi. Awalnya dukun beranak tersebut kaget. Sayang, lampu teplok telah habis apinya. Secara cepat dukun membuat api. Diarahkanlah api tersebut ke bayi tersebut dan mata dukun membesar.

Dukun beranak yang ada disitu lemas bukan kepalang. Badannya bergetar-getar hebat, ada satu mayat wanita dengan perut ke bawah penuh darah dan satu bayi menangis dengan suara babi—tampilannya pun lebih mengejutkan. Kemudian dukun itu berteriak, suaranya cukup membangunkan seluruh desa. Tiba-tiba, badai pelan-pelan datang.

Selang enam menit, bilik itu sudah sesak. Demi mendengar teriakan dukun beranak yang mendahului kokok ayam, semua ayah dan remaja tanggung meninggalkan pembaringan. Hujan pun mulai mendera pagi. Sungai-sungai terancam meluap. Sampai di bilik, warga mendapati bau amis darah, siluet tubuh dukun beranak yang mengejang, dan satu siluet tubuh seperti bayi. Salah seorang warga mengarahkan obornya ke siluet tubuh seperti bayi tersebut, dan tampaklah oleh semua warga desa, apa yang membuat dukun beranak kejang-kejang. Badai pun datang.

Ramai-ramai warga yang datang ke bilik itu berteriak. Beberapa diantaranya ada yang berbusa mulutnya kemudian tak sadarkan diri, sebagian yang lain pingsan dan kejang-kejang, sebagian yang lain diam. Semua ini karena bayi itu. bayi yang bahkan, ari-arinya belum dilepaskan.

“Ini bayi setan!”

“Bagaimana mungkin? Tidakkah kamu melihat mayat ibunya? Tuh, lihat. Manusia, bukan?”

“Tidak, tidak! Dia benar! Ini bukan bayi manusia! Dia setan!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”

Tidak ada orang kelima yang kebagian dialog. Antara lain disebabkan pelakunya sudah pingsan melihat bayi itu. Orang pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa menjawab pertanyaan orang keempat. Mereka terjebak diam lagi. Badai yang mampir semakin ganas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun