Mohon tunggu...
Wiji Pasiani
Wiji Pasiani Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang Belajar Menulis

Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah berikan, i'm alive.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kurang Lebih Pukul 10.40 Malam

21 Juli 2022   22:35 Diperbarui: 21 Juli 2022   22:41 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mbah Darto merupakan tetua di RT 03 dusun Tangkilan. Selain beliau seorang lelaki tua duda yang telah kehilangan pasangan hidup semasa aku masih duduk di kelas 2 SD yaitu tahun ajaran 2007/2008. Beliau menjadi panutan, juga seorang "kaum" (panggilan untuk seseorang yang memimpin genduri).

Di siang hari, beliau tidak jauh beda dengan masyarakat Tangkilan lainnya dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti bangun tidur merebus air, menyapu pekarangan, memandikan sapi ke sungai, mencari rumput dan seterusnya.

Pada hari Kamis Wage, tetangga sebelah yang bekerja sebagai mandor tebu yaitu Pakde Parjio mempunyai hajatan mengirim doa untuk para leluhur mereka. Masyarakat Tangkilan masih "njawani", meskipun sekarang adalah era globalisasi di mana jarang orang percaya dengan hal-hal yang berhubungan dengan ritual leluhur yang telah meninggal.

Bagi yang masih percaya dan dengan sepenuh hati "nguri-uri" adat masyarakat Tangkilan, maka urutannya yaitu sur tanah,7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Setelahnya bagi yang mampu yaitu membuat candi di pemakaman. Jika tidak, kapan pun bisa dilakukan semampu keluarga yang ditinggalkan.

"besok gendurinya konfem hari apa dan jam berapa?" Tanya Bude Parjio ke suaminya yang sedang minum teh panas sambil menulis di buku kecil.

"hari Kamis Wage setelah ba'da Ashar." Jawab Pakde Parjio tanpa menoleh ke istrinya yang sedang duduk di kursi rotan sambil melihat tivi.

Bagi masyarakat Tangkilan yang mempunyai hajatan, meski hanya hajatan kecil-kecilan maka jauh-jauh hari akan membuat perencanaan agar hajatan dapat terlaksana dengan lancar. 

Berapa orang yang akan diundang untuk kenduri, siapa saja yang akan menjadi "laden" (: yaitu orang yang membagikan minuman, snack, berkat dan lain-lain), siapa yang akan disuruh untuk "undhang-undhang" (: yaitu orang yang mengundang untuk datang genduri), berapa banyak tikar yang dibutuhkan, siapa yang akan menyembelih kambing dan seterusnya.

Ketika itu juga, Bude Parjio mulai berpikir mengenai bahan makanan apa saja yang dibutuhkan untuk acara hajatan. 

Berapa kg beras, berapa kg telur, genduri mentah atau makanan siap saji, akan belanja di mana, siapa saja yang diundang untuk rewang, bagaimana dengan piring sendok serta peralatan masak perlu menyewa atau tidak dan seterusnya. 

Sambil menggeleng tanda begitu banyak hal yang dibutuhkan untuk acara hajatan kirim doa leluhur.

Saat aku sedang menyapu pekarangan yang penuh dengan daun-daun ketapang yang berserakan di samping rumah, aku melihat ada sebuah mobil pick-up berhenti persis di depan rumah Pakde Parjio. Ya...saat itu hari Rabu jam 8.30 pagi.

Seiring perkembangan teknologi yang menghasilkan beragam alat transportasi, tidak sulit bagi yang empunya hajatan perihal berbelanja. 

Hanya dengan datang ke toko mengemukakan bahan-bahan yang hendak dibeli, menghitung jumlah total belanjaan dan meminta yang si pemiliku toko untuk mengantar belanjaan ke rumah. Simpel bukan?

Terdengar suara riuh ibu-ibu, ada yang mengupas bawang merah, ada yang sibuk menggoreng rempeyek, sebagian sedang memarut kelapa sementara asap tebal mengepul dari dapur. Di luar terdengar canda tawa anak-anak kecil yang sedang asyik  bermain.

Begitulah suasana rumah orang yang mempunyai hajat di dusun Tangkilan.

Sesuai dengan rencana Pakde Parjio, bahwa genduri akan dilaksanakan pada hari Kamis Wage setelah waktu sholat Ashar. Ketika itu aku melihat beberapa orang termasuk Mbah Darto sibuk menyembelih kambing Jowo warna hitam sedikit terlihat warna putih pada bagian ekor, serta ada 2 tanduk seukuran sejengkal tangan dewasa. 

Bagi yang punya hajatan, menyembelih seekor kambing Jowo diniatkan untuk menjamu tamu undangan yaitu orang-orang yang genduri di samping untuk makan bersama ibu-ibu yang rewang.

Terdengar suara adzan pertanda waktu sholat Dzuhur tiba. Tak berapa lama, seorang pemuda kurang lebih umur 20-an tahun datang ke rumah, menemui Bapak ku memintanya untuk turut hadir genduri di rumah Pakde Parjio.

Alunan doa yang ditujukan kepada para leluhur Pakde Parjio mulai bergema. Diawali dari bacaan Surat Al-Fatihah hingga Tahlil. Sungguh, suaranya nyaman di dengar. Tidak ada suara yang sangat indah kecuali dari ayat-ayat Al Qur'an.

Hampir menjelang Maghrib mereka selesai. Giliran Bapak ku yang mendapat tugas memberikan berkat kepada yang sengaja tidak diundang mengingat emperan rumah Pakde Parjio yang berukuran sedang sehingga tidak mampu untuk menampung banyak orang.

Ketika itu Bapak ku mendapat 3 besek (: yaitu anyaman dari bamboo berbentuk kotak untuk wadah berkat). Ternyata genduri mentah, besek berisi bahan-bahan pangan mentah seperti beras 1 kg, gula pasir 1/5 kg, 1 bungkus mie instant, 1 biji tempe, setakir nasi gurih, sebungkus jajanan ringan, dan 1 biji pisang raja tak lupa ada amplop warna putih berisi uang rp 5.000.00 yang disebut "wajib".

Ya begitulah genduri mentah ala dusun Tangkilan yang hingga kini masih dilestarikan.

Ke 3 besek berkat tersebut yakni 1 besek untuk jatah per kepala keluarga, 1 besek lagi sebagai upah saat Bapak membantu keperluan hajatan antara lain ikut membersihkan daging kambing yang disembelih, membantu meminjam tikar di rumah pak RT dan lain-lain, sementara 1 besek lagi adalah sebagai turahan (: sisa masakan hajatan, mengingat   lebih baik melebihi jumlah masakan daripada kurang).

Ketika Bapak ku menyuruh ku untuk memberikan 1 besek turahan kepada simbah kakung putri yang bertempat tinggal di seberang desa, maka saat itu juga aku antarkan meskipun jam dinding menunjuk pukul 10.40 malam.

Sepeda mini warna merah tua mulai ku kayuh. Melewati persawahan dan bahkan melewati kuburan yang berada tepat di samping persawahan sehingga tidak begitu menyeramkan.

Perkampungan Pedak telah ku lewati. Hingga akhirnya mau tak mau aku harus melewati pampringan (: rumpun bambu apus yang tumbuh di pekarangan) di mana kanan dan kiri merupakan pemakaman/kuburan tua. Sebelah kanan masih terlihat jelas cungkup (: bangunan kecil yang berisikan kijing/batu nisan). Sementara kuburan di sebelah kiri tanpa ada cungkup namun ada lampu 5 watt yang menerangi.

Konon menurut cerita para orang tua, cungkup-cungkup di kuburan digunakan sebagai tempat persembunyian para maling.

Makin merinding tangan ku mengingat mitos-mitos yang beredar.

Terus ku kayuh sepeda mini merah ku, hati ku terus berdoa membaca surah-surah Al Qur'an sebisa ku. Semilir angin yang berembus dari pampringan membuat tengkuk ku merinding, alunan doa terus ku panjatkan bahkan tidak dalam hati namun ku lafazkan.

"enggak ada apa-apa, itu cuma perasaan mu doank", hati ku berkata.

Ketika melewati pampringan terakhir, aku tersentak hingga aku menjerit "aaaaaarrr" terdengar suara kucing garong sedang bertengkar. Saling mengeong keras dengan suara khasnya.

Salah satu kucing melompat, hingga membentur angsang (: tempat duduk di bagian belakang sepeda). Perasaan takut, panik, merinding campur aduk tak karuan. 

Di tambah lagi, aku berada di tengah pampringan yang remang-remang cenderung gelap, 2 kuburan dengan berbagai mitos, sementara ada amanah yang harus aku haturkan kepada simbah.

Keadan yang belum pernah aku alami sebelumnya.

Lagi-lagi hati ku berkata lirih: "tenang, itu hanyalah suara kucing. Ingat...Allah bersama mu kemana pun kamu melangkah".

Ku kayuh sepeda ku agak cepat hingga akhirnya sampailah aku di jalan utama dusun Grogol RT 03. Di situlah simbah kakung putri ku tinggal, ya berdua saja. Simbah Kakung berusia 65 tahun sementara simbah putri 62 tahun. Ke ketuk pintu, aku masuk langsung menuju sumur menimba air membasuh kaki ku.

(: kebiasaan kami sepulang dari bepergian, langsung membasuh kaki agar terhindar dari hal-hal gaib)

Sambil membuka bungkusan berisi berkat genduri dari hajatan kirim doa para leluhur  Pakde Parjio, aku menceritakan saat-saat melewati pampringan di mana ada kucing garong yang sedang bertengkar, bersepeda di hampir tengah malam yang mencekam, lampu hanya 5 watt. Semua ku ceritakan pada kedua simbah ku.

Dengan santainya beliau, simbah putri berkata: "ndak apa-apa, untuk pengalaman, yang penting kamu selamat."

Sambil mengulurkan jarik, simbah putri berkata: "sudah tidur sana, besok siang pulang." Sementara simbah kakung menikmati setakir nasi gurih berkat genduri. Dan aku pun tertidur, lelap.

****************************************************************************************************

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun