Saya mendapatkan dua kebaikan saat mengikuti misa tanggal 29 Desember 2024. Pertama, petugas parkir yang saya kenal sejak saya ikut kegiatan Komsos Kevikepan Semarang dulu, mengarahkan saya untuk memarkir kendaraan di tempat yang mudah bagi saya untuk keluar. Padahal saat itu saya sudah parkir di tempat lain.
Kedua, seorang prodiakon membantu saya untuk memperoleh gelang penanda, bahwa saya diperbolehkan masuk gereja dan mengikuti misa di dalam gereja. Tampaknya saya tidak menyimak pengumuman minggu sebelumnya, bahwa misa Pembukaan Tahun Yubileum (29 Desember 2024 sampai 28 Desember 2025) dilakukan secara berbeda dengan biasanya. Umat, kecuali lansia, tidak diperkenankan untuk memasuki gedung gereja sebelum misa dimulai. Dan, hanya umat yang mengenakan gelang penanda yang diperbolehkan masuk ke dalam gereja.
Misa tanggal 29 Desember 2024 ini samar-samar mengingatkan saya pada sisi Dr. Jekyll dan Mr. Hyde dalam diri saya. Kedua tokoh tersebut ada dalam novel The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde yang ditulis oleh Robert Louis Stevenson. Samar-samar, maklum sekolahnya dulu di Sastra Inggris tidak lulus.
Novel ini bercerita tentang dua kepribadian yang dimiliki oleh Dr. Jekyll. Dr. Henry Jekyll adalah karakter yang baik, sementara Mr. Edward Hyde adalah karakter jahat dari Dr. Henry Jekyll. Dr. Jekyll bisa berubah karakter menjadi Mr. Hyde yang jahat, dan sebaliknya, setelah meminum obat hasil ramuannya sendiri. Berbeda dengan Dr. Jekyll, saya justru lebih sering menampakkan karakter Mr. Hyde yang buruk dalam diri saya.
Kehilangan Mood
Saya sadar bahwa misa penuh simbolisasi. Namun, simbolisasi saat misa Pembukaan Tahun Yubileum benar-benar memunculkan karakter Mr. Hyde di dalam diri saya. Saya kehilangan mood untuk mengikuti misa, gara-gara hal sepele, baru diperbolehkan masuk setelah pintu gereja dibuka saat misa dimulai. Pembukaan Tahun Yubileum atau Tahun Suci disimbolkan dengan dibukanya pintu-pintu gereja, sebagai lambang dibukanya rahmat Tuhan secara terbuka bagi seluruh umat beriman. Mr. Hyde dalam diri saya menambahkan yang 'mengenakan gelang', sehingga frasanya bagi Mr. Hyde saya menjadi 'bagi umat beriman yang mengenakan gelang penanda'.
Saya tidak tahu apakah umat lain dapat mengikuti awal misa dengan baik ataukah tidak. Yang jelas saya sulit secara hikmat mengikuti misa di awal. Saya lebih fokus untuk berusaha masuk ke dalam gereja, sementara saat itu dibacakan lima momen harapan. Meskipun memang harus saya akui, umat masuk dengan sangat tertib, tidak berdesak-desakan.
Saat memasuki gedung gereja, saya mendengar seorang ibu yang cukup lanjut usia ditegur oleh petugas karena memasuki gedung gereja tanpa gelang. Si ibu ngotot masuk, sambil mengatakan bahwa yang bersangkutan berasal dari luar kota. Apakah benar si ibu berasal dari luar kota atau tidak, tidak ada yang tahu kecuali si ibu itu sendiri.
Meskipun si ibu berasal dari luar kota, itupun tidak membenarkan bahwa dia mendapat keistimewaan untuk masuk ke dalam gedung gereja. Karakter Mr. Hyde dalam diri saya kembali muncul. Gara-gara simbolisasi, umat ini memulai misa dengan berbuat dosa, sama seperti saya yang marah dalam hati dengan simbolisasi ini.
Terbawa karakter Mr. Hyde, saya juga protes, tentunya dalam hati, saat dibacakan kutipan dari Yoh 10:7-10. Khususnya saya protes pada ayat 8 yang mengatakan 'Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, ....' Haduh, mengapa pencuri dan perampok, kata Mr. Hyde dalam diri saya?
Karakter Mr. Hyde dalam diri saya memang senangnya protes dan memotong ayat serta tidak mau melihat konteks atau membaca utuh satu perikop. Perikop yaitu bagian Kitab Suci yang terdiri dari beberapa ayat yang dirangkai menjadi satu pokok pikiran. Karakter Dr. Jekyll saya paham, bahwa membaca Kitab Suci harus utuh satu perikop dan tidak boleh dipenggal-penggal, tapi saat itu yang muncul lebih banyak karakter Mr. Hyde saya.
Refleksi
Awal sepertiga misa saya benar-benar kehilangan mood. Saat masih muda, saya pasti sudah keluar gedung gereja dan membatalkan ikut misa. Sekarang sedikit lebih maju. Sedikit. Sedikit sekali kemajuannya.
Dulu sewaktu muda, hidup keagamaan saya sangatlah kacau. Dari masa anak-anak sampai SMA Kelas 3, saya mengubah-ubah agama yang saya anut saat saya mengisi berbagai formulir. Pernah saya mengisi formulir dengan agama Budha. Setelah tahu bahwa penganut agama Budha harus mengikuti ibadah tertentu, saya ubah agama saya menjadi Kong Hu Cu. Dengan alasan yang sama dan supaya saya sama dengan mayoritas teman-teman saya, saya ubah kembali agama saya menjadi Kristen. Setelah saya ditanya oleh guru saya, saya kalau beribadah di Gereja Kristen yang mana, saya ubah lagi agama saya menjadi simpatisan Katolik. Sampai saya kemudian dibaptis menjadi Katolik saat saya kelas 3 SMA.
Awal-awal setelah dibaptis, saya lumayan rajin ke gereja mengikuti misa, mengaku dosa, dan mengikuti berbagai ritual yang lain. Setelah kuliah di Sastra Inggris UGM, saya terpapar bacaan yang menurut saya luar biasa saat itu. Saya membaca buku tentang Friedrich Nietzsche, Albert Camus, Max Horkheimer, dan sejenisnya. Penulis lain saya tulis 'yang sejenisnya', karena saya lupa. Tentu yang salah bukan Sastra Inggrisnya, karena saya membacanya di luar materi kuliah.
Dari Nietzsche saya belajar tentang kematian Tuhan. Saya berpendapat saat itu, bahwa Tuhan ada karena manusia lemah. Adanya Tuhan menghambat manusia menjadi hebat. Saya membaca beberapa novel tulisan Camus. Yang saya ingat samar-samar saat ini adalah novel yang berjudul Sampar. Dari novel ini saya belajar tentang absurditas. Hidup bagi saya absurd. Pendapat ini saya benarkan sendiri saat saya membaca buku Dilema Usaha Manusia Rasional tulisan Romo Sindhunata.
Apa-apa yang saya lakukan, termasuk kuliah, yang semula saya anggap rasional ternyata absurd dan irasional. Apakah benar saya harus kuliah lalu bekerja, menikah, dst? Saat itu setelah saya renung-renungkan ternyata menurut saya absurd dan irasional. Saya berubah.
Saya jarang ke gereja. Alasannya sederhana, gereja bukan gedung. Jadi saya bisa saja ke gereja sambil tidur-tiduran dan mambayangkan saya ikut misa. Gila. Inilah akibatnya jika saya membaca, lalu menterjemahkannya secara keliru.
Berubah Sedikit Lebih Baik
Saya berubah menjadi sedikit lebih baik setelah saya menikah dan punya anak. Gereja istri saya sebelum menikah adalah GKJ. Istri saya memiliki tradisi ritual yang baik, sehingga saya terbawa untuk kembali rutin ke gereja.
Peristiwa kedua yang membekas adalah komentar anak saya. Anak saya saat itu masih SMP. Secara tidak sengaja, karena saya ikut misa di luar jadwal biasa, saya ikut ibadah karismatik. Saya merasa tidak in, lalu saya keluar dari gedung gereja dan makan dan minum. Saya masuk kembali ke gereja saat misa hampir selesai. Komentar anak saya membuat saya tidak mengulangi kembali kelakukan saya. Anak saya saat itu berkomentar 'Kalau begitu, ngapain ke gereja, Pa?'
Meskipun sedikit - sekali lagi sedikit - lebih baik, tapi rupanya karakter Mr. Hyde masih lekat di diri saya. Begitu mudahnya muncul, hanya karena masalah sepele.
Harapan
Setelah pulang misa, karakter Mr. Hyde sedikit bisa saya sembunyikan. Akhirnya, saya kembali mengikuti misa lewat tayangan youtube. Misa yang sama, tetapi dengan mood yang berbeda.
Ada lima harapan yang didaraskan saat awal misa. Harapan 1 adalah Harapan Keselamatan. Harapan 2 adalah Harapan Kehidupan. Harapan berikutnya adalah Harapan Dalam Roh, Harapan Penyembuhan, serta Harapan 5 adalah Harapan Dalam Persekutuan.
Secara pribadi saya punya harapan yang keenam yaitu harapan jangan gila lagi, paling tidak jangan mudah gila karena hal-hal sepele. Sebelum misa, saya sudah memperoleh dua kebaikan, selayaknya saya juga menebar kebaikan. Bukan kejahatan seperti Mr. Hyde dalam diri saya.
Jika pada misa yang sama, umat belajar dari Keluarga Kudus Nasaret, saya justru belajar dari istri dan anak saya. Saya belum dapat memberikan contoh yang baik untuk istri dan anak saya. Memang dunia absurd dan irasional untuk saya.
Mudah-mudahan karakter Mr. Hyde dalam diri saya bisa membaik. Saya memang masih terus menjadi peziarah pengharapan.
Pelajaran yang Dapat Saya Petik
Berkaca dari pengalaman pribadi, saya berpendapat bahwa apapun agamanya, sejak kecil anak harus dibimbing untuk menjalankan ajaran agama dan ritualnya dengan baik. Semakin intens perjumpaan anak sejak kecil dengan Tuhannya, akan semakin kuat benteng bagi si anak sampai ke dewasanya dalam menghadapi segala masalah dan paparan atau bacaan yang menggoyahkan imannya.
Pelajaran kedua bagi saya, setelah melihat pengalaman saya ini, adalah seharusnya dulu saya memiliki pembimbing spiritual yang dapat saya tanya dan mendampingi saya dalam arus informasi dan pergaulan yang kompleks. Seandainya saja saya punya pembimbing spiritual, saya bisa berdiskusi tentang Nietzsche, Camus dan bacaan sejenis, sehingga saya tidak hilang arah.
Sejak kecil juga akan lebih baik jika anak belajar tentang suara hati dan selalu mengasahnya. Suara hati menunjukkan 'manunggaling kawula lan gusti' atau dalam bahasa agama Katolik, bahwa manusia juga merupakan citra Allah. Manusia diciptakan manurut gambar dan rupa Allah. Jika diasah dengan baik, suara hati dapat menjadi kesadaran moral bagi saya dalam mengambil keputusan dan berperilaku positif. Mengaku dosa dalam ajaran Katolik adalah salah satu cara untuk mengasah suara hati. Saya yakin di agama yang lain juga ada cara dan mekanismenya sendiri.
Pelajaran yang lain adalah bahwa sejak kecil sebaiknya anak diajarkan membaca kitab suci dengan baik. Saya tahu tentang perikop jauh setelah saya dewasa. Tanpa pengetahuan membaca kitab suci dengan baik dan bagaimana menginterpretasikannya, saya bisa menggunakan ayat hanya sepenggal-sepenggal untuk membenarkan perilaku saya.
Sayang memang, pelajaran ini saya petik setelah kejadian di misa tersebut di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H