Pemerintah juga mengontrol masa jabatan Profesor Kehormatan yang hanya berlaku lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Pasal 43 Permen ini juga mengatur satuan kredit semester minimal Profesor Kehormatan yaitu sepadan dengan empat satuan kredit semester. Tidak akan ada Profesor Kehormatan yang bakal ongkang-ongkang saja dan mendapat tunjangan kehormatan. Meskipun di negeri konoha segalanya bisa terjadi. Memang tunjangan kehormatannya dibayar Perguruan Tinggi ybs.
Kewajiban Dosen NIDK untuk juga melakukan Tri Dharma saja diakali dengan mencantumkan namanya di laporan penelitian atau pengabdian masyarakat yang dilakukan Dosen Tetap NIDN. Atau bahkan yang lebih kriminal lagi adalah bisa dengan memalsukan presensi kuliah dan tanda tangani, yang mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia.
Saat kum untuk Pengabdian kepada Masyarakat diperketat, dengan membagi sks dengan jumlah dosen yang berpartisipasi dalam pengabdian tersebut, di negeri konoha laporannya kemudian dipecah-pecah dan satu dosen akan menjadi pembicara di laporan dosen lain yang pada kenyataannya masih satu tim pengabdian. Mudah-mudahan cara-cara yang tidak etis ini tidak terjadi dengan Profesor Kehormatan di Indonesia.
Kontrol jumlah peserta sertifikasi dosen dan juga jumlah profesor yang tunjangan kehormatannya ditanggung pemerintah melalui APBN penting. Karena jumlah dosen tersertifikasi dan jumlah profesor, termasuk tunjangannya, bisa membengkak dan bisa menambah defisit APBN. Pasal 57 Permen ini menyatakan bahwa apabila jumlah profesor pada Perguruan Tinggi lebih tinggi dari jumlah yang ditetapkan oleh Kementerian, maka tunjangan kehormatannya dibayarkan oleh Perguruan Tinggi.
Kontrol Pemerintah yang lain adalah pada proses promosi dosen ke jabatan akademik profesor. Hanya Perguruan Tinggi yang memiliki profesor pada rumpun bidang ilmu dosen calon profesor, yang bisa melakukan promosi dosen menjadi profesor. Kontrolnya adalah pada jumlah anggota tim promosi, minimal tiga profesor dari Perguruan Tinggi lain.
Jika Perguruan Tinggi tidak memiliki profesor serumpun ilmu dengan dosen yang akan dipromosikan, maka tim promosi bisa dari Perguruan Tinggi lain atau yang dibentuk oleh Kementerian.
Kontrol yang baik dari Pemerintah juga ada pada Pasal 33 ayat (5) Permen ini. Pemerintah masih mengontrol kriteria publikasi ilmiah sebagai syarat untuk menjadi profesor.
Lain-lain
Permen ini juga akan merontokkan Program Studi yang banyak diisi oleh dosen NIDK yang semula hanya berbeban enam satuan kredit semester. Melalui Permen ini, yang dikenal adalah hanya Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap. Jika beban satuan kredit semester seorang dosen kurang dari 12 sks, maka dosen tersebut dikategorikan sebagai Dosen Tidak Tetap. Padahal rasio Dosen Tetap dengan jumlah mahasiswa, serta prosentase jumlah Dosen Tidak Tetap dibanding dengan Dosen Tetap menjadi salah satu kriteria dalam akreditasi. Sebelum Permen ini diberlakukan, Dosen NIDK dianggap setara dengan Dosen Tetap.
Penutup
Otonomi Perguruan Tinggi dan konsekuensi logisnya, serta kontrol Pemerintah dalam tata kelola Perguruan Tinggi sudah menjawab sebagian dari kontroversi jabatan akademik profesor. Namun, tuntutan Perguruan Tinggi sebagai penghasil kebaruan tampaknya masih jauh dari harapan.