Melalui Permen ini, kita langsung bisa mengetahui kualitas ke-profesor-an melalui pencantuman nama Perguruan Tinggi di belakang jabatan fungsional akademik si profesor. Akibatnya, profesor di satu Perguruan Tinggi ketika akan pindah menjadi dosen di Perguruan Tinggi lain, maka Perguruan Tinggi yang akan menerimanya bisa saja menurunkan level jabatan akademiknya. Demikian juga sah, jika lektor kepala di satu Perguruan Tinggi akan dihargai sebagai profesor di Perguruan Tinggi lain. Mekanisme pasar akan bekerja untuk jabatan akademik.
Otonomi berikutnya adalah pada sertifikasi dosen. Selama Perguruan Tinggi memiliki Program Studi yang relevan dengan rumpun ilmu dosen, maka sertifikasi dosen yang akan berimbas pada tunjangan sertifikasi, dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi terakreditasi. Otonomi juga mencakup pembiayaan proses sertifikasi. Biaya penyelenggaraan sertifikasi dibebankan kepada Perguruan Tinggi tempat dosen bekerja.
Pengaturan Beban Kerja Dosen juga diserahkan kepada Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (2) bahkan termasuk kategori ekstrim, karena tugas tambahan yang dibebankan oleh Perguruan Tinggi dapat berupa peran dosen sebagai tenaga kependidikan. Ekstrim.
Hubungan dosen dengan pimpinan Perguruan Tinggi akan menjadi layaknya antara buruh dengan majikan, jika Senat Akademik tidak berfungsi dengan baik. Pasal 21 ayat (3) mengatakan bahwa komposisi Beban Kerja Dosen untuk Tri Dharma dan Tugas Tambahan ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi. Bayangkan saja, jika jumlah mahasiswa di satu program studi menurun yang berakibat pada penurunan beban kerja dosen, maka tenaga dosen dapat dimanfaatkan untuk menjadi tenaga kependidikan di Program Studi lain.
Konsekuensi Logis
Peran Rumpun Ilmu menjadi penting untuk karir dosen. Padahal ilmu berkembang lebih cepat dibandingkan rumpun ilmu yang ada dalam peraturan. Perkembangan ilmu yang makin bersifat inter dan trans disiplin sulit diakomodir melalui Permen ini. Kebaruan pengetahuan, seperti yang diharapkan Bu Wamen, yang berasal dari inter disiplin ilmu menjadi sulit terwujud.
Akibat yang lain adalah profesor akan 'menumpuk' pada satu rumpun ilmu tertentu. Bagaimana mungkin ada profesor di rumpun ilmu yang relatif baru di luar Indonesia, akan terjadi di Indonesia. Karena rumpun ilmu relatif baru, maka bisa terjadi belum ada satu pun dosen yang menyandang gelar profesor di bidang tersebut. Saya tidak tahu nantinya tim promosi yang dibentuk Kementerian adalah profesor dari mana, mengingat belum adanya profesor di rumpun ilmu tersebut di Indonesia.
Konsekuensi logis yang lain dari Permen ini adalah para profesor tidak akan me-lead pengetahuan baru di rumpun ilmunya. Pada Pasal 31 disebutkan bahwa Dosen Tetap dengan penugasan penuh waktu sebagai pemimpin atau wakil pemimpin, direktur, kepala lembaga/kantor, atau dekan atau wakil dekan diakui telah memenuhi keseluruhan beban kerja. Profesor abal-abal pasti lebih memilih menjadi pejabat seperti tersebut di atas, dibandingkan mengembangkan pengetahuan baru.
Kontrol Pemerintah
Melalui Menteri terkait, pemerintah mengontrol jumlah peserta sertifikasi pendidik setiap tahunnya. Yang menarik adalah bagaimana mekanisme penentuan jumlah peserta sertifikasi di satu Perguruan Tinggi tertentu. Apakah Perguruan Tinggi F karena kinerjanya baik, maka jumlah kuota peserta sertifikasinya lebih banyak dari Perguruan Tinggi G yang kinerjanya lebih buruk?
Sampai saat ini belum ada penjelasan tentang bagaimana mengukur kinerja Perguruan Tinggi. Jumlah profesor yang tunjangannya dibiayai Negara juga ditentukan kuotanya oleh Menteri sesuai kinerja Perguruan Tinggi.