Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masa Depan Profesor dan Perguruan Tinggi Pasca 2024

29 Oktober 2024   15:27 Diperbarui: 29 Oktober 2024   16:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua peristiwa penting menjelang akhir tahun 2024 yang akan sangat berpengaruh pada khususnya penyandang gelar profesor dan juga Perguruan Tinggi pada umumnya. Pertama, pada tanggal 10 September 2024 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Peraturan Menteri No. 44 tahun 2024 tentang Profesi, Karir, dan Penghasilan Dosen.

Dari judul Permen-nya tampaknya hanya terkait dengan dosen, tetapi di dalamnya ada banyak implikasi pada bukan hanya dosen, termasuk profesor, tetapi juga Perguruan Tinggi pada umumnya. Perguruan Tinggi diberi masa transisi selama satu tahun untuk menyesuaikan diri sejak Peraturan Menteri tersebut diundangkan.

Peristiwa kedua adalah dipecahnya Kementerian tersebut menjadi tiga Kementerian yang terpisah. Perguruan Tinggi akan ada dalam kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Lalu apa dampaknya?

Wawancara awal Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Stella Christie dengan Uni Lubis menarik untuk disimak. Menurut Wamen ini, seharusnya Perguruan Tinggi bukan SMA tetapi lebih susah, tetapi seharusnya berfokus pada menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang baru. Dosen dituntut untuk terus mengeluarkan sesuatu yang baru, agar mahasiswa dapat belajar untuk bisa mengeluarkan inovasi-inovasi yang baru. Dan, tentunya yang akan me-lead dosen untuk terus mengeluarkan sesuatu yang baru adalah para profesor.

Padahal beberapa tahun terakhir jabatan fungsional akademik profesor ramai diperbincangkan dengan nada miring. Adanya pejabat publik atau pesohor yang diangkat menjadi profesor (Deddy Mulyana, Kompas 16 Juli 2024), ke-distinguished-an profesor (Christina Eviutami Mediastika, Kompas 17 April 2024) yang dipertanyakan, salah kaprah pemahaman jabatan profesor (Djwantoro Hardjito, Kompas 24 April 2024), peran joki dalam usaha memperoleh gelar profesor (Syamsul Rizal, Kompas 15 Desember 2021), peran profesor dalam komunitas akademik dan komunitas ilmu (Mangadar Situmorang, Kompas 7 Maret 2023), dan profesor abal-abal (Kompas 19 Juli 2024) adalah sebagian kecil topik minor yang menjadi bahan perbincangan.

Ada tiga hal penting terkait dengan Permen tsb. yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu tentang pemberlakuan otonomi perguruan tinggi dan konsekuensi logis, serta kontrol pemerintah dari Permen ini. Ketiga hal penting tersebut kemudian akan diperbandingkan dengan tuntutan pada profesor dan perguruan tinggi untuk menghasilkan pengetahuan yang baru.

Otonomi Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi diberikan otonomi penuh untuk beberapa hal seperti penetapan jabatan akademik dosen, termasuk penetapan jabatan akademik profesor. Konsekuensinya adalah bahwa di belakang jabatan akademik, misal profesor harus disertai dengan nama Perguruan Tinggi. Sehingga, nantinya tidak akan ada 'keseragaman' profesor. Profesor akan terbagi ke dalam kelas-kelas sesuai dengan nama besar Perguruan Tingginya.

Pasal yang mengatur tentang hal ini merupakan satu terobosan besar. Saat ini cukup banyak doktor di Perguruan Tinggi Negeri belum menjadi profesor. Padahal jumlah publikasi yang bereputasinya banyak.

Sementara mantan mahasiswa dari doktor PTN tersebut sudah menjadi profesor dengan jumlah publikasi yang terbatas, dan ditambah dengan cara legal saling menitipkan nama di publikasinya. Di jurnal A, si X menjadi penulis pertama, dan dia mencantumkan dua atau tiga rekannya sebagai penulis kedua, dst. Sementara di jurnal B, rekannya si Y menjadi penulis pertama dan mencantumkan nama X sebagai penulis kedua, dst. Selain tentu cara ilegal yang sudah dibahas beberapa kali di Kompas.

Ada lagi dosen yang kesulitan untuk memperoleh jabatan akademik profesor di perguruan tinggi C karena screening internalnya ketat, kemudian mengajukan jabatan akademik profesornya di Perguruan Tinggi D yang screening internalnya longgar.

Melalui Permen ini, kita langsung bisa mengetahui kualitas ke-profesor-an melalui pencantuman nama Perguruan Tinggi di belakang jabatan fungsional akademik si profesor. Akibatnya, profesor di satu Perguruan Tinggi ketika akan pindah menjadi dosen di Perguruan Tinggi lain, maka Perguruan Tinggi yang akan menerimanya bisa saja menurunkan level jabatan akademiknya. Demikian juga sah, jika lektor kepala di satu Perguruan Tinggi akan dihargai sebagai profesor di Perguruan Tinggi lain. Mekanisme pasar akan bekerja untuk jabatan akademik.

Otonomi berikutnya adalah pada sertifikasi dosen. Selama Perguruan Tinggi memiliki Program Studi yang relevan dengan rumpun ilmu dosen, maka sertifikasi dosen yang akan berimbas pada tunjangan sertifikasi, dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi terakreditasi. Otonomi juga mencakup pembiayaan proses sertifikasi. Biaya penyelenggaraan sertifikasi dibebankan kepada Perguruan Tinggi tempat dosen bekerja.

Pengaturan Beban Kerja Dosen juga diserahkan kepada Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (2) bahkan termasuk kategori ekstrim, karena tugas tambahan yang dibebankan oleh Perguruan Tinggi dapat berupa peran dosen sebagai tenaga kependidikan. Ekstrim.

Hubungan dosen dengan pimpinan Perguruan Tinggi akan menjadi layaknya antara buruh dengan majikan, jika Senat Akademik tidak berfungsi dengan baik. Pasal 21 ayat (3) mengatakan bahwa komposisi Beban Kerja Dosen untuk Tri Dharma dan Tugas Tambahan ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi. Bayangkan saja, jika jumlah mahasiswa di satu program studi menurun yang berakibat pada penurunan beban kerja dosen, maka tenaga dosen dapat dimanfaatkan untuk menjadi tenaga kependidikan di Program Studi lain.

Konsekuensi Logis

Peran Rumpun Ilmu menjadi penting untuk karir dosen. Padahal ilmu berkembang lebih cepat dibandingkan rumpun ilmu yang ada dalam peraturan. Perkembangan ilmu yang makin bersifat inter dan trans disiplin sulit diakomodir melalui Permen ini. Kebaruan pengetahuan, seperti yang diharapkan Bu Wamen, yang berasal dari inter disiplin ilmu menjadi sulit terwujud.

Akibat yang lain adalah profesor akan 'menumpuk' pada satu rumpun ilmu tertentu. Bagaimana mungkin ada profesor di rumpun ilmu yang relatif baru di luar Indonesia, akan terjadi di Indonesia. Karena rumpun ilmu relatif baru, maka bisa terjadi belum ada satu pun dosen yang menyandang gelar profesor di bidang tersebut. Saya tidak tahu nantinya tim promosi yang dibentuk Kementerian adalah profesor dari mana, mengingat belum adanya profesor di rumpun ilmu tersebut di Indonesia.

Konsekuensi logis yang lain dari Permen ini adalah para profesor tidak akan me-lead pengetahuan baru di rumpun ilmunya. Pada Pasal 31 disebutkan bahwa Dosen Tetap dengan penugasan penuh waktu sebagai pemimpin atau wakil pemimpin, direktur, kepala lembaga/kantor, atau dekan atau wakil dekan diakui telah memenuhi keseluruhan beban kerja. Profesor abal-abal pasti lebih memilih menjadi pejabat seperti tersebut di atas, dibandingkan mengembangkan pengetahuan baru.

Kontrol Pemerintah

Melalui Menteri terkait, pemerintah mengontrol jumlah peserta sertifikasi pendidik setiap tahunnya. Yang menarik adalah bagaimana mekanisme penentuan jumlah peserta sertifikasi di satu Perguruan Tinggi tertentu. Apakah Perguruan Tinggi F karena kinerjanya baik, maka jumlah kuota peserta sertifikasinya lebih banyak dari Perguruan Tinggi G yang kinerjanya lebih buruk?

Sampai saat ini belum ada penjelasan tentang bagaimana mengukur kinerja Perguruan Tinggi. Jumlah profesor yang tunjangannya dibiayai Negara juga ditentukan kuotanya oleh Menteri sesuai kinerja Perguruan Tinggi.

Pemerintah juga mengontrol masa jabatan Profesor Kehormatan yang hanya berlaku lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Pasal 43 Permen ini juga mengatur satuan kredit semester minimal Profesor Kehormatan yaitu sepadan dengan empat satuan kredit semester. Tidak akan ada Profesor Kehormatan yang bakal ongkang-ongkang saja dan mendapat tunjangan kehormatan. Meskipun di negeri konoha segalanya bisa terjadi. Memang tunjangan kehormatannya dibayar Perguruan Tinggi ybs.

Kewajiban Dosen NIDK untuk juga melakukan Tri Dharma saja diakali dengan mencantumkan namanya di laporan penelitian atau pengabdian masyarakat yang dilakukan Dosen Tetap NIDN. Atau bahkan yang lebih kriminal lagi adalah bisa dengan memalsukan presensi kuliah dan tanda tangani, yang mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia.

Saat kum untuk Pengabdian kepada Masyarakat diperketat, dengan membagi sks dengan jumlah dosen yang berpartisipasi dalam pengabdian tersebut, di negeri konoha laporannya kemudian dipecah-pecah dan satu dosen akan menjadi pembicara di laporan dosen lain yang pada kenyataannya masih satu tim pengabdian. Mudah-mudahan cara-cara yang tidak etis ini tidak terjadi dengan Profesor Kehormatan di Indonesia.

Kontrol jumlah peserta sertifikasi dosen dan juga jumlah profesor yang tunjangan kehormatannya ditanggung pemerintah melalui APBN penting. Karena jumlah dosen tersertifikasi dan jumlah profesor, termasuk tunjangannya, bisa membengkak dan bisa menambah defisit APBN. Pasal 57 Permen ini menyatakan bahwa apabila jumlah profesor pada Perguruan Tinggi lebih tinggi dari jumlah yang ditetapkan oleh Kementerian, maka tunjangan kehormatannya dibayarkan oleh Perguruan Tinggi.

Kontrol Pemerintah yang lain adalah pada proses promosi dosen ke jabatan akademik profesor. Hanya Perguruan Tinggi yang memiliki profesor pada rumpun bidang ilmu dosen calon profesor, yang bisa melakukan promosi dosen menjadi profesor. Kontrolnya adalah pada jumlah anggota tim promosi, minimal tiga profesor dari Perguruan Tinggi lain.

Jika Perguruan Tinggi tidak memiliki profesor serumpun ilmu dengan dosen yang akan dipromosikan, maka tim promosi bisa dari Perguruan Tinggi lain atau yang dibentuk oleh Kementerian.

Kontrol yang baik dari Pemerintah juga ada pada Pasal 33 ayat (5) Permen ini. Pemerintah masih mengontrol kriteria publikasi ilmiah sebagai syarat untuk menjadi profesor.

Lain-lain

Permen ini juga akan merontokkan Program Studi yang banyak diisi oleh dosen NIDK yang semula hanya berbeban enam satuan kredit semester. Melalui Permen ini, yang dikenal adalah hanya Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap. Jika beban satuan kredit semester seorang dosen kurang dari 12 sks, maka dosen tersebut dikategorikan sebagai Dosen Tidak Tetap. Padahal rasio Dosen Tetap dengan jumlah mahasiswa, serta prosentase jumlah Dosen Tidak Tetap dibanding dengan Dosen Tetap menjadi salah satu kriteria dalam akreditasi. Sebelum Permen ini diberlakukan, Dosen NIDK dianggap setara dengan Dosen Tetap.

Penutup

Otonomi Perguruan Tinggi dan konsekuensi logisnya, serta kontrol Pemerintah dalam tata kelola Perguruan Tinggi sudah menjawab sebagian dari kontroversi jabatan akademik profesor. Namun, tuntutan Perguruan Tinggi sebagai penghasil kebaruan tampaknya masih jauh dari harapan.

Mudah-mudahan Kementerian yang baru dibentuk yang dipimpin oleh Menteri dan Wakil Menterinya yang semua bergelar profesor dapat menyempurnakan Permen ini, sehingga harapan outcome kebaruan pengetahuan dapat dicapai oleh perbaikan Permen ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun