Mohon tunggu...
Dwi Pakpahan
Dwi Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan

WNI

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secuil Kisah di Malam Hari

3 Januari 2021   17:00 Diperbarui: 8 Januari 2021   20:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini aku melihat seorang gadis kecil duduk sendirian  di depan bangku halte dengan memandang ke depan. Rambutnya panjang. Dia termasuk anak pemberani, malam-malam duduk sendirian. Mungkin, dia seorang pengemis, atau memang tinggal di sekitar rumah-rumah yang ada di belakang halte tersebut. Pikiranku menebak-nebak.

Hari ini aku pulang lembur, pekerjaan yang menumpuk membuat aku harus lebih lama di kantor. Dengan langkah tergesa-gesa aku melewati gadis kecil itu. Tak kupedulikan kehadirannya. Aku tidak sabar ingin beristrirahat di rumah kontrakanku. Aku melewati gadis kecil itu, mungkin usianya sama seperti usia adik perempuanku yang tinggal di kampung sekitar sepuluh tahun. Tak ada niatku untuk berhenti, menyapa gadis kecil itu.

Malam ini untuk ketiga kalinya aku melihat gadis kecil itu, tetap duduk di bangku halte. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku lembur lagi. Terlintas di benakku untuk menyapanya. Ada sedikit rasa penasaran tentang gadis kecil itu tapi aku mencoba menghalaunya. Rasa lelah lebih menguasai badanku dan aku harus segera beristrirahat. Lagian aku merasa itu bukan urusanku. Aku melewati gadis kecil itu lagi tanpa menoleh.

Sudah seminggu lebih, aku lembur. Lagi-lagi aku melihat gadis kecil itu duduk di bangku halte sendirian di jam yang sama tanpa ada ketakutan. Apakah dia seorang anak gelandangan yang bekerja sebagai pencopet? Aku mulai sedikit ketakutan. Tapi melihat tubuh kurusnya dan posturku sebagai lelaki dewasa, mengapa aku takut sama gadis kecil? Gumamku perlahan untuk menyadarkan diriku.

Aku sudah berjalan melewatinya, dengan sekilas aku menatap wajah tirusnya. Perlahan rasa kasihan timbul di hatiku. Aku teringat dengan Yura, adikku yang ada di kampung. Apa yang dilakukan gadis sekecil ini? Sudah seminggu lebih, dia duduk di bangku halte sendirian. Penasaran aku mendekati gadis kecil itu.

“Dek, adek,” kataku pelan.

Gadis kecil itu menatapku lama dengan kedua alis matanya terangkat seperti tampak terkejut dan bingung tapi tidak ada sedikitpun raut ketakutan di wajahnya.

“Mengapa kamu malam-malam ada di sini?” tanyaku lagi.

“Saya menunggu ibu saya bekerja bang,” dengan ragu dia menjawab.

“Di mana ibu kamu bekerja?” tertarik dengan jawabannya, aku lanjut bertanya.

“Di sana.” Gadis itu menunjuk dengan telunjuk kanannya pada seorang perempuan yang sedang berdiri di seberang jalan.

Aku mengikuti arah yang ditunjuk gadis itu. Terlihat seorang perempuan dengan rambut sebahu sedang berdiri melihat kami berdua. Perempuan itu memakai rok mini di atas lutut. Bekerja di mana perempuan itu dengan pakaian seminim itu? Pikirku.

“Ibu saya bekerja malam bang, itu tadi baru di antar mobil. Saya selalu menunggu di halte ini. Kami tinggal di belakang halte,” gadis kecil itu menjelaskan secara rinci.

“Yura, ayo pulang. Ibu sudah bilang tidak usah menunggu ibu,” tiba-tiba perempuan berambut sebahu itu sudah berdiri di samping gadis kecil itu dan menarik tangannya. Aku melihat dandanannya begitu menor, dia memakai lipstik berwarna merah menyala.  Yura? Nama yang sama dengan nama adikku. Keningku berkerut. Tak ada perlawanan dari gadis kecil yang bernama Yura itu.

Aku mencoba memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Kulihat dengan sedikit memaksa, perempuan yang mengaku ibunya itu berjalan bergandengan bersama gadis kecil, Yura. Mereka meninggalkan aku yang bengong dan terpana.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun