Sebuah mobil muncul dari tikungan. Lelaki itu yang bertahun tahun menyemai biji cinta dalam hatinya, hingga berbunga, berbuah, luruh, dan berbunga, berbuah lagi. Cinta telah memenjarakan dirinya pada situasi yang sesungguhnya dia sendiri tak menyukainya lagi. Sungguh. Seandainya dia bisa memberi pilihan. Seandainya pula dia tidak menjebak dirinya sendiri dan membiarkannya hanyut bersama mimpi mimpi semu, yang sesungguhnya dia sadar dan mengerti, eforia jatuh cinta sesaat, yang memabukkan, benar benar sebuah kegilaan, yang akhirnya disesalinya.
Ah, sebentar lagi lelaki itu, Rajendra, sebentar lagi akan muncul dihadapannya. Dengan senyumnya yang mengembang, tatapan mata yang tetap sama setiap mereka bertemu, selalu memabukkan, mengikatnya dan membuatnya tunduk hanya dengan sekali kedipan. Oh..
“Sayang.. maaf ya.. pasti sayang capek menunggu ya.. muachh” lelaki itu mencium pipinya. Harini diam, cemberut setengah mati.
“Aduh sayang.. maafffff” Rajendra mencakupkan kedua tangannya di depan dada seolah menyembah mohon ampun dengan jenaka. Suasana penginapan sepi, hanya sesekali beberapa pegawai melintas diantara rumah rumah kecil yang disediakan untuk tamu yang bermalam.
“Ayo kita masuk, nanti kujelaskan kenapa aku terlambat” Rajendra menarik tangannya sedikit memaksa ke sebuah rumah kecil yang sudah dipesan via telepon.
“Nah.. duduklah dulu disini dan diam saja, biar kuambilkan sesuatu” Rajendra mendudukkannya di sofa dan menuju kulkas, mengambil sebotol minuman dingin, menyerahkan pada Harini yang masih diam dan cemberut. Rajendra duduk di depannya. Diam. Ia tahu betul kebiasaan perempuan yang sudah menemani bertahun tahun ini. Jika dia diam, maka Harini akan mulai mngeluarkan suara, pelan, sedikit, lalu lama lama berkobar seperti api dan kemudian padam dengan sendirinya.
“Aku capek menunggu”suara lirih akhirnya keluar dari mulut Harini, dimainkannya botol minuman ditangannya setelah sedikit diteguknya. Nah, benar kan ?
Melihat lelaki di depannya tidak menanggapi dan hanya diam, Harini melanjutkan “Kenapa aku harus selalu menunggu?” nada suaranya mulai tinggi “Pasti karena dia kan ? Karena istrimu lagi kan ? Kau selalu mengutamakan dia, dan aku? Selalu hanya menjadi cadangan setelah kau jenuh.” Kata katanya mulai menyembur seperti api yang menyambar bensin. Aduh.
Rajendra meraih tangan perempuan di depannya, “ Sayang.. aku minta maaf .. benar benar minta maaf.” Dan kelanjutannya , Harini tahu dengan pasti. Dugaannya pasti benar, sehingga Rajendra menatapnya dengan mata bersalah. Tak mungkin bicara dengan istrinya. Masa lalu , sekarang bahkan masa depannya ada di tangan istrinya. Dan Harini hanya seseorang yang menghibur kejenuhannya.
“Ah..” Harini membebaskan tangannya. Seperti hatinya yang perih, begitu keyakinannya lebam, pecah berkeping keping. Selalu saja dia merelakan hatinya untuk tertusuk duri, rasa cemburu, rasa iri, rasa diabaikan dan tak berharga.
Benar kata sahabatnya, ‘kuatkan hatimu, dan tegaslah, beri dia pilihan, jika tidak hidupmu akan terus dibawah bayang bayang perempuan lain’