Lalu apakah kita tidak mengakui suatu nilai yang dianut pada masyarakat?
Nilai sifatnya bergerak dinamis, nilai yang baik masa lalu belum tentu menjadi nilai yang baik pada era sekarang. Apa yang membedakan?
Yang membuat nilai ini berbeda ialah, karena terjadi kemajuan jaman yang membuat kita lebih mudah menemukan informasi-informasi tertentu yang kita butuhkan yang pada jaman dulu belum ada.Â
Contoh simplenya saja, laki-laki boleh mempunyai beberapa istri, karena anak yang dilahirkan oleh para istri tersebut bisa dipastikan berasal dari ayah yang sama.Â
Sedangkan seorang istri yang memiliki beberapa suami, akan kesulitan menentukan ayahnya. Sehingga pernikahan antara satu suami dengan banyak wanita diperbolehkan, daripada pernikahan satu wanita dengan banyak suami.Tapi apabila dibandingkan dengan jaman sekarang apakah masih nyambung?Â
Bukankah sekarang ada teknologi bernama tes DNA? Makanya pembagian waris tanpa pernikahan bisa diajukan dengan bukti tes DNA. Karena seorang anak bisa diketahui siapa ayah ibunya, walau ditukar-tukar.
Nah oleh sebab itu mempertahankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat, tanpa mengolahnya apakah itu masih relevan pada masa kini adalah hal yang salah. Karena jaman berubah, teknologi berubah, data semakin lengkap, segala tindakan bisa diselidiki dengan science.Â
Bahkan dalam acara pidana dikenal pembuktian negatif secara Undang-Undang, pembuktian ini mewajibkan hakim menjatuhkan putusan berdasarkan dua alat bukti dan keyakinan hakim. Walaupun judulnya hanya "keyakinan", namun keyakinan ini berdasarkan rasionalitas, jadi tidak asal baper aja. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, keyakinan hakim terbagi menjadi tiga tingkatan:
- Keyakinan hakim yang pertama, yaitu keyakinan telah terjadinya tindak pidana yang terlah didakwaan.
- Keyakinan yang kedua, yaitu keyakinan terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut.
- Keyakinan yang ketiga, yaitu keyakinan terdakwa bersalah dalam hal tindak pidana.
Keyakinan hakim masing-masing keyakinan hakim ini juga diperoleh dari fakta. Keyakinan yang pertama, yaitu keyakinan telah terjadinya tindak pidana didapatkan berdasar dua alat bukti yang sah. Sehingga keyakinan hakim yang pertama ini adalah keyakinan hakim yang bersifat objektif berupa fakta-fakta yang telah diajukan di pengadilan.Â
Selanjutnya keyakinan hakim yang kedua, yaitu keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Keyakinan hakim semacam ini tetaplah bersifat keyakinan yang dibentuk berdasarkan fakta objektif, namun perbedaannya keyakinan hakim yang kedua ini disubjektifkan atau dihubungkan dengan personalnya (pelaku). Sementara keyakinan hakim yang ketiga ialah keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.Â
Keyakinan hakim yang ketiga ini dibentuk melalui dua unsur sifat sekaligus yaitu sifat objektif dan sifat subjektif. Keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah yang berhubungan dengan sifat objektif adalah keyakinan bahwa terdakwa tidak memiliki alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Sementara keyakinan tentang hal yang subjektif adalah bahwa tidak adanya alasan pemaaf (fait d'execuse) yaitu tentang fakta yang menyangkut keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa ketika melakukan tindak pidana tersebut.