Ya setidaknya itulah yang kira-kira terjadi sebelum RKUHP diwacana untuk sah yang akhirnya memicu keributan sana sini mengadopsi "pasal tindak pidana living law atau nilai yang hidup" dan memasukan ranah privat menjadi hukum publik yang diurusi negara.
RKUHP akhirnya dituduh sebagai himpunan hukum pasal karet karena tidak memberikan kepastian hukum. Ricuh sana-sini karena takut dipenjara karena penjaringan salah satu pasal "living law" yang kebablasan luasnya.Â
Memang mayoritas masyarakat itu berteriak karena takut masuk penjara karena suatu nilai dalam masyarakat adat atau agama yang tidak mereka pahami. Tapi sayangnya orang belajar hukum yang agak sombong dan merasa sok pintar karena ada dari mereka yang sebagian mendukung RKUHP dengan tameng mereka sudah belajar hukum  "RKUHP itu sudah disusun baik oleh para ahli hukum. Mana mungkin ahli hukum menjerumuskan kita semua?"
Iya benar memang dianut oleh ahli. Namun ahli empirik-indrawi yang memiliki pemikiran condong ke aspek sosiologis, bukan normatif-rasional yang berdasarkan logika hak kewajiban harus dilakukan. Sehingga saya bisa bilang, orang sosiolegal yang bertumpu pada empirik-indrawi lah yang membuat RKUHP ini.Â
Sementara orang normatif? Apa ada yang ditanyai pendapatnya? Menurut hemat saya, kalo Prof Moelyatno dan Prof Soedarto (Ahli Hukum Pidana) masih hidup saya yakin pasti akan menangis tersedu-sedu melihat pasal-pasal lucu dalam RKUHP kita.
Lalu apakah tuduhan bahwa normatif-rasional itu benar bahwa hukum yang terpaku pada metode normatif-rasional itu menerabas keadilan?
Ada yang salah dari masyarakat kita, menganggap bahwa hukum harus disesuaikan dengan mood masyarakat atau kondisi lapangan masyarakat. Tapi keadaan empirik masyarakat yang bisa dirasakan dengan indrawi tidak pernah membuktikan causa atau sebab langsung. Sebagai contoh begini, ketika pilpres kemarin masyarakat bergejolak menuduh Jokowi-Maruf curang.Â
Sebagian masyarakat kita melakukan serangan ke Bawaslu. Kericuhan memang terjadi, tapi tidak bisa dibuktikan bahwa dengan ada kericuhan itu maka Jokowi-Maruf curang. Maka haruslah dibuktikan kecurangan tersebut, dengan data-data yang terverifikasi.
Nah begitu juga dengan logika yang sama, ketika masyarakat adat atau agama tertentu menganggap suatu tindakan itu salah.Â
Maka harus juga dibuktikan dengan data yang berdasarkan fakta, sains, yang terverifikasi bahwa tindakan itu memang hal itu salah atau jangan-jangan aturan itu hanya sebuah skeptis turun temurun yang membentuk nilai semu yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi.Â
Jadi ketika mayoritas menganggap suatu hal salah, belum tentu hal itu salah berdasarkan. Apalagi ini hanya sebagian saja masyarakat. Dan mungkin akan memicu baku hantam antar masyarakat karena terjadi perbedaan pandangan terhadap suatu nilai.