Mohon tunggu...
Widya Apsari
Widya Apsari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

menulis hanya jika mood

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Refleksi 13 Tahun Saya sebagai Dokter Gigi (Part 2)

14 Oktober 2022   23:42 Diperbarui: 15 Maret 2024   06:33 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

September 2016 saya memulai pekerjaan sebagai dokter gigi spesialis penyakit mulut di Rumah Sakit Kanker, karena kebanggan saya sebagai dokter gigi spesialis penyakit mulut sudah sirna, jadi ya rasanya biasa-biasa aja memulai pekerjaan di RS. Apa lagi harapan jadi "kaya", sudah saya kubur. Yang penting buat saya saat itu ya kerja aja.

Sebagai anak junior yang nurut dan baik hati, saya sangat patuh pada senior dan atasan, ketua SMF sebutannya.

Selama saya belum memiliki SIP (surat ijin praktek) dokter gigi, pekerjaan saya di RS ya, datang setiap hari, absen jam 7.30, lalu duduk di poli, mengamati senior saya bekerja, 

Setelah itu turut membantu mencatat rekam medis pasien, mengimput tindakan gigi ke sistem billing RS, kemudian jam 4 sore absen pulang. 

Selama 2 atau 3 bulan pekerjaan saya hanya itu, sesekali saya diminta senior saya untuk membantu mengerjakan tindakan gigi pada pasien. Setelah saya memiliki SIP barulah saya memiliki kewengan full untuk melakukan tindakan gigi pada pasien. 

Satu hal yang saya rasakan pada saat diawal-awal bekerja di RS adalah "oh kerjaannya "CUMA" eliminasi sumber infeksi di gigi, ah ini si dokter gigi umum juga bisa ya, udah spesialis penyakit mulut masih harus ni kerjain beginian".

Saya pun mengalami apa yang teman-teman SpPM pada umumnya pikirkan ketika mengetahui saya masih mencabut, skeling, dan menambal gigi. 

---------

Baca: Refleksi 13 Tahun Saya Sebagai Dokter Gigi (Part 1)

Sebagai informasi, beberapa terapi kanker seperti sinar/ radiasi area kepala dan leher, dan beberapa kemoterapi tertentu membutuhkan perawatan pada gigi dan mulut sebagai perawatan pendahuluan sebelum menerima terapi kankernya.

Untuk membuang sumber infeksinya pada gigi dan mulut, seperti karang gigi dengan tindakan pembersihan karang gigi, dan gigi berlubang dengan penambalan gigi atau dengan pencabutan. 

Tindakan gigi ini dimaksudkan untuk kelancaran terapi kanker dan meminimalisir komplikasi terapi kanker yang timbul pada rongga mulut, seperti contoh paling umum adalah adanya sariawan, gigi rusak yang disebabkan sinar radiasi, dan masih banyak komplikasi lainnya. 

---------

Evaluasi kondisi gigi dan menilai kesiapan rongga mulut pasien untuk menerima terapi kanker bukan hal yang baru bagi saya, selama masa pendidikan spesialis saya sudah melakukan ini, dan menjadi makanan sehari-hari selama menempuh pendidikan spesialis.

 Namun terdapat perbedaan, dimana pada saat pendidikan, saya tidak melakukan tindakan gigi seperti pencabutan gigi, penambalan dan juga pembersihan karang gigi sendiri, ada dokter gigi spesialis lain yang melakukan tindakan tersebut. 

Jadi saya sebagai residen penyakit mulut (sebutan untuk mahasiswa program spesialis) sebatas memeriksa, mengevaluasi, dan memberikan rencana perawatan gigi, yang kemudian eksekusinya oleh dokter gigi lain, sesuai dengan spesialisasinya.

pembersihan karang gigi oleh dokter gigi spesialis periodontia (Sp.Perio), penambalan gigi oleh dokter gigi spesialis konservasi (Sp.KG), pencabutan gigi oleh dokter gigi spesialis bedah mulut (Sp.BM), dan jika pasiennya anak-anak akan ditangani oleh dokter gigi spesialis gigi anak (SpKGA). 

Nah sekarang di RS tempat saya bekerja ini saya dituntut untuk selain mengevaluasi, membuat rencana perawatan, dan eksekusi tindakan giginya juga harus saya lakukan sendiri. 

Karena sejak saya lulus dokter gigi sampai 2016 ini saya memang tidak pernah off untuk melakukan tindakan gigi tersebut jadi bukan hal yang sulit, menurut saya saat itu...

Enam bulan pertama bekerja, saya merasa pekerjaan saya ini adalah pekerjaan yang mudah. Dan seperti kebanyakan dokter gigi spesialis penyakit mulut pada umumnya, saya pun ada fase merasa, "Ah udah spesialis penyakit mulut, masa masih harus kerjain kerjaan dokter gigi umum gini"

Tapi ya namanya pekerjaan, semua pekerjaan yang diberikan saya berusaha lakukan aja lah ya...namanya juga kerja..

Sampai dititik memasukin 1 tahun bekerja, ada pengalaman dengan pasien yang membuat saya sedih luar biasa.

---------

Saya mendapat konsul ke ruang bangsal anak, dimana pasiennya adalah pasien anak-anak dengan leukemia, dikonsulnya tertulis keluhan pasien adalah giginya goyang. Anak perempuan manis, seingat saya berusia 9 atau 1o tahun.

Sesampainya di ruangan pasien dan memperkenalkan diri bahwa sebagai dokter gigi, tiba-tiba pasien ini menarik tangan saya dan menggenggam tangan saya.

Ia lalu memberikan gigi di atas telapak tangan saya dan berkata "dokter tolongin aku, gigi aku goyang, kemarin goyang dan udah ada yang lepas, tolong jangan biarin gigi aku yang lain lepas jugaaa" sambil sesengkukan menangis

Jujur saya sangat tidak siap menghadapi situasi seperti ini, saya kaku, baik badan maupun mulut saya. saya tidak tahu kata-kata apa dan gertur tubuh apa yang harus saya lakukan di depan pasien ini. 

yang saya ingat, saya hanya mengatakan "tenang aja ya, kita akan bikin gigi kamu kuat lagi" tapi sejujurnya saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. 

Sejak pertemuan dengan pasien ini, sedikit-demi sedikit saya merasa pekerjaan yang saya lakukan di RS bukan pekerjaan "cuma", ini bukan pekerjaan sepele.

---------

Saya menagis sesampai di rumah, saya sangat tidak menyangka kejadian di ruang bangsal ini membuat membuat saya merasa sangat sedih, saya sulit tidur, terbayang wajah pasien tersebut, dengan tangisannya. 

Jujur saya merasa betul-betul tidak menyangka, saya sebagai dokter gigi, yang dibayangan saya dulu pasiennya adalah pasien sehat yang memiliki masalah gigi, saat ini saya menghadapi pasien dengan kondisi penyakit serius, tentang hidup dan matinya, dan saya berada ditengah situasi tersebut. 

Terlebih lagi beberapa hari sejak kejadian itu, pasien tersebut meninggal dunia.

Ini kali pertama saya merasa saya gagal. Dan ini adalah fase pertama saya mengalami depresi dalam pekerjaan saya sebagai dokter gigi di RS. 

---------

Saya tahu ada yang salah dengan saya sejak saat itu, saya sering merasa murung, sedih, tertekan, dan rasa lelah yang luar biasa ketika sampai rumah, sesampainya rumah yang saya bisa lakukan hanyalah tidur. tapi saya belum tau apa yang sebernarnya terjadi pada saya. 

---------

Sampai suatu hari di tahun 2017, waktu itu ada penerimaan pegawai tetap RS, tentu saya sebagai tenaga kontrak dan sudah bekerja selama 1 tahun mengikuti penerimaan ini. 

Dalam proses seleksi ini ada sesi wawancara dengan psikolog, saya yang sedang labil ini berjalan memasuki ruang wawancara psikolog. Psikoloognya adalah bapak-bapak, kira-kira berumur 50-60 tahun, tampak angkuh dan sombong. 

Mungkin psikolog tersebut melihat gelagat aneh dari saya, beliau mulai bertanya-tanya mengenai keseharian saya di RS, sampai bertanya mengenai masa kecil saya. Saya tidak terlalu ingat, tapi ada pertanyaan dari bapak psikolog yang membuat saya tersulut, saya menangis. 

Perasaan saya mulai gak karu-karuan, saya menangis. Dan bapak psikolog itu kemudian memberikan kartu nama, sambil berkata "biasanya saya tidak pernah kasih tempat praktek saya dan kontak saya saat wawancara untuk kepentingan rekuitmen pegawai, tapi khusus untuk kamu ini kartu nama saya dan ini no saya, setelah ini kamu hubungi saya dan kamu butuh konsul lebih lanjut"

Kemudian saya disuruh keluar ruangan dengan kondisi saya masih menangis. 

Baca: Refleksi 13 Tahun Saya sebagai Dokter Gigi (Part 3A)

Kebetulan saya memiliki teman kerja, teman dekat saya dan kami satu ruangan, dia adalah seorang psikiater. Saya bercerita mengenai kejadian yang saya alami bersama psikolog ini dan saat ini saya sangat merasa semakin lelah dalam bekerja. 

Saya sangat mengingat dengan jelas, teman saya ini mengatakan "itu ibarat kamu lemari, yang sebelumnya kamu numpukin masalah kamu dengan rapi di dalam lemari, tapi dia datang lalu mengobrak-abrik kamu lalu dia tinggalin lemari yang berantakan begitu saja, tidak ditata lagi, makanya kamu ngerasa kacau gini, udah minum obat dulu aja, harusnya dia gak melakukan itu sama kamu si"

Lalu saya pun minum antidepresan untuk pertama kalinya dalam hidup saya. 

---------

Obat andepresan ini jujur membuat saya kembali waras dalam menjalani pekerjaan saya, total 2 atau 3 bulan saya rutin konsumsi antidepresan ini. Saya sudah siap menghadapi pekerjaan ini, pikir saya.

---------

Peristiwa dengan pasien anak tersebut berlahan mulai saya lupakan, namun itu menjadikan tekat untuk saya terus belajar mengenai kondisi kanker ini, memahami apa fungsi saya sebagai dokter gigi dalam pasien kanker.

---------

Saya jujur bukan orang yang mudah memahami sesuatu, 3 tahun lamanya saya mengobservasi pasien, menakar setiap keputusan saya dalam tindakan gigi pasien dan bagaimana efeknya selama terapi kanker dan setelahnya. 

Karena pasien saya terbanyak adalah kasus dengan kanker nasofaring (KNF) dengan terapi kanker berupa radiasi atau sinar arena kepala leher, saya mulai mengamati kondisi rongga mulut pasien sebelum, selama dan setelah terapi kanker.

Saya memberhatikan kondisi sariawan yang timbul, keparahannya, letak sariawannya, dan saya hubungkan dengan keputusan tindakan gigi yang saya sebelumnya lakukan. 

Mayoritas pasien yang menolak dilakukan pencabutan pada gigi bungsu atas akan mengalami sariawan berat pada dinding pipi yang berhadapan dengan gigi bungsu, dan hampir semua gigi bungsu yang sebelumnya tidak mau dicabut oleh pasien akan mengalami karies radiasi, atau kerusakan gigi yang disebabkan oleh sinar radiasi.

Dalam 1 tahun pasca radiasi biasanya sudah terjadi kerusakan sampai saraf gigi, dan pasien akan bolak-balik ke poli gigi untuk dilakukan penambalan yang mana tambalannya hanya berumur beberapan bulan, dan berakhir dengan menjadi sisa akar, disertai dengan kerusakan gigi lain yang letaknya berdektan dengan gigi bungsu tersebut.

Kemudian saya memperhatikan perawatan endodontik atau perawatan akar gigi yang dilakukan pada pasien pasca radiasi, yang mana perawatan akar ini mau tidak mau harus dilakukan karena kerusakan gigi pasca radiasi area kepala leher.

Karena pencabutan gigi merupakan tidakan gigi yang tidak boleh dilakukan pasca radiasi jadi tindakan gigi untuk mempertahankan gigi gimana pun caranya adalah opsi yang harus dipilih setelah terjadi kerusakan gigi yang mencapai saraf gigi pada pasien pasca radiasi kepala leher. 

Pencabutan gigi kurang dari 2 tahun pasca radasi kepala leher akan berpotesni menyebabkan osteoradionekrosis atau kematian tulang akibar sinar radiasi.

Pada saat itu saya melihat, perawatan akar ini pekerjaan buang waktu dan tenaga, karena dalam kurang dari 1 tahun setelah gigi itu dilakukan perawatan akar, 90% akan patah dan berakhir dengan pencabutan pasca 2 tahun setelah radiasi. 

Saya merasa melakukan penambalan gigi pada pasien pasca radiasi adalah ibarat mengisi air pada ember yang bocor. Setelah 2 tahun, setelah efek tulang rahang akibat radiasinya hilang, gigi tersebut akan berakhir dengan pencabutan juga.

------------Seharusnya memang harus berpikir untuk mencegah kerusakan gigi ini terjadi----------

Sejak saya bekerja di RS, sudah melakukan perawatan fluoridasi gigi, tapi kenapa gigi pasien semuanya tetap rusak? Itu adalah pertanyaan saya ketika itu. 

Yang akhirnya di 2018 akhir saya baru dapat jawabannya, yaitu waktu pemberian fluoridasi yang selama ini tidak tepat. Selama ini kami dokter gigi di RS memberikan fluoridasi pada gigi setelah pasien menerima radiasi, harusnya itu dilakukan sebelum radiasi mulai. 

Saya pun menjadi lebih "keras" dalam nenentukan gigi mana yang harus saya cabut. Saya tidak mau kompromi dengan keinginan pasien, karena saya yakin keputusan saya mengenai tidakan gigi ini adalah yang terbaik untuk pasien.

---------

Lagi-lagi karena saya adalah dokter gigi yang mengurusi kondisi gigi mulut pasien kanker dari awal sebelum pasien mendapat terapi kanker, kemudian saya juga yang akan dikonsulkan ketika pasien tersebut mengalami komplikasi pada rongga mulutnya, saya semakin hari terus belajar, oh kalo aku begini jadi begitu, kok jadi gini si, apa ya sebabnya..

Baca: Refleksi 13 Tahun Saya Sebagai Dokter Gigi (Part 3b-tamat)

saya mencoba belajar membaca hasil pemeriksaan darah pasien, menghubungkan ke kondisi mulutnya, kemudian saya menganalisis penyembuhan luka pasca pencabutan terhadap terapi kemoterapi, kapan baiknya pasien dilakukan pencabutan jika masih dalam terapi kemo, bagaimana teknik mencabut gigi agar tidak beresiko menyebabkan kematian pada tulang disekitar gigi yang dicabut, dan lain-lain.

Saya bahkan pernah ditegur oleh dokter hematologi onkologi gara-gara saya tidak bisa menentukan batas aman trombosit untuk pencabutan gigi pada pasien leukemia. "Mba yang mau cabut gigi kok, masa saya yang harus nentuin batas trombositnya, tapi klo mba minta 100rb trombositnya, jelas itu ga mungkin ya" -----rasanya "deg"--------- 

Selama masa pendidikan saya kurang terpapar pengetahuan sistemik yang berhubungan dengan perawatan gigi, saya hidup dengan doktrin, SpPM itu ya ngurusin mucosa doang, kita ini "dokter penyakit dalamnya dokter gigi.. "

Dari situ mulai saya mencari jurnal bagaimana pertimbangan sistemik dalam tindakan gigi pada pasien leukemia. Dan saya mencari tahu berbagai hal tentang managemen dental pada pasien kanker. 

---------

Saya baru menyadari apa arti keberadaan saya di RS Kanker ini setelah 3 tahun, 2016 sampai 2019. yap, selama itu, karena berbagai hal dan kondisi kerja yang tidak bisa saya ceritakan disini, dan juga lingkungan sesama SpPM yang pada tahun itu saya merasa pekerjaan saya ini tidak mendapat dukungan.

Saya bahkan pernah di chat via wharsapp oleh senior saya sekolah bahwa saya menyalahi aturan karena saya SpPM namun saya mengerjakan tindakan gigi.

Padahal kan saya dokter gigi dengan kompetensi saya sebagai dokter gigi, masa nambal cabut skeling dibilang menyalahi aturan, pikir saya pada saat itu. yang membuat saya menjadi cenderung tertutup dalam membahas pekerjaan saya, karena saya takut dihakimi. 

---------

Buat saya yang berada di dalam RS ini saya merasa pekerjaan saya yang dulu saya anggap tindakan gigi yang "cuma" ini terasa semakin sulit dan berat.

Terlalu banyak hal yang harus saya pikirkan sebelum membuat keputusan, karena salah-salah, saya juga yang harus membereskan masalah di gigi mulutnya, dan itu menakutkan buat saya.

Saya berusaha bekerja seteliti mungkin diawal sebelum pasien menerima terapi kanker, agar pasien tidak mengalami komplikasi di rongga mulutnya.

---------

2018 berlalu, dan atasan saya tiba-tiba keluar dari RS, saya ditinggal ber2 dengan dokter gigi umum yang hampir seumuran ibu saya, yang sedang menunggu datangnya masa purna bakti, yang berarti semua tumpuan pasien ke saya. 

---------

Saya berusaha kuat. walaupun sejujurnya saya sering bingung dan bimbang. 

Sampai pada satu kejadian di Juni 2022 adalah kejadian depresi saya yang ke-2. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun