Mohon tunggu...
Widuri Melati
Widuri Melati Mohon Tunggu... Penulis - BMI

Widuri Melati Penulis Cerpen Perawat Lansia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rumit

9 Mei 2019   18:49 Diperbarui: 9 Mei 2019   19:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang hari aku diam, mengurung diri di dalam kamar. Tidak banyak yang kupikirkan selain dia. Seseorang yang sudah begitu hebat mengacak-acak kehidupanku. Jika menangis sanggup mengurangi rasa rindu, aku ingin menangis sepuasnya agar dada ini sedikit tenang. Namun apa yang bisa diberhentikan saat seseorang tidak sanggup aku sentuh secara utuh. 

Di luar kamar, di balik jendela yang terbuka, angin meniup hordeng pelan. Sepertinya mendung turut serta menaungi kegelisahan yang sedang kurasakan sendiri. Memang semua salahku, terlalu mudah memberikan harapan. Setelahnya dia berlalu tanpa perasaan. Yang bodoh aku apa dia yang terlalu tak memiliki perasaan. Aku diam kembali, meremas bantal guling yang ku dekap kuat. 

Kini hujan pun datang, rintik-rintik membawa sekawanan gemuruh yang menggerutu dadaku. Kutarik napas ini dalam-dalam, berusaha bangun dari ketidak berdayaan dan mengikat rambut pelan. 

"Rum, Arum!" panggil ibu dari luar.

Aku hanya berdua dengan ibu, semenjak bapak meninggal kita hanya hidup berdua. Tidak ingin menambah jumlah anggota keluarga? Ibu bilang cukup aku saja yang menikah, ibu lebih senang hidup sendiri. Tapi, aku ingin menikah dengan siapa? Kekasih pun aku tak punya. 

"Rum, kamu di kamar terus sakit apa?" teriak ibu lagi. 

"Nggak, Bu!" sahut ku seraya membuka pintu. 

"Kenapa anak ibu?" ibu menarik pipiku pelan.

Aku hanya menggeleng kepala, tidak ingin bercerita apapun. Iya, siapa memang yang berani bercerita pada orang tuanya kalau dia sedang dilanda jatuh cinta; dengan laki-laki yang datang dan pergi tanpa permisi.

"Bu, setia boleh nggak?" tanyaku spontan.

Ibu mengernyitkan keningnya, memandang wajahku dalam, dan menarik pergelangan tanganku. 

"Anak ibu lagi jatuh cinta toh!" ledek ibuku.

"Bu! Boleh nggak?" aku kembali bertanya. 

"Memang hubungan itu ya harus setia, Nak. Makanya ibu nggak mau menikah lagi, dasar utamanya karena setia." 

"Tapi, kalau dia tidak pasti?" aku bertanya lagi. 

"Lepas!" ibu menjawab singkat. 

Aku melirik jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul 17:00 WIB. Biasanya jam segini dia menghubungi aku. Sayang, mulut laki-laki memang persis kapas yang tercelup air. Berat, tapi merembes. Apa yang mau dan bisa disaring, janji-janjinya saja bak badan belut licin. 

"Kenapa laki-laki itu pandai berjanji, pandai pula mengingkari, Bu?" 

Ibu tersenyum, membelai rambut panjangku.

"Nak, tidak semua laki-laki itu sama. Bahkan terkadang laki-laki pun adalah korban."

"Korban apa, Bu?" 

"Kadang mereka pun adalah korban janji dari para perempuan. Hanya bedanya sebangsa kaum mereka itu lebih suka diam. Lain dengan perempuan!" Ibu menjelaskan padaku dengan tersenyum.

Aku memandangi wajah ibu dalam-dalam. Maksud ibu kita ini juga jahat? Kok ibu malah belain mereka ya, kan kita sama perempuan juga. 

"Perempuan itu biasanya berlebihan dalam menanggapi sesuatu, kadang mereka juga bersalah; tapi seringnya mereka itu egois. Sehingga menjadikan drama dalam suatu hubungan. Lain dengan laki-laki, mereka juga bisa kecewa. Hanya saja mereka lebih suka diam, melampiaskan dengan tetap diam dan nampak biasa saja." 

Apa mungkin sebenarnya dia juga sama memiliki perasaan seperti aku? Rindu atau sedikit kecewa dengan keadaan? Ah! Mana mungkin, kalau dia juga memiliki rasa yang sama kenapa dia membisu, beku. Kepalaku semakin terasa penuh, isinya pertanyaan-pertanyaan tentang dia, semua menjadi satu tentang dia.

Ini menjadi sangat rumit, tidak ada sedikit jawaban yang mampu memberi sedikit jalan agar ruang pikir tak sempit. Aku memejamkan mata, berharap ketika membuka mata bayangan tentang dia hilang. 

Taiwan, 09 Mei 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun