"Anak polah bopo kepradah,"
Begitulah orang Jawa bilang. Anak berulah, Sang Bapak kena getahnya. Hal itu sepertinya menimpa Presiden Jokowi saat ini. Ia terbawa-bawa karena ulah Sang Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang mengkudeta partai.
Kisruh dualisme partai memang bukan barang baru di pusaran politik tanah air, tetapi Kudeta Demokrat oleh Moeldoko merupakan sesuatu yang berbeda dan menghebohkan dari sebelumnya. Pasalnya, kudeta ini dilakukan oleh orang di luar Kader Partai dan berposisi sebagai Kepala KSP.
Memang pada awal geger Kudeta Demokrat mencuat Moeldoko sudah berseru bahwa kudeta ini tentang dirinya, jangan sekali-kali mengganggu Presiden Jokowi. Tetapi posisinya sebagai Kepala KSP mau tidak mau akhirnya menyeret nama Sang Mantan Gubernur DKI.
Istana pun menerima gencaran tudingan dan tuntutan. Misalnya mulai dari Politikus Demokrat Andi Malaraeng yang menuding Moeldoko mendapat izin Jokowi sampai Wasekjen Gerindra Kawendra Lukistian yang menyarankan Presiden Jokowi untuk memecat Sang Kepala KSP. Bahkan Ketua Relawan Jokowi Baranusa yang juga menuntut RI 1 untuk memecat Sang Mantan Panglima TNI.
Presiden Jokowi pastinya sedang dipersimpangan. Tetap mempertahankan Moeldoko, atau memberhentikannya. Dua-duanya tentu tak mudah. Ada dampak politis yang jelas akan mengikuti.
Tetapi sebetulnya, jika Presiden Jokowi konsisten dalam menerapkan kebijakannya dalam menyikapi dobel jabatan, masalah Kudeta Demokrat oleh Jenderal Moeldoko tidak bakal serumit ini.
Ketika terpilih menjadi Presiden pada tahun 2014 dulu, Sang Mantan Wali Kota Solo pernah menerapkan kebijakan yang cukup tegas, anggota kabinet tidak boleh merangkap jabatan dalam partai politik.